JAKARTASATU.COM – Pascaputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS, muncul pertanyaan apakah uang masyarakat yang sudah terlanjur dibayarkan bisa dikembalikan?
Pertanyaan tersebut terlontar dari Ketua HLKI Jabar-Banten-DKI Jakarta Firman Turmantara Endipradja terkait keputusan MA yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
“Apabila pemerintah konsisten terhadap konsep rquality before the law dan rule of law, putusan MA itu wajib dilaksanakan,” kata Firman, Selasa (10/3/2020).
“Pemerintah/BPJS harus mulai menyusun konsep bagaimana teknis pengembalian uang masyarakat itu melalui dibuatnya regulasi/tupoksi agar aparat dilapangan tidak kebingungan dan bagi konsumen pun ada kepastian hukum. Prinsipnya jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah bayar iuran dikurangi/dirugikan,” lanjut Firman.
Namun sebaliknya, Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung yang juga Direktur LBH Konsumen Indonesia tersebut menyatakan, apabila pemerintah sewenang-wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan.
Ia mengingatkan, Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat atau rule of law) yang bertujuan untuk membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya.
Doktrin rechtsstaat atau rule of law hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi, yang hadir hanyalah paham totaliter, fasis, absolut dan represif.
Pada negara hukum, politik menjadi panglima di mana hukum menjadi alat mempertahankan kekuasaan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Begitu juga halnya dengan keputusan MA yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Di sisi lain, pembatalan tersebut semestinya membuat malu para penyusun Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Hal tersebut menunjukkan adanya peraturan perundangan yang bertolakbelakang dengan kondisi/aspirasi masyarakat (melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis), meskipun dari aspek yuridis sudah benar.
Unsur bertentangan lainnya di dalam peraturan yang dibatalakan MA adalah aturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik. Padahal pelayanan publik sudah diamanatkan oleh UUD 1945 dan diatur oleh UU No.25 Tahun 2009.
Firman melihat, sepertinya saat ini ada pemikiran bahwa yang penting produk hukum dibuat dulu, soal ada gugatan bisa diurus belakangan karena sudah ada mekanismenya.
“Harapan kita, semoga kondisi ketidakpastian dan kekacauan hukum ini segera berakhir dan kembali kepada mekanisme dan ‘rotasi hukum’ yang sudah tertuang dalam konstitusi,” katanya.*l IH-BIRO JABAR