JAKARTASATU.COM – Sore itu kami berkumpul disebuah Kafe Kawasan Ruko Galeri Niaga Tanjung Barat, Jl. T. B. Simatupang No. 81, Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan. Adalah Sipirok Cafe disinilah kami menemukan sisi kultural tentang kopi dan tradisi kuliner khas Angkola – Mandailing dibalik budaya ngopi atau budaya #ngopi alias nyeduh.
Adalah yang #ngopi sore itu adlaah para tokoh penting. Ada tuan rumah pemilik Sipirok Cafe Ayub Pulungan yang juga CEO Indonesia Sustainable Coffee Corporative (ISCC), ada juga Heru Setyoko Executive Director FIELD yang juga Sekjen ISCC dan  Cut Meutia Adrina Ketua Umum Perkumpulan Semangat Gotong Royong (Segoro) Indonesia juga (ISCC) dan saya. 
Kami #ngopisore bersama dan bicara banyak tentang program-program dalam dunia perkopian tanah air dari Aceh  sampai Papua. Kita kaya akan kopi. namun petani kopi masih termarjinalkan. Itinya termarjinalkan dalam artian yang sebenarnya adalah yang ditrujukan kepada para petani kopi. Petani kopi kita memang belum layak hidup setara dibanding dengan tren kopi yang kini makin menguat dimana-mana.
Sebenarnya ada yang menarik dalam #ngopisore kali ini gagasan ISCC yang sudah dalam program adalah dengan akan membuat data semacam DNA tentang kopi. Sebuah data digital yang kuat sehingga data yang berbasis Indikasi Geografis Kopi ini akan menjawab hal diatas tadi yaitu maslaah masih termajinalnaya petani kopi.
“Jika data Indikasi Geografis Kopi  tadi terwujud dan sedang kami siapkan makan jawaban petani yang termajinalkan akan perlahan terkikis,” ujar Ayub. 
Ayup yang juga dikenal sebagai ekspert dalam kopi memang banyak memberikan masukan besar dalam dunia kopi ini. Bagaimana Mengenal dan menikmati kopi dan bahkan bukan saja ide data itu yang akan dikembangkan  namun Kopi ini akan disinergikan dengan kekuatan wisata. “Ini program prioritas kami nanti dengan Kementrian Pariwisata, lanjut Byub.  
Heru dan Cut Meutia sepakat bahwa Kopi dan Wisata dan sebagai Ketua Umum Segoro Cut Meutia bahkan akan mensupport secara strategis program Wisata Kopi. “Saya suka dan kaan support program ini, ini alan lebih baik dan kita akan menjadi kekuatan tersendiri dan dunia wisata dan kopi,”jelas Cut Meutia.
Jika bicara kopi memang kita tak kan lepas dari perjalanannya. Saya jadi ingat kawan saya  penulis buku The Road to Java Coffee  Prawoto Indarto yang mengisahkan kisah kopi secara hakiki. Dalam buku bukunya The Road to JAVA Coffee yang fenomena itu, ia mengisahkan bahwa yang menarik Priangan Sang Legenda dalam konstelasi industri kopi dunia, peran Pulau Jawa, khususnya Priangan, tidak mungkin dihilangkan dan Kopi, Budaya dan Masyarakat Muslim adalah bagian yang kuat.

Jika kita menenggok awalnya Ethiophia sebagai tempat asal tanaman kopi dan telah mengkonsumsi sejak abad 9, namun kopi baru popular sebagai minuman di abad 15, ketika mulai diperdagangkan secara komersial oleh para pedagang jazirah Arab tepatnya  di Yaman.

Adalah kaum muslim, kelompok terpelajar kala itu, yang melakukan berbagai percobaan untuk menemukan bagian mana dari tanaman kopi yang paling cocok untuk di konsumsi sebagai minuman. Akhirnya diketahui bahwa biji kopi yang disangrai lalu ditumbuk menjadi bubuk adalah cara paling tepat menikmati minuman kopi.

