by M Rizal Fadillah
Rakyat tidak tinggal diam. Perhatikan suara publik yang beredar di media sosial. Betapa kritisnya masyarakat menilai bahaya RUU HIP. Penolakan terjadi dimana-mana. Umat Islam dan kelompok anti komunis menggelindingkan dan mengangkat isu kebangkitan PKI dan menghawatirkan UU HIP kelak bakal menjadi alat pengembangan faham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara terselubung.
RUU HIP yang cacat yuridis, filosofis, dan sosiologis ini tidak layak untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang. Muatan politik sangat kental. Partai pemenang pemilu mencoba menggoyang dengan bermain licik di RUU HIP. Rakyat tidak sebodoh yang diduga untuk mudah terkecoh dengan permainan ini.
Secara yuridis RUU ini bermasalah karena ditetapkan oleh DPR dengan rekayasa. Diketuk palu bulan Ramadhan menjelang buka, dihadiri fisik hanya 41 anggota DPR, kehadiran virtual yang tak sehat dengan ruang sempit untuk menyampaikan pendapat. Pengambilan keputusan yang dipaksakan. Bagaimana ada satu fraksi, artinya ada sejumlah anggota, yang tidak setuju lalu bisa diketuk palu dengan putusan aklamasi ? Jelas Melanggar hukum dan melanggar asas demokrasi.
Secara filosofis masalah ideologi negara ini tidak patut menjadi muatan sebuah Undang Undang. Sebagai “Staats Fundamental Norm” persoalan haluan ideologi negara hanya bisa diatur pada tingkat Konstitusi atau sekurang-kurangnya pada level Ketetapan MPR. GBHN saja yang kontennya lebih rendah dari “Haluan Ideologi” diamanatkan oleh “The Founding Fathers” untuk menjadi kewenangan MPR. Bukan DPR dan Pemerintah.
Secara sosiologis, telah merebak penolakan publik atas RUU HIP usulan awal PDIP ini. Bukan hal yang mustahil penolakan bergerak dari diskusi dan pernyataan politik menuju aksi aksi unjuk rasa sebagai penggunaan hak rakyat yang dilindungi oleh Undang-Undang. Jika juga dipaksakan maka kegaduhan baru telah diciptakan. Pemerintah tentu memiliki pekerjaan rumah yang tak perlu. Soal komunisme dan kebangkitan PKI adalah isu politik yang sensitif.
Secara hukum bisa saja nantinya dipilih upaya gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, akan tetapi skeptisme publik dapat mengambil pilihan lain. Unjuk rasa. Atau keduanya. Oleh karena itu di samping ini menjadi ujian bagi DPR untuk mengubah peta konfigurasi kepentingan di dalam, juga menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk berpihak pada suara rakyat dengan menolak RUU HIP menjadi UU.
Bila Pemerintah lunak dan hanya ikut alur, maka rakyat dapat berasumsi bahwa RUU HIP meski merupakan inisiatif Dewan tetapi kenyatannya adalah “permainan” juga dari Pemerintah. Koalisi adalah kepanjangan tangan eksekutif di lembaga legislatif. Koalisi itu kolusi dan kooptasi.
Demi mencegah terjadinya desintegrasi nasional akibat salah kaprah dengan bermain-main di aras ideologi Pancasila, maka sebaiknya diambil jalan opsional, yaitu :
Pertama, DPR menarik kembali RUU ini dan tidak melanjutkan pembahasan dengan Pemerintah. Mengingat akan dampak buruk yang diakibatkan.
Kedua, melanjutkan pembahasan tetapi dengan ujung keputusan tidak menetapkan RUU HIP menjadi Undang Undang. Konsekuensi logis dari RUU yang cacat hukum, kezaliman filosofis, dan daya dukung publik yang minim.
Dalam situasi pandemi Covid 19 yang membutuhkan konsentrasi dan penanganan serius, janganlah ada kelompok kepentingan yang mencoba melakukan penelikungan atas ideologi Pancasila.
RUU HIP ini dinilai sesat dan menyesatkan.
Kita wajib menyelamatkan bangsa dan negara dari penghianatan yang selalu terjadi berulang-ulang.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 8 Juni 2020