M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Setelah Menteri Kelautan Eddy Prabowo dari Partai Gerindra terjerat korupsi benur lobster, kini Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dari PDIP yang terkena OTT KPK. Ketum Gerindra Prabowo marah-marah atas kelakuan anak “selokan” binaannya. Entah Ketum PDIP Megawati marah-marah atau tidak atas kerjaan Wakil Bendahara Umum partainya ini.

Marah-marah itu bisa karena mencemarkan nama baik pribadi Ketum atau partai, bisa juga karena cara kerja mencuri yang kok bisa ketahuan. Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi, partai-partai berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap basah. Pertengkaran antar koalisi kadang disebabkan posisi basah dan kering seperti ini.

Setelah Menteri Gerindra dan PDIP terjerat korupsi timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang menjadi target. Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan baik di Kementrian maupun BUMN tidak dapat dipisahkan dari misi partai baik pengaruh maupun pengisi kas partai.

Presiden tentu tidak tuli dan buta pada kepentingan partai melalui pembagian jabatan pemerintahan. Jadi logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal. Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang steril. Dewan Pengawas bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus. Publik ragu jika tertangkapnya dua Menteri adalah kejutan bagi Presiden.

Dua partai yang potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Golkar dan Nasdem. Keduanya mulai “nakal”. Nasdem aktif mendekati Anies Baswedan “musuh istana” sedangkan Golkar di samping tidak dukung prolegnas RUU HIP juga memiliki tapak pada JK yang membuat poros JK-Anies-HRS. JK adalah mantan Ketum Golkar.

Untuk satu tahap Jokowi dapat sukses menekan dan meredam, tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam. Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang, maka Jokowi yang “tidak berpartai” akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam.

Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja ? Patut diduga tidak. Ini perlu pengusutan menyeluruh. Pesiden harus meminta KPK baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras seobyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih ?

Kini kita tunggu saja siapa Menteri ketiga yang telah masuk agenda “permainan” bongkar-bongkar borok demi kepentingan politik ini. Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.

Ke arah mana angin akan berhembus ?

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 6 Desember 2020