Oleh Imam Wahyudi (iW)
Peselancar sejati selalu berseri menanti ombak untuk bisa berselancar. Ombak adalah tantangan yang (senantiasa) menginspirasi prestasi.
Selancar adalah olahraga di atas air, dengan sebilah papan luncur — melenggok seirama laju ombak pantai. Di atas papan luncur bermakna komitmen, kesabaran dan kerendahan hati. Ketika kehilangan ombak, kian gigih mengejar dan meraihnya.
Peselancar itu bernama Hatta Rajasa. Sebut saja HR. Si “Rambo” yang nyata unjuk, bukan dengan telunjuk. Tak berlebihan, apalagi melebihkan. Bagi saya adalah apa adanya. Serbalintas yang senantiasa membekas. Karenanya tulisan ini lebih sebagai “catatan ringan”. Sebuah capture tentang sosok HR. Terinspirasi dari penganugerahan Doktor Kehormatan kepada Ir. Hatta Rajasa di Aula Barat ITB, Senin, 25 November 2019 ybl.
“Starting point” HR di Km 0 Kota Bandung. Di pelataran Hotel Savoy Homann, 07 Juni 1999. Hari pemilu pertama pascareformasi. Agenda pemilu yang dipercepat dalam masa hanya 13 bulan kekuasaan presiden BJ Habibie. Sebelumnya, Gerakan Reformasi 1998 mengakhiri dominasi rezim orde baru selama 32 tahun. Kran kebebasan berpendapat terbuka lebar. Mengalirkan kemerdekaan berserikat. Demokrasi bunyi, tak lagi sembunyi. Hatta Rajasa ada di sana. Di antara euforia warga yang kembali menemukan asa. Membahana.
Tatap matanya tampak berbinar, sesekali berlinang. Lautan manusia bak merayakan kebebasan, saat kampanye pamungkas di lapangan Gasibu, Bandung. Hari yang dituju, 48 parpol berkontestasi. Satu tiket diraih Hatta Rajasa. Melangkah ke Gedung DPR RI lewat gerbang utama. Kali pertama.
Seonggok harapan warga di pundaknya. HR tak sebatas Hatta Rajasa, juga Harapan Rakyat. Mulai berselancar. Unjuk vokal dengan sikap kritis hingga berjuluk “Koboy Senayan”. Bersama Alvien Lie dan Samuel Koto. Mengawal M. Amien Rais (MAR), memperkuat posisi dan strategi “poros tengah”. Lewat Fraksi Reformasi meneguhkan keunggulan visi dan misi.
Masa itu, saya tak lebih hanya kader biasa. Bukan elit partai. Apalagi tak berdomisili di Jakarta. Ada kamar HR yang tak ditinggalkan, jadi tempat transit kami. Dengan latar jurnalis, saya beruntung bisa ikut menyaksikan eskalasi politik nasional. Di President Suite Hotel Mulia, lewat tengah malam dan sudah masuk tanggal 20 Oktober 1999 atau jadual Sidang Istimewa MPR RI. Saat “injury time” itu “kesepakatan” jabatan presiden kepada Gusdur, menggantikan BJ Habibie. Sudah menjelang subuh. Pagi harinya, MAR selaku Ketua MPR RI memimpin sidang hingga menetapkan jabatan presiden dan wakilnya, Gusdur dan Megawati. Kala itu, HR masih harus menunggu. Sohibnya sesama aktivis mahasiswa, Al Hilal Hamdi lebih dulu diakomodasi menjadi Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi (1999-2001). Yang tak kurang menarik antarkeduanya, HR melenggang ke Senayan — Hilal gagal terpilih anggota DPR RI. Bahkan, Hilal sudah ancang-ancang membuka usaha kuliner di rumahnya — sebelum “surprise” ditunjuk menteri tadi.
Saya tak hendak mengurai lebih jauh ikhwal eskalasi politik masa itu. Tak cukup kapasitas. Saya lebih pada rangkaian capture tentang perjalanan HR. Hampir dua tahun, setelah SI tadi — Gusdur mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001. Dekrit (serupa) pernah dikeluarkan Presiden Soekarno tertanggal 05 Juli 1959. Jelang pk 00.00 atau memasuki tanggal “ancaman” dekrit presiden, saya dan Siswanda yang sesama dari Bandung — ikut “mengawal” MAR ke Gedung MPR RI Senayan. Tiga kendaraan meluncur dari rumah dinas Widya Chandra. Melaju dengan kecepatan tinggi. Kami menyaksikan MAR menelepon Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan. Sejalan itu, saya pun menyaksikan HR dalam kapasitas Ketua Fraksi Reformasi DPR RI. HR mengendarai sendiri mobil jeep. Tanpa supir. Nyaris membuka sendiri pintu gerbang utama yang berhadapan Jl. Gatot Subroto. Suasana mencekam. Sungguh eskalatif.
