OLEH AENDRA MEDITA*)
Apa benar Indonesia adalah negara demokrasi?
Pertanyaan besar diatas harusnya diungkap dulu, sebelum kita bahas dari judul tulisan ini. Meski dalam tatanan besar Indonesia saat ini “mengaku” seperti negara demokrasi, namun praktiknya masih jauh panggang dari api. Loh kenapa? Silakan cari tahu sendiri.
Saya ingin mengatakan bahwa sebuah negara demokratis harusnya sikap, pemerintah hendaknya sedapat mungkin mencerminkan — kekuatan yang ada dalam masyarakat– namun kita tahu bahwa saat pandemi saja sepertinya tidak berpihak pada masyarakat. Istilah yang ingin saya kutip misalnya sangat tajam yang diungkap M Rizal Fadillah pagi ini dalam tulisan kolomnya menjadi masalah utama sebenarnya adalah akibat dari tingkat kepercayaan rakyat kepada Jokowi yang terus merosot.
“Hampir tidak ada kebijakan yang mendapat dukungan publik. Apalagi dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19. PPKM yang diperpanjang secara eceran sebagai gambaran dari ketidakmatangan dan kebohongan berulang Pemerintah,” tulisa Rizal dalam opini analisanya berjudul ARUS BALIK POLITIK. Saya ikut mengamini pandangan Rizal ini analisanya jitu dan menohok.
Konstelasi Politik saat ini memang luar bisa gusar. Kegusarannya seperti kita rasakan, dimana semua punya kepentingan. Dalam peta politik yang panas jelas 2024 bahkan para politisi partai sibuk dengan artibut balihonya disetiap kota. Mereka tak lagi kampanye terselubung malah terang-terangan untuk 2024. Meski jabatan dia saat ini sebagai menteri atau patinggi di Senayan dan juga ada ketua umum sampai Gubernur. Baliho itu memberikan tanda kampanye sudah di cuatkan dan siap bertarung, tak melihat masa pandemi, acuh saja mereka itu. Kampanye dulu pandemi kemudian, seakan kalimat itu bagus disematkan.
Lantas akan sampai kapan publik dijejali dengan janji?
Albert Camus pernah menulia bunyinya begini: Sesungguhnya manusia tidak sama sekali bersalah, karena ia tidak memulai sejarah. Tapi juga tidak sama sekali tanpa salah, karena ia meneruskan sejarah.
Saya mengutip teks itu sebagai sebuah wujud bahwa bisa jadi ini bagian nyata konteks sejarah bangsa kita. Camus adalah tokoh ternama Peraih Nobel Sastra tahun 1957 ini adalah seorang Filsuf Prancis, ia juga jurnalis politik, penulis novel, meninggal pada tanggal 4 Januari 1960 di Burgundy, Prancis. Banyak diksi Camus yang terkenal dan kutipan saya adalh menjawab Baliho itu sebuah sejarah atau meneruskan sejarah. Karena di masa pandemi seakan tak merasa bersalah membuat narsistik diri tokoh-rokoh ini seolah tanpa beban.
Dalam komunikasi politik baliho adalah sah, sebagai sebuah upaya mengnalkan diri di media luar ruang yang biayanya paling mahal setelah biaya iklan di TV. Baliho adalah sasaran open space karena akan ada jutaan pasang mata lihat di area terbuka. Apalagi ada di pojokan jalan dan sudut kota. Tapi saat ini komunikasi baliho itu adalah jadi semacam iklan topeng-topeng sedang melakukan kesombongan dirinya.
Konstelasi Politik lainnya dari saat ini ramainya atau bergulirnya hubungan yang tidak harmonis antara partai dan istana. Bahkan ini diduga mengerus lenyaknya aku-akun yang selama ini disebut akun Buzzerp. Apa benar akun ini lenyap langsung atau sedang membuat plot baru dari drama panjang ini? Masa akunnya cepat hilang bukannya meraka juga sering beternak akun-akun baru….? Ah tahu juga. Lihat saja perkembangan kedepan apakah akaun muncul akun-akun baru lain?
Panasnya demokrasi yang pertanyakan diawal tulisan menjadi menarik sebab saat ini cari aman adalah bagian politik praktis dimana bagian ini adalah mungkin semacam straregi agar melanggengkan posisi kuasa, tapi harus ingat bahwa kekuasaan ada batas waktu. Rakyat sedang menjerit kini.
PPKM makin terus berlanjut. Apakah akan terus percaya jika rakyat tak sulit cari kerja dan menghidupi diri dan keluarga pun makin berat. Ada dana bansos? Ya… tapi mensosnya saja korupsi. Bahkan mengaku tak kuat, Politik memang bukan matematika tapi pilitik adalah hendaknya membukan kecerdasan dari semacam belenggu yang kelam. Dan buka dengan kebebasan untuk satu perubahan ke arah yang lebih baik. Dan Rakyat adalah yang harus didepan dibela. TABIK….!!
*)jurnalis kerja sebagai analys Komunikasi Media di Pusat Kajian Komunikasi Politik (PPKPI)