JAKARTASATU.COM– Dua Periode Kepemimpinan Jokowi, Buruh Perempuan Semakin Ditindas Dengan Kebijakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Tanggal 08 Maret 1857 merupakan tonggak perlawanan kaum perempuan atas penindasan yang dialami. Bermula dari aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh perempuan pabrik tekstil di New York menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja yang buruk. Dari sana berturut-turut buruh perempuan di Eropa dan Amerika terus melakukan perlawanan untuk menuntut persamaan hak secara politik, ekonomi dan kebudayaan untuk yang bebas dari penghisapan dan penindasan oleh pengusaha dan negara.
Perjuangan kaum perempuan yang sudah berlangsung ratusan tahun, ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti kepada perempuan Indonesia, perempuan Indonesia dibawah dua periode pemerintahan Joko Widodo masih terbelenggu oleh penghisapan, penindasan serta pembodohan dibawah system setengah jajahan dan setengah feodal yang masih kuat dibawah dominasi kekuasaan kapitalis monopoli asing. Didua periode kepemimpinan Jokowi kehidupan rakyat semakin terpuruk akibat krisis ekonomi yang semakin akut, walaupun dalam berbagai kesempatan pemerintah menyatakan kenaikan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. PDB tahun 2020 diperkirakan akan tumbuh 5,07 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2019 yang sebesar 5,04 persen. Kenaikan ekonomi yang katanya naik faktanya berbading terbalik dengan kehidupan riil rakyat, terkhusus kenaikan upah yang hanya berkisar antara 8-11 persen.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), kenaikan iuran BPJS serta kenaikan harga-harga pokok yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah membuat buruh tidak merasakan manfaat atas kenaikan upahnya. Sementara pengurangan dan penghilangan terhadap subsidi rakyat semakin masif, semua itu secara otomatis membuat penderitaan bagi kaum perempuan karena tidak diimbangi dengan kenaikan upah yang mencukupi kebutuhan minum buruh beserta keluarganya yang rill kaum perempuan dipaksa negara untuk mengatur kehidupan ekonomi dengan baik dibawah kebijakan upah murah yang dijalankan pemerintah.
Sistem partriarki, kebijakan upah murah yang membuat pederitaan kepada perempuan tidak cukup merampas bagi Jokowi, maka di periode kedua melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja Jokowi memasifkan perampasannya terhadap perempun, khususnya buruh perempuan atas upah dan cuti haid, melahirkan, keguguran dan menikah, semuanya dirampas demi pengabdian kepada pemilik modal imperialis. Diperparah dengan digulirkannya RUU Ketahanan Keluarga di DPR RI oleh beberapa fraksi pada Februari 2020. Dimana dalam salah satu Pasal menyatakan bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga. Ini adalah wujud nyata dari negara feodal yang masih menganggap bahwa perempuan tempatnya adalah dirumah mengurus keluarga.
Bukan karena keinginan istri yang gencar mencari nafkah, tetapi karena tekanan kondisi ekonomi ditengah negara yang menjalankan politik upah murah dan ketidakpastian kerja yang tidak memungkinkan jika hanya mengandalkan suami yang mencari nafkah.
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) meyakini bahwa semua masalah yang dihadapi kaum buruh dan rakyat Indonesia khususnya kaum perempuan Indonesia saat ini, akan dapat diatasi jika dijalankannya Land Reform Sejati & Industrialisasi Nasional. Karena Land reform sejati menjadi pondasi dasar untuk melenyapkan sistem pertanian terbelakang dan monopoli sumber kekayaan alam oleh imperialis dan kaki tangannya, sehingga memiliki cadangan untuk membangun industri nasional yang mandiri dan ketersediaan pangan yang memadai bagi rakyat. Industrialisasi nasional yang dibangun tanpa harus bergantung pada investasi asing, bahan baku impor dan pasar ekspor. Ini akan menjadikan Indonesia memiliki cadangan modal yang berlimpah untuk dapat membangun kemandirian bangsa dan kesejahteraan bagi rakyat. Upah akan sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup buruh dan keluarga, ketersediaan lapangan kerjan akan dibuka seluas mungkin dan juga jaminan kepastian kerja. Seluruh aspek mengenai kepentingan umum (pendidikan, kesehatan, perumahan, jaminan sosial) sepenuhnya menjadi tanggungan Negara.
GSBI menyoroti bahwa bagi klas buruh Omnibus Law hanya akan membuat posisi buruh semakin rentan dalam mendapatkan perlindungan atas kepastian kerja, waktu kerja, K3 dan upah murah serta memberikan peluang bagi pengusaha untuk dapat lepas dari jeratan hukum pidana.
Memperhatikan dan mengingat perkembangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang secara resmi telah diserahkan ke DPR RI, serta setelah mempelajari draft tersebut, maka penting bagi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) memberikan respon nyata atas penolakan terkait draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Maka dalam rangka memberikan respon nyata dalam semangat Hari Perempuan Internasional 2020, dengan ini Gabungan Serikat Buruh Indonesia [GSBI] akan melakukan Aksi Kampanye Massa Nasional Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang akan dilaksanakan pada Hari Senin tanggal 09 Maret 2020 di berbagai wilayah sebaran GSBI, yakni di Sukabumi, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Timur-Jombang dan untuk wilayah Jabodetabek dan Karawang akan dilaksanakan di Jakarta tepatnya di depan gedung DPR/MPR RI, dengan titik kumpul Halte Trans Jakarta (bus way) Senayan JCC.
Adapun yang menjadi tuntutan dan seruan GSBI adalah: Pertama, GSBI menuntut kepada DPR RI untuk menolak dan segera menghentikan/membatalkan
pembahasan draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan juga RUU Ketahanan Keluarga;
Kedua, GSBI menuntut kepada pemerintah untuk segera menurunkan iuran premi BPJS Kesehatan semua kelas dan pungutan lainnya yang memberatkan rakyat, serta segera jalankan Reforma Agraria Sejati & Industrialisasi Nasional sebagai syarat Indonesia untuk berdaulat secara ekonomi
dan politik terlepas dari utang dan invetasi dalam membangun negeri.
Ketiga, GSBI menyerukan kepada DPR RI untuk bersama-sama rakyat Indonesia menolak Omnibus Law
RUU Cipta Kerja.
*Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Indonesia [DPP. GSBI]