Oleh Gan-Gan R.A*
Salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), adagium dalam bahasa latin yang dirumuskan filsuf Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam karyanya yang monumental, “De Legibus”, pernah berdengung berulangkali dalam pidato-pidato pejabat lembaga negara dihadapan lensa kamera jurnalis media massa. Dihadapan kamera, pemimpin rakyat berbicara tentang ancaman situasi dan kondisi darurat bangsa Indonesia yang ditimbulkan corona virus dan berdampak pada guncangan instabilitas ekonomi.
Pada titik ini, pemerintah lebih menggarisbawahi atau menekankan sektor investasi dan pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi dibanding keselamatan rakyat. Tanpa memahami filosofi politik tentang amanat konstitusi dan prinsip konstitusionalisme yang diletakkan di atas pondasi gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berakar dari rakyat dan seharusnya tata kelola pemerintahan harus bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Sejatinya, salus populi suprema lex esto adalah narasi besar tentang rumusan pikiran universal kehidupan berbangsa dan bernegara dalam memproteksi rakyat dari teror, dan keselamatan rakyat harus menjadi skala prioritas dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Hal ini seharusnya menjadi kerangka dasar konseptual dalam menyusun rumusan hukum untuk menjamin keselamatan rakyat dari ancaman serangan yang membahayakan umat manusia.
Kini, adagium salus populi suprema lex esto telah jatuh menjadi jargon politik, seperti pidato yang diucapkan penuh busa dari mulut politisi di depan corong besi, ketika kontestasi politik berlangsung, rakyat disuguhi narasi besar yang dimanipulasi oleh kepentingan politik serta motif ekonomi pemodal. Salus populi suprema lex esto menjadi jubah yang terjuntai untuk menyembunyikan ketidaksiapan pemerintah berhadapan dengan pandemi corona virus.
*
Pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Prof. Dr. Edwar Omar Sharif Hariej, SH., MH, (Edward OS. Hariej) yang disampaikan dalam Webinar Nasional: Kajian Hukum, Kewajiban Warga Mengikuti Vaksinasi, Sabtu, 9 Januari 2021 menuai kontrovesi. Wamenkumham mengatakan, ada sanksi pidana bagi masyarakat yang tidak mau disuntik vaksin corona, sebab vaksinasi Covid-19 bersifat wajib.
Edward OS. Hariej yang selama ini dikenal sebagai pakar hukum pidana dan guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) lebih lanjut mengatakan, ketika vaksin wajib, maka jika ada warga negara tidak mau divaksin bisa kena sanksi pidana, sanksi pidana itu bisa berupa denda hingga penjara, atau bahkan keduanya sekaligus. Hal ini mengacu pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp 100 jt, “ demikian bunyi Pasal 39 UU tentang Kekarantinaan Kesehatan.
*
Teror global Covid-19 ketika muncul pertama kalinya di Wuhan, Cina, lalu seperti kilat dengan cepat menyebar menyerang umat manusia di berbagai penjuru belahan dunia, termasuk warga negara Indonesia yang menjadi korban ganasnya “monster raksasa” Covid-19. Seakan memiliki artifisial intelegensi corona virus memilih dan menentukan target korbannya dengan mendobrak pintu lalu menerobos melalui imunitas tubuh yang lemah.
Pemerintah Indonesia awalnya berasumsi melalui pernyataan kontroverisial dari beberapa menteri yang cenderung memandang enteng corona virus dan tidak memiliki instrumen management antisipasi, sementara negara-negara lain mulai memberlakukan lockdown. Banyak protes dilayangkan oleh kalangan dokter dan pakar ilmu kesehatan terhadap ketidakseriusan pemerintah kita dalam membentengi diri dari ancaman serangan Covid-19.