Awalnya, kopi hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas yaitu, para Sultan dan para imam. Di balik warna seduhan berwarna gelap, kopi memberi rasa segar dan mencegah rasa kantuk saat para imam melakukan tafsir ayat-ayat suci Al Qur’an di malam hari. Ketika rahasia itu terbongkar dan mulai menyebar, kopi segera menjadi minuman popular masyarakat di seluruh jazirah Arab.

Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat di Jaziah Arab ketika membuat peralatan minum kopi biasa dihiasi oleh ornamen-ornamen indah. Mereka percaya ada energi tersembunyi dibalik minuman kopi untuk membangkitkan semangat, gairah dan stamina. Minuman itu di berinama Qahwa yang berarti kekuatan. Qahwa diambil dari kata Kaffa, suatu wilayah di Ethiopia, tempat tanaman kopi berasal.

Dari semua legenda dan literatur, Ethiopia disepakati sebagai tempat asal mula tanaman kopi ditemukan. Minuman yang sempat memperoleh predikat sebagai ‘Anggur Arab” tersebut akrab dengan peradaban masyarakat muslim di era kekhalifahan.

Kisah Khaldi dan kambingnya.

Cerita gembala Khaldi bersama kambing-kambinnya yang menari-nari riang gembira selalu menjadi awal ketika orang di seluruh dunia membicarakan kopi. Konon pada suatu hari, Khaldi melihat kambing piarannya melompat-lompat kegirangan. Usut punya usut, di bawah tanaman asing Khaldi melihat kulit buah beri merah yang terkelupas. Rasa penasaran mendorong Khaldi untuk makan buah tersebut. Sehabis makan buah tersebut, Khaldi merasa segar dan bersemangat. Kisah Khaldi dan kambing peliharaannya lalu berkembang menjadi cerita yang berkembang menjadi legenda awal tanaman kopi mulai ditemukan. Cerita ini mengalir seiring penyebaran kopi diseluruh dunia. Namun sejak abad 18, Java adalah kata yang selalu disebut bila orang di dunia membicarakan kopi.

Kisah Omar, Tabib dari Mocha.

Selain Khaldi, cerita kopi juga sering menyertakan kisah Ali bin Omar al Shadili, yang biasa dipanggil Omar, seorang sufi sekaligus tabib yang hidup di Mocha, Yaman.

Omar adalah tabib yang memadukan tindakan medis dengan doa. Hampir segala penyakit bisa disembuhkan dengan cara itu sehingga Omar menjadi tabib terkenal di kota Mocha. Namun penguasa idak suka dengan popularitas Omar. Segala daya upaya dilakukan untuk menjatuhkan Omar, termasuk melemparkan ‘hoax’ bahwa Omar telah bersekutu dengan setan dalam usaha  menyembuhkan penyakit para pasiennya. Akhirnya Omar diusir dari kota dan tinggal dalam sebuah gua di luar kota Mocha.

Saat lapar mendera, Omar menemukan tanaman semak, penuh dengan buah beri berwarna merah. Omar berpikir buah tersebut sebagai tanda penyelamatan dari Tuhan. Untuk mengusir rasa lapar, Omar makan buah itu meski terasa pahit. Omar kemudian melakukan berbagai cara agar dapat menikmati buah itu. Ketika merasa haus, Omar minum cairan dari biji buah tersebut, dan bersama tetes air yang masuk di kerongkongan, tubuh Omar merasa segar.

Singkat cerita, keberadaan Omar hidup di gua kemudian diketahui oleh banyak orang. Mereka berbondong-bondong datang ke Omar untuk disembuhkan. Kali ini Omar memanfaatkan air seduhan dari biji buah beri itu sebagai obat mujarab. Air mujarab itu lalu dikenal dengan nama Qahwa yang artinya kekuatan.

