Oleh Salamuddin Daeng*)

Dalam laporan keuangan semester I tahun 2020, Perusahaan Listrik Negara (PLN) resmi mencatat kerugian sebesar Rp. 10.14 triliun lebih. Kerugian ini belum termasuk bunga utang yang harus dibayar PLN nanti pada akhir tahun. Kerugian ini merupakan hasil akhir usaha PLN yang pasti terjadi mengingat penjualan listrik PLN lebih rendah dibandingkan beban biaya yang dikeluarkan. Ini rumus dasar bangkrut. Lebih besar pasak dari pada tiang.

Apa yang menyebabkan biaya PLN tinggi ? Tiga beban terbesar bagi PLN adalah (1) pembelian listrik Rp. 49.96 triliun lebih, (2) pembelian bahan bakar dan pelumas Rp. 56.06 triliun lebih dan 3) beban keuangan Rp. 13.72 triliun lebih (selama 6 bulan sebagaimana tergambar dalam laporan keuangan Juni 2020). Ketiganya mengakumulasi 80% total biaya yang dikeluarkan PLN dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Lalu siapa yang untung dan tak pernah rugi? Tidak lain adalah penjual bahan bakar terutama batubara yang mengakumulasi 70 persen bahan bakar primer PLN. Siapa lagi yang juga untung dan tak pernah rugi? Mereka adalah penjual listrik swasta yang wajib dibeli listriknya oleh PLN dengan skema Take or Pay (TOP). Luar biasa Top keuntungan oligarki yang menjadi mitra bisnis PLN ini.

Siapa mereka? Transparency International (TI) Indonesia menyatakan ada 40 dari 90 perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri yang memiliki direksi dan komisaris dengan kepentingan politik (politically exposed persons/PEPs). Dari temuan ini, TI Indonesia menyatakan skor Corporate Political Engagement Index (CPEI) dari 90 perusahaan tersebut adalah 0,9 dari 10. (CNN Indonesia | Kamis, 15/04/2021). Hasil survey ini sekali lagi membuktikan listrik dan PLN dibajak oligarki.

Bagaimana PLN menutup kekurangan biaya? Tidak ada jalan lain kecuali berutang dan berutang. Akibatnya utang perusahaan menumpuk dari waktu ke waktu. Utang kepada bank nasional, kepada lembaga keuangan interasional dan kepada pasar komersial. Utang dan utang tanpa perhitungan yang baik apakah ini bisa dibayar atau tidak.

Bayangkan ya? Utang PLN sangat besar. Tidak terbayamgkan bagaimana perusahaan ini akan dapat membayar utang segunung. Boleh ya bilang utang segunung, karena memang faktanya demikian.

DALAM LAPORAN KEUANGAN SEMESTER PERTAMA TAHUN 2020 TERGANBAR UTANG PLN TELAH MENCAPAI RP. 684.64 TRILIUN LEBIH. TERDIRI DARI LIABILITAS JANGKA PANJANG SEBESAR RP. 528.12 TRILIUN LEBIH DAN LIABILITAS JANGKA PENDEK RP. 156.52 TRILIUN LEBIH.

DIDALAM LIABILITY YANG BESAR TERSEBUT TERDAPAT UTANG KEPADA BANK YANG MENCAPAI 187.39 TRILIUN LEBIH DAN SEBAGIAN BESAR DALAM MATA UANG ASING YAKNI MENCAPAI RP. 109.57 TRILIUN LEBIH.

Perusahaan listrik negara dengan utang sangat besar ini tersandera kewajiban membayar bunga sangat besar. Pada periode Januari- Juni pembayaran bungan mencapai 38.25 triliun lebih, meningkat 10,11 triliun lebih dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini adalah tingkat bunga yang sangat besar, setara dengan empat kali beban kepegawaian yakni seluruh gaji, tunjangan, insentif, imbalan dan lain lain yang berkaitan dengan biaya kepegawaian.

Dengan kondisi di atas maka PLN sebetulnya sudah bangkrut . Jika melihat komposisi beban keuangan, maka kebangkrutan PLN akibat bandar energy fosil dan Bandar Utang. Ini sunggguh akan mempermalukan Sinuhun yang akan menadi salah satu pimpinan dalam konferensi iklim COP 26 akhir tahun ini. Sementara perusahaan andalan Sinuhun ludes dilahap bandar batubara dan Bandar pembangkit PLTU. Mudah mudahan ada jalan keluar.

*)Pengamat ekonomi politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)