Terbukti, akibat kelalaian pemerintah Indonesia yang sejak awal tidak bersikap reaktif, korban demi korban pun terus menerus berjatuhan. Akhirnya setelah masyarakat banyak yang dinyatakan positif Covid-19, tumbuhnya cluster baru dan kematian massal melanda beberapa wilayah perkotaan, maka pada tanggal 31 Mei 2020 Presiden Jokowi menandatangi peraturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi dasar hukum penanggulangan penyebaran Covid-19 yang kewenangan penerapan PSBB dikoordinasikan ke pemerintah daerah. Tidak sedikit pakar hukum yang kecewa atas terbitnya PP tersebut karena pemerintah pusat dianggap kurang serius menangani pandemi yang telah banyak menewaskan masyarakat, dokter dan tenaga medis.
*
Pernyataan Wamenkumham Edward OS. Hariej tentang sanksi pidana (penjara sekaligus denda) jika masyarakat menolak vaksinasi, bersandar pada UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pertanyaan muncul, “Apakah pemerintah dalam konteks penanggulangan Covid-19 memberlakukan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan? Bukankah yang diberlakukan pemerintah dalam penanganan Covid-19 adalah PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB?” Dari sini, kita bisa menggali sejauhmana potensi sanksi pidana dikenakan terhadap warga negara yang menolak program vasinasi (sinovac) yang diwajibkan oleh pemerintah.
Sanksi pidana berkaitan dengan asas legalitas dalam hukum pidana, Pasal 1 ayat 1 KUHP menegaskan, ”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Asas legalitas bertujuan untuk memberikan jaminan kepada setiap warga negara agar terhindar dari bentuk perlakuan sewenang-wenang oleh alat penegak hukum.
Nullum delictum, nulla poena sine pravia lege poenali (tiada delik, tiada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan) merupakan asas yang menentukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana jika sudah ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Penerapan sanksi pidana hanya dapat disangkakan kepada setiap warga negara yang melanggar hukum dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku. Pada situasi darurat, multi krisis akibat pandemi, diberlakukannya PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB tentu tidak berdampak dijatuhkannya sanksi pidana bagi warga negara yang melanggar, melainkan sanksi denda bagi anggota masyarakat yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diwajibkan dalam peraturan pemerintah tersebut. Hanya UU yang berkonsekuensi sanksi pidana bagi yang melanggar.
Merebaknya informasi seputar vaksin Sinovac, vaksin produksi Cina yang ironisnya di Cina sendiri tidak diterapkan, di mana validitas tingkat keberhasilannya diragukan pakar ilmu kesehatan, menimbulkan sejumlah kekhawatiran di kalangan masyarakat kita. Ketika vaksin Sinovac tiba di Indonesia kemudian didistribusikan ke sejumlah daerah tanpa terlebih dahulu lolos uji verifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ketakutan semakin memuncak menghantui pikiran rakyat yang terlanjur depresi menghadapi tekanan ekonomi di tengah pandemi.
Sejatinya, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Di tengah serangan Covid-19 yang menghancurkan tatanan ekonomi global dan meruntuhkan hampir semua sektor usaha, rakyat harus mendapakan kepastian perlindungan keselamatan untuk selamat dari serangan Covid-19. Saya percaya, jika vaksin yang akan disuntikkan sudah teruji secara klinis, dan pemerintah bertanggungjawab penuh atas vaksin yang akan disuntikkan serta memberi kepastian jaminan kepada masyarakat, atas dasar kesadarannya sendiri rakyat akan taat mengikuti program vaksinasi demi membentengi diri dari teror Covid-19.
Dalam suasana yang penuh ketidakpastian dan ancaman kematian, selayaknya pejabat negara dalam melontarkan pernyataannya meneduhkan suasana dan menciptakan ketenangan. Bukan mengancam rakyat yang sudah sekian waktu lamanya hidup dalam kegelisahan dan lelah dikepung corona virus, karena hakikat hukum diberlakukan mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian tentang perlindungan atas kehidupan yang kini diincar maut, ketika ruang interaksi sosial menjadi hantu yang menebar teror.
Atas nama keselamatan rakyat, berhentilah mengancam rakyat!
Tangerang, 11 Januari 2021.
*Praktisi hukum, pencinta puisi dan kopi