OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ingat pilpres 2004? PKS adalah partai yang partama kali deklarasi mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak hanya mendukung, Tifatul Sembiring, presiden PKS saat itu, memasang spanduk dukungan dimana-mana. Foto SBY dipasang bersama gambar PKS.
Tidak hanya PKS, ketua Ansor, Syaefullah Yusuf pun ikut merapat dan memberikan dukungan. Tentu, partai dan ormas ini berani ambil risiko, karena punya keyakinan bahwa SBY akan menang. Keyakinan mereka tidak salah. Terbukti akhirnya, SBY pun menang. Dan mereka berdua masuk dalam kabinet SBY.
Bagaimana dengan 2024? Silaturahmi sejumlah partai sudah dimulai. Kasak kusuk antar pimpinan telah menciptakan banyak spekulasi. Bahkan sebagian telah melakukan manuver.
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP sudah mulai buka front. Kata Hasto, PDIP cocok berkoalisi dengan Gerindra, PPP, PAN dan PKB. Satu ideologi, lanjutnya.
Publik tentu tak percaya begitu saja kata-kata Hasto. Publik paham betul bahwa koalisi yang dibangun parpol itu berbasis pragmatisme. Gak ada itu yang namanya kesamaan ideologi atau platform. PDIP dan PPP, dimana letak kesamaan platformnya? PKB dan PAN di tingkat bawah sering menggunakan isu ritual keagamaan. Politik identitas berbasis paham keagamaan terus digoreng jelang pemilu. Kesamaan platform dari mana?
Sederhananya: masa bodoh dengan ideologi dan platform. Prioritas adalah kepentingan partai.
Sekarang bilang: sama platform dengan PAN. Besok sama platformnya dengan Golkar. Besoknya lagi dengan Nasdem. Ini bisa-bisanya orang partai aja. Tak lebih dari permainan kata. Klasik!
Koalisi parpol itu pragmatis. Cocok ayuk, gak cocok, cari yang lain. Deal, jalan. Gak deal, cari yang deal. Mau sama parpol mana, gak penting itu ideologi atau platform. Yang penting: deal! Sama-sama enak.
Jika hari ini PDIP tidak menyinggung Golkar, Nasdem, PKS dan Demokrat, mungkin karena keempat partai ini sudah punya pasangan calon yang akan diusung di 2024.
Publik tahu Nasdem, Demokrat dan PKS kecil kemungkinan akan berkoalisi dengan PDIP. Ada faktor non-politik yang ikut mempengaruhi. PDIP-Demokrat punya sejarah masa lalu yang tak pernah dituntaskan. PDIP-PKS, lebih pada konstituen yang berbeda haluan. Nasdem, nampaknya sudah sangat kecewa dengan PDIP setelah sejumlah porsi koalisi dipreteli. Golkar? Sepertinya merasa sreg gabung ke Nasdem. Lebih leluasa bernego. Dari pada dengan PDIP yang superior, karena PDIP partai pemenang. Selisih kursinya terlalu besar dibanding Golkar. Gak aple to aple.
Bagaimana dengan PKB, PAN dan PPP? Apakah akan berkoalisi dengan PDIP di pilpres 2024? Bergantung capres yang diusung. Kalau capres yang ditawarkan PDIP punya daya jual dan potensi menang, ada kemungkinan PPP, PKB dan PAN bergabung. Kalau gak layak jual? Tiga partai Islam itu hampir dipastikan akan hengkang juga.
PDIP seperti berada dalam persimpangan. Belum menentukan capres, karena memang belum ada yang meyakinkan. Calonkan Prabowo-Puan, apakah masih ngejual? PPP, PAN dan PKB tertarik? Belum tentu juga. Sebab, dua kali Prabowo gagal. Apalagi, usia Prabowo tidak muda lagi.
Calonkan Ganjar Pranowo, sangat berisiko. Ganjar sukses, trah Soekarno akan terancam dari posisi pimpinan PDIP kedepan. Megawati sadar betul bahwa Ganjar adalah ancaman. Dilematis!
Bagaimana kalau PDIP Dukung Anies Baswedan? Dalam politik, tak ada yang mustahil. Semua bisa terjadi. Kalau PDIP ingin menang di 2024, lebih prospektif kalau partai berlambang banteng ini calonkan Anies Baswedan. Faktanya, dalam berbagai survei, elektabilitas Anies memang tertinggi dari semua tokoh yang ada.
Selain potensi menangnya cukup besar, dukungan PDIP ke Anies ini bisa mengurai keterbelahan bangsa yang selama ini terjadi. Dukungan PDIP ke Anies akan menjadi perkawinan antara kelompok Nasionalis-Islam dengan Nasionalis-Sekuler.
Any way, siapapun pasangan calon yang bakal diusung, ini akan menentukan kemana arah parpol menentukan pilihan koalisinya. Semakin besar potensi kemenangan paslon, maka makin banyak parpol yang akan merapat dan mendukungnya. (RED)