by M Rizal Fadillah
Dalam acara Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Pimpinan KPK yang diketuai Irjen Pol Firli Bahuri terungkap permintaan Fraksi Fraksi agar KPK bisa mengawasi pelaksanaan program Kemenko Perekonomian Kartu Prakerja yang dilaksanakan oleh perusahaan aplikator Ruang Guru milik Adamas Belva Syah Devara senilai 5,6 Trilyun. Belva sendiri mundur dari statusnya sebagai Staf Khusus Kepresiden akibat kritik publik yang keras.
Dalam kaitan DPR yang dipimpin oleh Puan Maharani, maka lembaga ini tentu layak mendapat sorotan pertama, bagaimana bisa lalai mencegah Kemenko Perekonomian bisa menunjuk begitu saja perusahaan milik Staf Khusus Kepresidenan sebagai pelaksana proyek ? Adakah indikasi kolusi disini. Sejauhmana keterlibatan orang-orang Istana dalam “skenario” penunjukkan tersebut. DPR punya hak pengawasan dan pencegahan terhadap kebijakan Pemerintah yang dinilai janggal dan rawan kolusi korupsi.
Kini Komisi III meminta KPK untuk mengawasi proyek bernilai 5,6 Trilyun tersebut. Hal ini tentu sudah bagus secara normatif. Akan tetapi amanat tersebut diragukan untuk dapat dijalankan secara efektif oleh KPK dengan performa seperti saat ini. Masyarakat wajar meragukan kemampuannya. Ada alasan rasional untuk ini, yaitu :
Pertama, kini penentu KPK adalah Presiden melalui Dewan Pengawas yang diangkatnya. Wewenang besar Dewan Pengawas dapat mengendalikan gerak Pimpinan KPK. Penggeladahan, penyadapan dan/atau penyitaan berada di meja izinnya. Misi revisi UU KPK adalah “kudeta hukum” yang sukses.
Kedua, meskipun kolektif akan tetapi semua faham bahwa Ketua KPK adalah Perwira Tinggi Polisi aktif yang berada di bawah komando Kapolri. Sementara Kapolri jelas menjadi “bawahan” Presiden. Sejak awal meskipun proyek Kartu Prakerja ini berada di Ruang Guru tapi sebenarnya dugaan kuat proyek ini ada di Ruang Presiden. Presiden hingga kini merestui.
Ketiga, uji coba berhadapan dengan kasus suap KPU yang melibatkan “partai penguasa” PDIP saja KPK keteteran. Masiku yang “diisolasi” tidak bisa ditemukan. Apalagi jika KPK berhubungan dengan kepentingan istana, bakal lebih sulit lagi untuk bekerja leluasa. Ruang guru meski dikerjakan oleh “anak anak” tapi diback up oleh “bapak bapak”. Korupsi Jiwasraya pun ditangani bukan oleh KPK tetapi Kejagung. KPK sekarang bukan singa.
Karenanya benar pendapat yang menyatakan proyek Kartu Prakerja seharusnya dihentikan oleh Presiden sendiri. KPK kalaupun melangkah nantinya hanya akan berputar putar saja di lingkaran setan (vicious circle). Pusing sendiri. Rakyat ikut pusing dengan pusingnya KPK.
Jadi himbauan normatif DPR RI soal pengawasan KPK sebenarnya terpulang pada keberanian dan kewibawaan DPR sendiri dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika tidak, rakyat hanya bergumam bahwa korupsi juga bakal terjadi terus dengan “restu” atau “ketakberdayaan” DPR.
Harus diakui bahwa DPR memang lemah berhadapan dengan Pemerintah. Wakil rakyat banyak yang tersandera baik oleh partainya yang menjadi pendukung pemerintah atau mungkin oleh kasusnya sendiri. Harus ada perubahan sistem secara mendasar yang mampu memandirikan dan memperkuat posisi DPR. DPR bukan kumpulan wakil rakyat yang dikebiri.
Terlalu mahal rakyat membayarnya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
1 Mei 2020