Para pedagang Arab merupakan salah satu supplier rempah-rempah untuk pasar Eropa. Mereka mencari rempah-rempah ke wilayah Asia, terutama ke India untuk memperoleh lada dan ke Ceylon (kini Sri Lanka) untuk mendapatkan kayu manis. Ketika tinggal di Ceylon,  mereka membawa bibit kopi untuk ditanam sebagai minuman kegemaran mereka. Ketika Ceylon dikuasai oleh Portugis, para pedagang Arab keluar dari Ceylon meninggalkan kebun kopi mereka. Selama Portugis di Ceylon, mereka tidak menyentuh kebun kopi.

Tahun 1658, Belanda berhasil menguasai Ceylon dari Portugis dan secara tidak sengaja menemukan kebun kopi yang ditinggalkan oleh pedagang Arab. Belanda kemudian menempatkan ahli botani, Carolus Linnaeus untuk menyelidiki pola budidaya tanaman kopi. Setelah berhasil, Linnaeus kemudian menamakan genus tanaman tersebut Coffea ArabicaCoffea diambil dari kata Qahwa sedang Arabica ditambahkan karena Linnaeus mengira tanaman kopi berasal dari Arab (karena ditanam oleh pedagang Arab yang tinggal di Ceylon).

Genus inilah yang dibawa oleh VOC ke pulau Jawa untuk ditanam tahun 1696 dan 1699 di sekitar Batavia. Tahun 1706 contoh tanaman serta produksi kopi dari Jawa dibawa ke kebun botani Amsterdam yang memperoleh predikat sebagai kopi kualitas tinggi.

Dari kebun botani Amsterdam inilah coffea Arabica dari pulau Jawa lalu menyebar ke benua Amerika termasuk kepulauan Karibia. Seiring penyebaran tanaman kopi ke seluruh penjuru benua, masyarakat terlanjur menyebut tanaman itu sebagai coffea Arabica atau Arabica coffee dalam bahasa Inggris dan ‘kopi Arabika’ dalam terminologi bahasa Indonesia.

Kopi Arabika Di tanam di Jawa

Sampai tahun 1690 volume permintaan kopi dari pasar Eropa terus meningkat. Hal ini mendorong Walikota Amsterdam, Nicholas Witsen, pada tahun 1696 memberi perintah kepada komandan VOC di Pantai Malabar, India untuk membawa benih coffea Arabica atau kopi Arabika agar ditanam di salah satu koloninya di Asia, pulau Jawa (Uker’s 1922 : 6; Gabriella & Hanuz 2003 : 21;).

Benih tersebut ditanam di tanah milik Gubernur Jenderal VOC, Williem van Outshoorn  di Kedawoeng, pinggiran BataviaPercobaan ini gagal akibat banjir dan gempa bumi sehingga bibit tanaman kopi banyak yang mati (Uker’s 1922 : 213). Tahun 1699, Henricus Zwaardecroon membawa kembali benih coffea Arabica yang ditanam di sekitar bantaran sungai Ciliwung seperti Meester Cornelis, Kampung Melayu, Bidaracina, Palmerah dan Sudimara (Mawardi 1999 : 219; Yahmadi 1999 : 180 – 182).

Tahun 1706, contoh benih serta biji coffea Arabika dikirim ke kebun botani Amsterdam untuk dilakukan analisa. Kopi dari kebun di pulau Jawa dinilai memiliki kualitas tinggi. Tahun 1707, Walikota Amsterdam memberi perintah kepada Gubernur Jenderal VOC, Williems van Outshoorn, untuk melakukan budi daya tanaman kopi di pulau Jawa. Karena terbatasnya sumber daya manusia di organisasi VOC, maka van Outshoorn memanggil bupati Priangan untuk diajak terlibat di dalam budidaya tanaman kopi di pulau Jawa (Hardjasaputra 2004 : 37; Gabriella& Hanuz 2003 : 25).

