Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)
Sungguh memprihatinkan, nyaris hampir setiap akhir tahun khususnya memasuki pekan terakhir Desember, kita sering disuguhi aksi-aksi dari sebagian kecil orang yang mengaku muslim dengan dalih toleransi malah pada akhirnya merusak makna toleransi itu sendiri.
Perusakan makna toleransi dimulai dari ucapan selamat natal dari sebagian kecil orang yang mengaku muslim mengucapkan selamat natal kepada kaum kristiani. Padahal, dari dulu hingga sekarang belum pernah dijumpai atau membaca permintaan atau permohonan dari kaum kristiani baik perorangan maupun kelembagaan yang meminta ummat Islam harus mengucapkan selamat natal? Demikian pula, kiranya belum pernah dijumpai atau terjadi kaum kristiani marah-marah gegara ummat Islam tidak mau mengucapkan selamat natal?
Nyaris hal ini hampir setiap akhir tahun timbul polemik soal yang satu ini. Bahkan akhir-akhir ini lebih parah lagi, sebagian kecil orang yang mengaku muslim malah masuk ke dalam ritual/ibadah kaum kristiani. Seiring dengan maraknya dunia media sosial saat ini, kita dapat menyaksikan dan menyimak ada ceramah natal oleh yang konon disebut mubaligh, bernyanyi bersama muslim dan kristiani di gereja, qashidah dengan joget sinterklas, adzan di gereja dan viral pula video dengan tema: “Natal Bersama Kultum 2020” membacakan ayat Al Qur’an yang diterjemahkan bercampur dengan Bible.
Sungguh memprihatinkan makna toleransi yang semestinya dijalankan atas dasar memahami perbedaan atas keyakinan masing-masing malah disalahartikan menjadi saling mencampuri.
Disadari atau tidak, sebenarnya kaum kristiani sendiri merasa terganggu kekhusyuaannya dalam menjalankan ritual ibadahnya dengan ikut campurnya orang di luar kristiani ikut campur di dalamnya. Keluhan atas ketidaknyamanan kaum kristiani dalam menjalankan ritual dampak dari campur-aduk ini, terbaca lewat beberapa tulisan para nitizen kaum kristiani yang tersebar di medsos.
Hal inilah menjadi bagian tugas utama Menteri Agama (Menag) untuk meluruskan kembali makna toleransi yang sebenarnya, bukan malah menambah kegaduhan baru dengan tampil seolah-olah membenarkan pembelokkan makna toleransi yang telah salah-kaprah. Hentikan gerakan toleransi yang menyesatkan, jangan sampai muncul kembali tulisan dari nitizen yang menulis: “Toleransi atau Tolol-Ransi”, sungguh memalukan!***