Pagi harinya, 23 Juli 2001 rupanya bukan awal pemberlakuan dekrit presiden. Sidang Istimewa MPR RI kembali digelar, dengan agenda pemberhentian jabatan presiden dan mengangkat/menetapkan (wakil presiden) Megawati menjadi presiden. Rasanya tak berlebihan, bila “perubahan” itu dapat disebut blessing in disguise. Bukan sebatas bagi HR, yang selanjutnya ditunjuk sebagai Menristek. Awal langkahnya di eksekutif. HR harus meninggalkan kursi parlemen. Proses PAW (pergantian antarwaktu) dilakukan untuk Cecep Rukmana dari Bandung.
HR menamatkan sesi pada jabatan menteri negara hingga akhir periode kekuasaan presiden Megawati, 2004. Pemilu digelar lagi untuk kali kedua pascareformasi. Bersamaan kali pertama pilpres, meski belum dilakukan serentak. Pemilu untuk legislatif lebih dulu digelar. Presiden terpilih Soesilo Bambang Yudoyono (SBY). Bahkan dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Mudah beroleh kisah selancar HR selama periode SBY. Tak perlu, saya mengurai lebih lanjut. Yang pasti, jabatan tertinggi dicapai sebagai Menko Perekonomian dalam satu periode terakhir (2009-2014). Capaian yang membanggakan. Terlebih HR yang mengawali karier politik dari “bawah”. Empat jabatan menteri di kementerian berbeda dengan dua figur presiden.
Sikap “Welcome”
Saya ingin mengistilahkan sebagai peselancar. Piawai dan tangguh. Piawai dalam berdiplomasi dan lobby. Tangguh, karena mampu melewati rintangan yang potensial merobek harapan.
Kembali ke titian peran. Kata bijak menyebutkan, “perjalanan beribu mil dimulai dari langkah pertama.” Merancang dan membangun. Kali pertama berperan di pos eksekutif sebagai Meneg Ristek, HR praktis merangkap jabatan Sekjen PAN — hasil Kongres I di Yogyakarta tahun 2000. Mendampingi MAR sebagai ketua umum. Masa itu, saya lebih banyak membantu di dapur — mempersiapkan sajian materi kongres. Butuh waktu 12 jam perjalanan darat dari Jakarta. Berkat semangat, tak membuat lelah.
Sederet catatan menarik dan mengesankan selama menjabat Sekjen PAN. HR mampu memilah. Dia sebagai sekjen dan dia sebagai sosok bernama HR. Jabatan sekjen dipraktikkan hanya berlaku di forum (formal) partai. Di luar itu, performance HR lebih banyak mengedepankan kesetaraan. Bersahaja. Tak berjarak. Tak tampak “keakuan”. Citra diri dan mandiri melekat kuat. Senantiasa “welcome” kepada setiap kader. Nyaris tanpa sekat. Ini pula yang membuat pembeda pada figur HR.
Satu pembeda itu, karena HR berlatar aktivis pergerakan (mahasiswa). Perjuangan Mahasiswa 1977/78 di Bandung. Banyak duka bercerita ketimbang suka. Dia cukup fasih menerjemahkan senyum kecut kalangan akar rumput. Bagi HR, banyak potensi yang harus dibangun dan diberdayakan. Lewat dukungan mereka pula, dirinya bisa merambah belantara harapan dan tujuan pengabdian. Tentu, untuk nusa dan bangsa. Berselancar. Gencar, tegar dan mengejar.
Berbekal pengalaman aktivis pergerakan semasa mahasiswa, HR begitu memahami kalangan muda yang punya minat serupa. “Saya pernah merasakan, ketika ingin bergerak — tapi minim logistik,” ungkap HR. Saya mengantar HR bersama Hilal memberikan bantuan ke Barisan Muda PAN Jabar di poskonya, Jl. Banteng Bandung.
Dalam setiap kunjungan ke Kota Bandung dan sejumlah kota di Jabar, saya kerap “mengawal”. Utamanya jadual dan durasi waktu. “Jangan sampai DPW atau DPD mengeluarkan dana untuk keperluan saya,” pinta HR. Tak kecuali sekadar “transit hotel” pun, selalu ingin membayarnya — sesuai “public rate”. Padahal hotel itu milik kader sendiri, Cecep Rukmana. Dalam setiap menghadiri musda kota/kabupaten, HR kerap menitipkan bantuan seperlunya. HR seolah ingin menjawab, bahwa hasil akhir dari kinerja kader di daerah akan bermuara ke Jakarta. Berkontribusi terhadap perolehan kursi DPR RI dan konfigurasi di parlemen.
