Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni

Nongkrong di pinggir jalan tanpa hambatan, di trotoar, dekat halte bus, dekat lapangan bola, misalnya, dengan pemandangan bebas, dilarang mencari inspirasi untuk hal kurang baik, ataupun hendak mencelakakan diri sendiri ataupun pula merugikan kehidupan sesama dengan cara apapun, tidak boleh ya.

Niat baik tak perlu di ungkapkan seluas langit, lakukan saja, lantas lupakan, kalau seumpama kebaikan itu telah mengalir ke ruang-ruang makrifat hakikatnya. Tak perlu cericau hal tak penting tentang niat baik itu-selesai berbuat baik, bersegera menuju kebaikan lainnya.

Bercericau bikin kantong bolong pusing tujuh keliling, melahirkan kebaikan palsu akibat gimik keriditan atau tunai tertentu, memicu pola sel negatif di badan pemiliknya, sebagaimana hakikat hukumnya-kepalsuan, tak mampu merubah inteligensi semakin cerdas-bijaksana, menuai penyakit kejiwaan baru. Sel negatif, menyerbu sel positif di otak, mungkin saja, akan, berakhir dalam pola-perilaku euforia skizofrenia.

Apalagi ‘nge-jago’, keroyokan, berkicau hal negatif ini-itu, membuat pandangan positif akan lebih mudah membaca kepandiran dari perilaku kurang baik, sekalipun bersistem dalam tema strategis sebagaimana umumnya di muka dunia ini, memicu pola psikoaktif, mencipta kepanikan publik serupa ‘say war’, pola lama itu-kuno banget, di era zaman kontemporer ini.

Publik tak seperti tampaknya, di dalamnya beragam keahlian inheren kecerdasan berbudi luhur, mampu membentengi diri dengan pola sensor pilihannya, spontan, cerdas-beriman; ini baik-ini tidak baik, terus berkarya tulus-mendahsyat gelombang tsunami kabaikan di bawah episentrum.

Nurani, dilarang bertentangan dengan ucapan, atau sebaliknya-hal itu, pemicu gempa alami ataupun krisis bencana iklim geo-lingkungan di planet manapun.
Nurani, selaras perilaku berbudi-seucap kata beriman risalah kebeningan, sebagaimana kekuatan hukum ilahi mencipta bimasakti dalam satu kata ‘Kun’, terjadilah, sebagaimana fajar sidik awal waktu berlari damai menuju siang, sore, ke-malam hari.

Keseimbangan waktu membimbing makhluk sosial, seketika, berkesinambungan menuju takdir-Nya, menemui kehidupan ‘Candradimuka’, edukasi sosio-kultural, sosio-sains, sosio-tekno ilahiah.

Bukan pengembangan sifat adigang-adigung, bersilat lidah berkelit kian-kemari, lempar batu sembunyi tangan, sekalipun dalam plasenta sistem inteligensi terkristal, sebagaimana berlaku umum di planet ini. Kepandiran antagonistis, akan tetap tampak, sekalipun di dalam bungkusan keredok pedas. Salam damai Indonesiaku, keren, senantiasa berbudi luhur.

Jakarta Indonesia, Februari 17, 2021