Tahun 1707, berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal VOC, Willems van Outshoorn, dengan para bupati Priangan membahas penanaman kopi Arabika di Jawa. Gubernur Jenderal mengajak para bupati Priangan dapat membantu VOC dalam usaha budidaya tanaman kopi Arabika.  Para bupati di wilayah Priangan barat akan memperoleh benih coffea Arabica dari Batavia sedang bupati Priangan timur mendapat benih dari Cirebon (Yahmadi, 2000). Ini adalah awal tanaman coffea Arabica dibudidayakan secara besar-besaran melalui peran dari para bupati Priangan. Dalam pertemuan itu juga disepakati setelah tanaman kopi tersebut panen, maka hasil kopi dari bupati Priangan akan dibeli oleh VOC dengan harga 5 – 6 ringgit gulden per pikul (Hardjasaputra, 2004).

Karena perjanjian tersebut sebatas antara VOC dengan para bupati Priangan terkait budidaya tanaman kopi, maka perjanjian ini disebut Koffie – stelsel (Gariella & Hanuz 2003 : 25). Selain kopi, maskapai dagang Belanda VOC juga mengharapkan hasil bumi lain seperti beras, nila, gula dan lain-lain dari para bupati Priangan. Perkembangan permintaan VOC kepada bupati Priangan ini dikenal dengan nama Preanger – stelsel, dimana kopi tetap merupakan tanaman wajib. Sehingga perjanjian antara bupati Priangan dan VOC dalam Koffie stelsel adalah murni perjanjian dagang (Hardjasaputra 2004 : 35 – 39).

Pada tahun yang sama di Amsterdam, contoh biji serta benih tanaman coffea Arabica dari bantaran sungai Ciliwung di Batavia mulai diternakkan melalui biji kemudian dibagikan ke kebun botani ternama di Eropa, termasuk disampaikan kepada Raja Perancis, Louis XIV.

Pada tahun 1711, bupati Cianjur Aria Wiratanudatar menyerahkan sekitar 400 kg kopi yang diteruskan oleh VOC ke balai lelang di Amsterdam (Hardjasaputra, 2004; Breman, 2014). Kopi tersebut berhasil memecahkan harga lelang tertinggi (Gabriella & Hanuz 2003 : 25) serta diapresiasi sebagai “a high grade coffee” jauh sebelum masyarakat dunia mengenal kopi Brazil, Kolumbia dan Venezuela (Uker’s 1992 : 213). Kehadiran kopi Jawa di pasar Amsterdam sekaligus menempatkan posisi Priangan di pulau Jawa sebagai kebun kopi komersial ke dua di dunia setelah Mocha di Yaman.

Dari Eropa Menyebar ke Benua Amerika.

Kesuksesan kopi Jawa dari kebun di Priangan di lelang Amsterdam mendorong keingingan Raja Perancis Louis XIV mengirim khusus utusan diplomatik agar dikirim kembali benih coffea Arabica dari kebun botani Amsterdam, karena benih pertama yang dikirim tahun 1707 mati. Tahun 1714, Walikota Amsterdam, Nichlas Witsen, kembali mengirim benih coffea Arabica setinggi lima kaki (Uker’s 1922 : 6) serta menyarankan benih tersebut ditanam di dalam rumah kaca. Louis XIV kemudian membangun rumah kaca di kebun raya Royal Jardine des Plantes, Paris untuk tanaman coffea Arabica. Secara khusus Louis XIV menempatkan ahli botani ternama, Antonie de Jussie, guna mengawasi dan merawat pertumbuhan tanaman coffea Arabica yang berasal dari benih di Batavia pulau Jawa yang kemudian diternakkan di kebun botani Amsterdam.

