Oleh Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah telah dilaksanakan, namun rupanya secara nasional belum terlalu signifikan dapat menghambat perkembangan penyebaran Covid-19 di negeri ini. Hingga hari ke-60 sejak diumumkannya negeri ini dinyatakan ada dua orang positif terpapar virus corona pada Senin (2/3/2020) yang lalu, update terkini per Kamis (30/4/2020) tembus lima digit hingga angka 10.118 pasien positif covid-19.

Layak kiranya segera dilakukan evaluasi pelaksanaan PSBB yang sudah dijalankan, khususnya yang terkait dengan regulasi atau kebijakan-kebijakan yang masih dirasakan terjadi tumpang tindih atau berbenturan satu sama lain. Satu sisi dalam PSBB warga diharuskan beraktifitas di rumah dengan segala risikonya hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tapi di sisi lain publik disuguhi berita tentang akan hadirnya 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China.

Memang logislah jika tak bisa dihindari jutaan pekerja dalam negeri harus mengalami PHK akibat dampak wabah Covid-19 ini, namun yang lebih tidak logis atau tidak masuk akal sehat lagi jika para pekerja dalam negeri harus terkena PHK tapi pada saat yang sama datanglah 500 TKA dari China. Logika akal sehat siapa lagi yang bisa menerima kondisi seperti ini?

Pantaslah jika pemerintah Tanzania berani membatalkan pernjanjian piutang dengan China, melalui sosok pria pemberani yang berani mempertaruhkan harga diri bangsanya Presiden Tanzania, John Pombe Magufuli (61) yang menyatakan syarat utang China hanya bisa diterima oleh pria mabuk. Arti di balik pernyataan Pombe ini bukankah bermakna bahwa yang mau menerima persyaratan piutang dari China hanya orang yang tergolong mabuk alias berakal tidak sehat? Masihkah kita tidak “peka” atau tidak malu atas sindiran Presiden Tanzania, Pombe?

Kini tiba saatnya seiring dengan percepatan penanganan wabah Covid-19, pemerintah selayaknya tinjau ulang semua kerja sama atau persyaratan piutang dengan pemerintah China. Sebanyak 500 TKA dari China yang akan masuk ke negeri kita dihalau kembali ke negerinya, sebagaimana perilaku aparat menghalau pemudik yang akan pulang kampung balik arah ke tempat perantauannya.***