Secara geopolitik, kompetisi antara AS versus Cina semakin meluas. Tak hanya perang dagang (trade war) semata, namun juga perang diplomasi, currency war, oil war, bahkan rebutan pengaruh dan hegemoni (sphere of influence) di negara ketiga. Menurut cermatan penulis, yang paling dahsyat namun berjalan senyap justru persaingan di bidang teknologi komunikasi generasi kelima (atau 5G).
Dibanding sebelum – sebelumnya, persaingan 3G misalnya, atau 4G, dinilai biasa – biasa saja. Mengapa begitu, sebab tidak ada kaitan perang, atau tidak terkait secara signifikan dengan teknologi perang, atau negara mau perang dst.
Tatkala menginjak ke 5G, aroma kompetisi menyengat kuat. Apa hendak dikata, selain faktor geopolitik di kawasan memang memanas, 5G juga dianggap weapon alias senjata dalam peperangan di masa depan.
Sebagaimana diketahui bersama, kalau 4G masih memakai BTS karena transmisi jarak pendek, pun tiap sekian kilometer masih perlu perkuatan gelombang dst, sedang 5G ialah teknologi baru yang memiliki kecepatan berkali lipat ketimbang 4G. Bahkan ada yang menyatakan 100 kali lipat. Alangkah dahsyatnya. Ia dipancarkan secara langsung lewat satelit tanpa perlu BTS lagi.
Hebatnya, gelombang 5G bisa dikirim kemana-mana sesuai kepentingan dan keinginan. Mau di arahkan ke pihak lawan misalnya, tinggal mengarahkan satelit ke sasaran: “selesai.” Inilah kecanggihan sekaligus kerawanan teknologi 5G jika ia diaplikasikan pada teknologi perang.
Barangkali, bila untuk infrastruktur atau sekedar jaringan komunikasi tidak menjadi soal sebagaimana 30-an negara yang sudah menggunakan 5G. Masalah krusial muncul, ketika 5G dikaitkan situasi geopolitik teraktual dan dinilai sebagai teknologi perang melalui penggunaan drone atau pesawat nirawak.
Sekali lagi, drone merupakan weapon dalam perang masa depan. Ia bisa terbang tinggi melalui gelombang 5G dan tak terpantau oleh 4G yang jangkauannya berkisar dua kilometer di atas permukaan bumi. Dengan gelombang 5G, drone mampu terbang ribuan kilometer di atas permukaan bumi.
Kalau kompetisi 5G saat ini khususnya AS versus Cina, masih perihal keprotokolan, kendati praktiknya sebatas saling klaim bahwa produknya terbaik. Semacam perang iklan.
Balik lagi ke kondisi geopolitik. Ya. Ibarat tumpukan jerami di ladang kering, saat ini — atmosfir politik di Laut Cina Selatan tinggal menunggu pemicu, maka akan meletus peperangan besar di abad ke-21 antara Cina melawan AS dan sekutu.
Akan tetapi, konon Cina tidak mau berperang dengan siapapun terutama melawan AS dan sekutu. Selama ini, ia cuma show of force (unjuk gigi) dan sekedar shock and awe alias gertak-gertak sambal saja.
Alasan kenapa Cina enggan head to head melawan AS dan sekutu, ilustrasi jawaban mungkin seperti pepatah Jawa: “Menang dadi arang, kalah dadi abu”. Tampaknya, kharakter dagang Cina lebih kuat ketimbang naluri dan kharakter juang (perang)-nya.
Adapun alasan lainnya, semenjak merdeka tahun 1949, ia tak pernah terlibat dalam pertempuran besar secara langsung. Pernah berperang melawan Vietnam, itu pun kalah. Dipukul mundur oleh Vietnam. Sebelum merdeka (1937 – 1945) pun dibuat luluh lantak oleh Jepang di Manchuria. Ya. Cina amat miskin pengalaman berperang.
Mungkin, jika merujuk jumlah pasukan dan modernisasi alat dan mesin perang, Cina hampir setara AS. Akan tetapi, faktor mental atau nyali perang, misalnya, atau fighting spirit, militansi dll masih perlu uji lapangan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi AS yang sudah malang melintang serta telah menggelar ratusan kali peperangan, baik perang besar dan kecil, baik perang secara langsung maupun di balik layar, atau perang memakai pihak ketiga (proxy war), ataupun perang secara nirmiliter (asymmetric war) di pelbagai belahan bumi.
