JAKARTASATU.COM – Pembatasan sosial mulai landai. Saatnya kembali ngopi di kedai. Biar nyantai, boleh singgah ke “Buitenzorg Coffee”. Di Jl. Tegar Beriman, kawasan terpadu Pemkab Bogor.

Namanya rada aneh, “Buitenzorg”. Langka, yang bikin penasaran. Rupanya “Buitenzorg” itu sebutan lain untuk kawasan Bogor di masa kolonial Belanda. “Buitenzorg” mengandung arti “tanpa kecemasan” atau aman tentram. Begitu pula, saat penulis berkunjung ke “Buitenzorg Coffee”. Sangat terasa suasana tentram dan damai. Sentuhan interior perpaduan alami dan kontemporer. Pun beberapa cuplikan “western”.

Bukan sebatas nama yang rada aneh. Lokasinya pun tak biasa. Boleh disebut “aneh” pula. Lazimnya di tepi jalan dan keramaian. “Buitenzorg Coffee”, justru jauh menjorok ke permukiman padat penduduk. Lebih pas disebut perkampungan. Rumah warga praktis berdesak. Tak ada arus lalulintas umumnya. Sesekali berpapasan, salah satu kendaraan harus menepi. Beberapa spasi lain, hanya bisa dilalui satu kendaraan. Selebihnya suasana perkampungan warga biasa.

Ya, rada aneh — bila semata alasan ekonomi. Aspek bisnis dengan orientasi profit. Bayangkan, dari ruas utama Jl. Tegar Beriman dan latar stadion internasional Pakansari — harus menusuk Jl. Terusan Swadaya. Lebih tepat akses untuk warga setempat. Secara administratif masuk Kelurahan Pakansari, Kec. Cibinong, Kab. Bogor. Di sinilah, pertanyaan menggayut.

Bermula SMK Binantara

Adalah Supono yang berkarier sebagai guru. Meski kemudian tertarik dunia politik praktis, profesi guru senantiasa melekat. Tak pernah lepas selama hayat.

Kang Haji Supono yang kelahiran Gombong, Kab. Kebumen pada 57 tahun lalu — pernah eksis di DPRD Kab. Bogor selama 2002-2009. Belakangan, menjalani periode kedua di DPRD Jabar. Belum lama ini pernah menjabat ketua fraksi PAN. “Melangkah tanpa kenal lelah,” begitu salah satu mottonya.

Alumni ilmu Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) 1990 ini menapaki karier guru. Langkah-langkah kecilnya, menuntun membangun kompleks pendidikan. Sekali lagi, justru di kawasan permukiman padat. Bahkan kontur lahannya pun berbukit. Tapi itulah tekadnya, hingga berdiri Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) “Binantara”. Kompleks pendidikan cukup luas, terdiri puluhan ruang kelas. Bangunan terdiri dua lantai. Kini, tengah dikembangkan jadi tiga lantai. Bersebelahan adalah rumah tinggalnya bergaya klasik. Latar depan ornamen ukiran kayu jati nan artistik.

Hidup Sekali, Haruslah Berarti

Visi dan dan misi sebagai abdi pendidikan, rupanya ingin terus berlanjut. Supono melanjutkan misinya, setelah visi terpenuhi. Sebuah tahapan yang perlu atau harus dilalui untuk mencapai visi. Bagi Supono, “Hidup Sekali, Haruslah Berarti.”

Halaman cukup luas rumahnya tak berlama dibiarkan menganga. Dalam konteks pemenuhan misi tadi, dibangunlah yang kekinian populer bernama “Buitenzorg Coffee”. Bukan semata serupa cafe umumnya. Niat awal, melengkapi fasilitas laboratorium praktik bagi para siswa SMK Binantara. Utamanya bagi siswa jurusan perhotelan. “Kini, para siswa tak perlu ‘kerja praktik’ ke luar kampus,” kata Supono.

Tak dinyana, “Buitenzorg Coffee” — justru kian diminati khalayak. Surprise. Terlebih di akhir pekan. Itu lantaran sentuhan interiornya yang sarat improvisasi. Sejumlah ornamen klasik berpadu semimodern. Tak kecuali pentas mini “live music”. Melepas rindu bernyanyi. Karuan, meski harus berliku menuju lokasi — nyatanya jadi lupa pulang.***

IW/JAKSAT.