Respon positif dari pasar Eropa atas kehadiran kopi Jawa mendorong Belanda untuk memperluas tanaman kopi Arabika. Pada tahun 1718, Belanda melakukan penanaman coffea Arabica di wilayah koloninya di benua Amerika yaitu Suriname Guyana dengan benih dari kebun botani Amsterdam, Belanda (Uker’s, 1922; Talbot, 2011). Sedang benih dari Jawa ditanam di Sumatera. Dengan demikian, pada tahun 1718 Belanda melakukan ekspansi penanaman kopi di dua wilayah sekaligus, yaitu Surinama Guyana dan Sumatera. Pada tahun 1750, dengan benih kopi Arabika dari pulau Jawa Belanda kembali menanam kopi Arabika di Tana Toraja, Sulewasi (Uker’s 1922 : 9).

Pada tahun 1723, seorang perwira angkatan laut kerajaan Perancis bernama, Gabriel Mathiew de Clieu, yang bertugas di Martinique, koloni Perancis dikepulauan Keribia, berlibur ke Paris. Dia menemui sahabatnya Antonie de Jussie, profesor botani yang memperoleh tugas khusus dari Raja Louis XIV untuk merawat tanaman coffea Arabica, di kebun raya Royal Jardine des Plantes, Paris. Dari cerita yang disampaikan de Jussie, perwira Angkatan Laut tersebut tertarik untuk membawa benih tanaman kopi Arabika ke Martinique.

Ketika de Clieu kembali ke tempat tugasnya di Martinique, dia berhasil menyelundupkan lima polybag benih coffea Arabica yang diletakkan di bawah geladak kapal menuju Martinique di kepulauan Karibia. Ketika tiba di Martinique, dari lima polybag benih coffea Arabica tinggal tersisa satu polybag. Dalam perjalanan de Clieu sempat bertengkar dengan kawan-kawannya dengan akibat empat polybag benih coffea Arabica dibuangke laut. Benih coffea Arabica dari Royal Jardine des Plantes Paris itu kemudian ditanam di Preebear, wilayah paling subur di Martinique. Sejarah mencatat, coffea Arabica dari pulau Jawa yang diternakkan di kebun botani Amsterdam lalu dtanam di Royal Jardine de Plantes Paris kemudian dibawa ke Martinique di kepulauan Karibia kemudian menyebar ke perkebunan kopi arabika di seluruh kepulauan Karibia termasuk  ke Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Meksiko (Ukers 1922 : 7; Talbot 2011 : 68; Wrigley 1988 : 40).

Sementara dari benih yang ditanam Belanda di Suriname Guyana, tahun 1727 dibawa ke Brazil untuk ditanam di wilayah Para yang mengawali Brazil dalam budidaya tanaman coffea Arabica. Namun fase ini dianggap kurang berhasil, baru tahun 1760 ketika Joao Alberto Castello Branco membawa benih untuk ditanam di Rio de Janeiro (Uker’s 1922 : 9) Brazil tumbuh sebagai produsen kopi yang diperhitungkan. Sampai tahun 1870an, Brazil bersama Ceylon (kini Sri Lanka) dan Jawa merupakan tiga besar eksportir kopi arabika di pasar dunia.

Bicara kopi nama Java memang akan selalu hadir meski ada Geisha Panama, Blue Mountains, Colombia atau lainnya. Seperti dituturkan Prawoto Indarto dimana ia juga menuliskan saripati tulisan yang saya kutip itu dengan judul sederhana: PERJALANAN SECANGKIR KOPI yang saya kutip dari media saya CSR-Indonesia.com. 

Jadi saya merasa bangga Java itu memang kopinya diperhitungkan. Tapi saya juga bangga menemukan Sipirok yang Bang Ayup Pulungan punya kawan baru saya yang jago kopi asal Sipirok Sumatra ini. Karena Kopi pemberi energi baik. Maka sore itu saya menikamati #ngopisore dengan single expresso Sipirok yang kuat dan mantap siapa yang mau nyeduh kopi selamat menikmati #ngopisore dengan hati yang tenang dan iklas. Sehingga kita juga akan membantu petani kopi gara tidak termarjinalkan tapi kita muliakan. Tabik..!!@

#CATATANJAKARTASATU

AENDRA MEDITA KARTADIPURA

*)Wartawan Senior, dan Analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)