Oleh Defiyan Cori,Ekonom Konstitusi
Sebagai lembaga keuangan dan donor bagi pembangunan negara-negara berkembang di dunia, kemampuan dan kredibilitas Bank Dunia (The World Bank) dan Dana Moneter Internasioal (IMF) sangat diragukan, dan bekum ada satupun negara yang ditanganinya berhasil keluar dari krisis ekonomi dan keuangan. Bahkan hal itu tetjadi pada negara-negara maju di benua Eropa, kasus terakhit adalah dalam menangani krisis ekonomi dan keuangan Yunani. Di Asean, Indonesia yang menjadi “pasien” tetapnya melalui “anak emas” Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengalami nasib yang sama berulang jkali didera krisis ekonomi dan keuangan.
Namun, perkiraan negara-negara Asia, khususnya Asean akan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan terbaik di dunia itu sangat mungkin sekali menjadi kenyataan. Hanya saja itu bukan terjadi pada Indonesia yang saat ini mengalami kondisi kebingungan menghadapi pandemi covid 19 dan menerapkan kebijakan tidak konsisten (inconsistency and out focusing policy). Prioritas pembangunan Indonesia sejak periode pertama (2014-2019) telah salah arah karena terlalu berlebihan membangun infrastruktur dan mengabaikan pembangunan industri di bidang pangan. Dengan kerangka pilihan (portofolio) kabinet yang ada saat ini, khususnya tim ekonomi yang tak bisa keluar dari paradigma lama yaitu condong ke sistem ekonomi kapitalisme. Maka, peluang 5 (lima) besar kinerja ekonomi dunia rerbaik pada Tahun 2024 mendatang kemungkinan besar akan diraih oleh Vietnam dan atau Myanmar yang menerapkan rencana pembangunan bertahap, terarah dan terukur berdasar prioritas dengan membangun sektor hulu ke hilir industri khususnya bidang pangan dan energi.
Vietnam dan Myanmar ini nyaris menerapkan strategi dan pola pembangunan yang dahulu digunakan di era pemerintahan Presiden Soeharto dan menerapkan substansi Pasal 33 UUD 1945 dalam membangun ekonomi mereka yang pernah “dipelajari” di Indonesia melalui Bappenas.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak beranjak dari 5 persen dan tidak ada strategi pembangunan yang jitu maka berpotensi menjadi negara tertinggal di kawasan ASEAN. Malah The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sendiri pernah merilis soal kekuatan ekonomi Vietnam dan Myanmar ini, juga The Asian Development Bank (ADB) tentang akan cemerlangnya pertumbuhan beberapa negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Vietnam, hanya dalam 3 (tiga) dekade mampu bertransformasi dari awalnya adalah salah satu negara termiskin di wilayah Asean, kemudian menjadi salah satu negara tersukses dalam mengelola pembangunan. Jika mencoba mengamati perjalanan sukses Vietnam ini, maka tak bisa dilepaskan dari dimulai pada akhir tahun 1980-an. Mereka mampu menggerakkan ekonomi tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, tetapi juga berorientasi untuk pasar kawasan dan dunia (global market).
Strategi ini berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rata-rata 7,0 persen per tahun pada periode 1991 hingga 2010. Selain itu, pada Tahun 1986, dalam sebuah Kongres Partai muncul sebundel strategi pembangunan ekonomi yang tak lazim jika merujuk teori Marxisme. Doi Moi, dalam bahasa Vietnam yang berarti pembaharuan, diperkenalkan sebagai sebuah semangat baru.
Doi Moi adalah juga merupakan sebuah konsepsi yang pada akhirnya dikenal sebagai sistem ekonomi pasar sosialis. Artinya, Vietnam yang berideologi komunis tidak melarang sepenuhnya, sebagaimana juga tidak membebaskan semuanya aktifitas pengelolaan modal swasta, bahkan dana asing walau tidak dominan berputar di negara tersebut.
Apabila Indonesia ingin mencapai 5 (lima) besar tersebut, maka paradigma pembangunan dan sistem ekonomi yang diterapkan beserta tim kabinet harus dirubah dan dirombak total, salah satunya adalah penguatan kelembagaan entitas ekonomi konstitusi, yaitu BUMN dan Koperasi. Dan perombakan portofolio kabinet itu terutama sekali pada tim ekonomi yang sejak Tahun 2014 sangat lemah dan tidak ada koordinasi dan sinergi yang optimal. Memasukkan unsur-unsur partai politik dalam kabinet sampai Tahun 2024 justru akan membuat arah dan sasaran (focusing) partai politik lebih dominan untuk meraih suara terbesar di tahun politik 2024 bukan untuk mensukseskan kinerja kabinet.***