Lantas, bagaimana Cina menghindar agar tidak terjadi perang terbuka secara militer dengan Paman Sam?
Pepatah leluhur Cina menyatakan: “Membuat periuk berhenti mendidih, singkirkan bahan bakarnya”. Nah, tampaknya ia mengamalkan siasat perang kuno: “Mencuri kayu bakar dari bawah periuk,” meski dengan kondisi dan kemasan berbeda.
Maka, ketika merayakan pergantian tahun 2019 – 2020, Cina sengaja show of force di langit Shanghai menampilkan kemajuan teknologi internetnya. “Sistem 5G yang bisa berjalan.” Atraksi dan display matrix coordination dengan melibatkan 2000-an drone di angkasa tanpa ada senggolan atau tabrakan sedikit pun. Bahkan di ujung atraksi, Cina membuat simulasi ‘orang berlari di langit’ dengan ribuan drone. Sungguh luar biasa (lihat di youtube: Biggest drone display ever! – Guinness World Records di https://youtu.be/44KvHwRHb3A).
Tampaknya, siasat ‘mencuri kayu bakar’ cukup efektif. Karena dampak dari show tersebut, Paman Sam terkejut bukan kepalang. Betapa kemajuan Cina dalam hal teknologi 5G telah melampauinya. Kenapa? Bahwa selama ini, matrix coordination secara canggih cuma sebatas angan – angan AS melalui filem layar lebar. Ia belum bisa mengaplikasikan 5G untuk menggerakkan mesin-mesin perang.
Dalam perspektif hegemoni superpower, ketika muncul kekuatan yang hendak/telah melampaui dan/atau membahayakan hegemoninya maka harus dilemahkan, kalau perlu dihancurkan agar tak menjadi kendala di kemudian hari.
Setidaknya, simulasi 5G di langit Shanghai membuat AS risau. Hegemoninya terancam.
Gilirannya, secara implisit — kuat diduga bahwa virus corona pun ditebar di Wuhan ketika ada lomba paramiliter. Tak lain, tujuannya untuk melemahkan laju teknologi 5G.
Kenapa di Wuhan?
Selain dianggap central of gravity sektor bisnis dan ekonomi. Banyak korporasi raksasa seperti OPPO, Alibaba, Huawei dll. Ada laboratorium dan pusat riset tentang virus. Dan paling utama ialah bahwa di Wuhan sarat dengan gelombang 5G. Nah, inilah alasan paling utama kenapa virus ditebar di central of gravity.
Mengapa lewat virus?
Secara teori, gelombang 5G tidak dapat dibendung. Tak bisa dihentikan, apalagi kalau ia sudah berjalan. Lalu, siapa yang dapat menghentikan? Satu kata: VIRUS! Ya, hanya virus yang mampu membendung gerak laju gelombang 5G. Itulah alasan kenapa virus ditebar di Wuhan.
Dunia memahami, dalam hal riset dan persenjataan virus (biological weapon), Paman Sam jauh lebih canggih daripada Cina.
Ya. Berbasis empirical facts, hanya virus yang mampu mencegah serta membendung gerak gelombang 5G agar ia tidak bisa dan tak dapat dipancarkan kemana-mana.
Ada pendapat Dr. Patrick Vickers M.D, pakar Gerson Therapy dari Baja Gerson Centre California, AS, intinya begini: bahwa masalahnya bukan pada 5G-nya, tidak pula pada virusnya. Tetapi dua-duanya. Dengan kata lain, jika kedua unsur (gelombang 5G dan virus) berada di suatu ruang hidup, maka gelombang 5G justru membuat virus semakin aktif dan menghalangi hemogloben menarik oksigen ke dalam tubuh. Semakin kuat gelombang 5G, virus pun bertambah galak bahkan bisa lepas kendali. Out of control.
Dan tampaknya, mungkin karena pendapat pakar tersebut —salah satu poin penyebab— mengapa beberapa negara akhirnya membatalkan kontrak dengan Cina terkait 5G, meskipun diyakini pasti ada faktor lain yang tak kalah urgen terkait kepentingan (geo) politik global.
(Bersambung ke-4)