JAKARTASATU.COM – Berdasarkan data awal yang sudah mereka kumpulkan sejak kasus ini Jiwasraya dan Bumiputera mengemuka, Koordinator Komisi III Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim menemukan adanya dugaan mismanagement dan investasi yang manipulatif. Akibatnya kedua persoalan tersebut berdampak pada besarnya piutang yang harus ditanggung oleh kedua asuransi.
Sonar radar BPKN telah menangkap sinyal kuat bahwa kasus Bumiputera dan Jiwasraya ini akan masuk ke dalam kasus yang mengkhawatirkan. Pasalnya, mereka mengendus aroma upaya untuk ‘menghancurkan diri sendiri’ atau mekanisme ‘self destroy’ yang berujung pada pailit.
“Jadi ada mekanisme yang mau menghancurkan atau self-destroy sehingga bisa dipailitkan,” ujarnya, Senin (16/10).
Meskipun sepanjang 2019, BPKN telah mencatat adanya1,510 kasus yang memiliki potensi kerugian. Sebenarnya kasus asuransi baru ada sekitar 20-an kasus. Namun, potensi kerugiannya sekitar Rp40 triliun hingga Rp50 triliun.
Sebut saja masalah keuangan Jiwasraya yang bermula ketika perseroan menunda pembayaran klaim produk saving plan yang dijual melalui tujuh bank mitra (bancassurance) senilai Rp802 miliar per Oktober 2018 kemarin. Tiba-tiba di tengah penyelesaian kasus Jiwasraya tersebut, Kementerian BUMN justru melaporkan indikasi kecurangan dalam tubuh Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Alasannya Kementerian BUMN menemukan fakta akan adanya sejumlah aset perusahaan yang diinvestasikan secara tidak hati-hati (prudent). Bahkan Jiwasraya juga sempat mengeluarkan produk asuransi yang menawarkan imbal hasil (return) cukup tinggi kepada nasabah. Konon itulah yang membuat Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas beberapa waktu terakhir sehingga terpaksa menunda pembayaran klaim kepada nasabahnya.
Tak berbeda dengan Jiwasraya, masalah keuangan AJB Bumiputera sebenarnya mulai terkuak lebih dahulu pada 2010 lampau. Waktu itu, kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82 persen. Kemampuan perusahaan untuk membayar klaim nasabah juga terbilang rendah.
Tercatat pada 2012, jumlah aset yang dimiliki hanya ada Rp12,1 triliun, sementara kewajiban perusahaan tembus Rp22,77 triliun. Akibatnya sampai saat ini masih terdapat nasabah Bumiputera yang belum mendapatkan pembayaran haknya.
Apakah jika ‘self destroy’ berhasil dilakukan dan Jiwasraya maupun Bumiputera diputus pailit maka mereka bisa terlepas dari tanggung jawab perusahaan? Itulah yang dikhawatirkan.
Mungkin karena alasan ini pulalah maka Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meminta penegak hukum dan pemerintah untuk mencekal jajaran Direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2019, karena mereka dinilai ikut bertanggung jawab terhadap permasalahan tunggakan klaim nasabah yang masih ruwet hingga saat ini. |WAW