“Seseorang tak pernah berbuat salah apa pun, karena tak pernah berbuat apa pun.” Untaian kata bijak. Tak sekali, saya kena “semprot” HR. Dalam perjalanan dari dan ke acara musda. Usai agenda di Purwakarta, HR sudah ditunggu membuka musda di Palabuanratu, Kab. Sukabumi. Berjarak cukup jauh. Normalnya, kami harus “turun” dulu ke arah Padalarang, kemudian menuju Cianjur. Melambung. Jarak tempuh tak terukur. Maklum, belum ada jalan tol Cipularang.
Kala itu tahun 2000. HR didampingi sohibnya, Zulkifli Hasan (ZulHas). Saya memaknainya sebagai “magang”. Kami memilih lintasan “potong kompas” ke arah Cianjur. Menembus kawasan hutan PLTA Cirata. Jalan tak mulus dan sebagian besar jalan tanah dan lembek. Karuan HR sempat rada berteriak ke arah saya. “Aku ini mau di bawa ke mana?” Saya pun meyakinkan, kita akan segera menembus Cianjur dan lanjut ke Palabuanratu lewat jalan raya. HR tak mengangguk, tampak tak yakin pula — kecuali tetap mengikuti laju mobil yang saya kendarai di depan.
Saya tak melihat rasa plong HR, saat memasuki Cianjur. Tetap meluncur ke ujung Sukabumi. Mendekati lokasi, kami lebih dulu bersantap di rumah makan. Dua sohibnya, Al Hilal dan Alimin Abdullah sudah menunggu. Men”support” HR sebagai sekjen.
Sepenggal tapak sejarah. Langkah yang kelak bakal menuai berkah. Sejarah bak kisah. Mengalir, tak pernah berbohong. Perkawanan dan persahabatan, hakikatnya saling menabur benih yang siap mekar berbuah. Mengalir bagai air kehidupan. Kelak, ZulHas menyusul HR. Menggantikannya sebagai sekjen (2005-2010), mendampingi ketum Soetrisno Bachir melalui kongres di Semarang 2005. Berikutnya HR menjabat Ketum PAN lewat kongres ke-3 di Batam 2010. ZulHas mendapat estafet sebagai ketum via kongres-IV di Nusa Dua, Bali, 01 Maret 2015.
Kepedulian HR terhadap organisasi berjenjang, tak jarang terkekang waktu. Seolah tak kenal lelah. Tak sebatas agenda pelatihan kader di daerah, yang jadi perhatian. Pun di rumah, saat mestinya rehat. Selepas membuka Latihan Kader Amanat Dasar (LKAD) di Kab. Bandung, lanjut meluncur ke acara serupa berikutnya di Kadipaten, Majalengka. Berjarak cukup jauh, lebih dari 100 km. Karuan saya perlu berinisiatif mendahului dan mencegat di Sumedang untuk santap siang. Di kemudian hari, kunjungan ke komunitas di kaki Gunung Kunci, Sumedang. Tak terasa waktu tersisa hanya 30 menit untuk kembali ke bandara Husein Sastranegara, sebelum terbang pulang ke Jakarta. Padahal jarak sekitar 60 km, dengan jalan berkelok.
Tak cuma di kantor dan saat kunjungan konsolidasi ke daerah. Di rumah pun, HR selalu “dikepung” kader. Rasanya, selepas tengah malam — baru bisa berangkat tidur. Tapi HR selalu mengingatkan, “bila ada kader dari luar kota Jakarta, jangan tidak menemui — sepanjang saya belum masuk kamar tidur,” katanya. Tak kurang, saya pernah mengalami. Sudah tengah malam, saya tak menjumpai beliau di rumah. Sudah janji. Saya balik kanan ke Bandung. Tak berselang lama, HR menelepon. Meminta saya kembali ke Jakarta, menginap dan jumpa esok pagi — sepulang dari Makasar. Rasa kecewa semula pun sirna dalam sekejap.
Sebuah langkah kecil yang dilakukan berulang, kelak mengkristal sebagai sikap bijak. Mengendap di sanubari, menjelma menjadi kenangan hingga rasa rindu. Bagai “cinta dan kesetiaan yang teruji oleh jarak dan waktu. Hanya kepercayaan yang mampu mempertahankan.” HR adalah elit, yang tak enggan menatap dan senantiasa kepada kaum “alit”.
“Starting point” yang kuingat, melaju bak meteor di langit biru. Bak peselancar di antara ombak laut pantai. Kita tak mungkin menemukan lautan biru, jika tak berani berlayar. Ragam catatan prestasi, dedikasi dan reputasi untuk negeri. Betul adanya, peselancar tangguh itu bernama Hatta Rajasa.*
Bandung, 27 November 2019.