Oleh Imam Wahyudi *)
PEKAN Olahraga Nasional (PON) XX/2020 di Papua, sudah berakhir. Hasil puncak kompetisi, Kontingen Jabar berhasil pertahankan gelar juara umum. Catatan prestasi para atlet sudah ditorehkan. Bertajuk jawara nasional, meliputi 679 nomor pertandingan dari 37 cabang olahraga. Ketiga hal utama itu, berlangsung lancar dan sukses.
Tak terduga, PON Papua menyisakan persoalan yang tak terduga pula. Tak terkait langsung aspek olahraga dan kompetisi skala nasional itu. Lebih bersinggung dengan acara pembukaan di Stadion Lukas Enembe, Jayapura, 02 Oktober lalu. Adalah perkara lagu “Aku Papua”. Sesederhana berupa tampilan hiburan, usai defile kontingen. Ternyata, tak sesederhana dampaknya.
Lagu yang dinyanyikan trio Jakarimilena, Nowela Elizabeth Auparay dan Edo Kondolangit itu berbuah tepuk tangan seisi stadion. Tapi “tidak” bagi Nurwatiningrum yang menyimak lewat tayangan TV. Dia serta-merta komplain terkait tampilan lagu “Aku Papua” itu. Adalah karya cipta mendiang Franky Sahilatua (1953-2011).
Nurwatiningrum adalah istri Franky. Dia, tentu sebagai ahli waris Pemegang Hak Cipta (PHC). Lagu itu dinyanyikan tanpa lebih dulu minta ijin kepadanya. Nurwa lantas melaporkan ke Direktorat Kekayaan Intelektual Indonesia (DKIJ) Kemkumham RI. Terkait dugaan pelanggaran kekayaan intelektual. Pelaporan tertanggal 10 Oktober 2021.
*
Penulis mengapresiasi langkah Nurwatiningrum. Bersimpatik akan upayanya. Betapa pun harus berproses. Aturannya sih sudah jelas. Termaktub dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Muncul pertanyaan, apakah penggunaan karya cipta orang lain di perhelatan PON — termasuk yang diatur dalam UU itu? Barangkali itu pula pihak DKIJ Kemkumham akan lebih dulu menyelidiki dan memediasi. Penulis berpendapat, ahli waris Franky Sahilatua berhak mempersoalkan dan mengadukan dugaan pelanggaran tadi.
Dalam UUHC 2014, disebutkan: bahwa setiap orang yang menyanyikan kembali lagu tanpa seijin pemegang hak cipta bisa terkena sanksi pidana. Secara spesifik merupakan pelanggaran hak ekonomi si pencipta. Adalah hak eksklusif pencipta atau PHC untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas karyanya. Bersamaan itu, ada hak moral yang bersifat melekat dan tidak dapat dihapus atau dihilangkan.
Nurwatiningrum sebagai ahli waris Franky, tak harus sendirian — menuntut hak. Sejatinya, ada lembaga manajemen kolektif yang bisa membantu sengketa hak cipta. Ada dua lembaga yang diharapkan peran aktifnya. Karya Cipta Indonesia (KCI) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI).
Sejurus seputar hak cipta, sejatinya memunculkan sederet tanya. Antara lain terhadap pengamen. Mereka jamak menyanyikan lagu karya orang lain. Cukup jelas pula — demi mendapatkan uang. Dalam hal aturan, sesungguhnya tak ada pengecualian. Namun sejauh ini, tak pernah muncul perkara.
*
“Aku Papua” merupakan salah satu lagu ciptaan Franky Sahilatua (58 tahun). Mendiang dikenal penyanyi balada. Bersama adiknya, Jane — tampil duet. Franky and Jane merilis 15 album sejak 1978. Franky pernah berkolaborasi dengan Gombloh “Kebyar-kebyar” dan Leo Kristi. Tiga seniman “Arek Suroboyo” ini menghasilkan album “Hitam Putih”.
Trio Franky, Gombloh dan Leo Kristi dikenal fasih mencipta lagu bertema alam, cinta dan sosial. Ya, tentang nasionalisme. Spesifik berupa kritik sosial terhadap kebijakan yang tak berpihak rakyat. Bersama Leo Kristi (1949-2017), Franky merilis “Nyanyian Tanah Merdeka”. Bersama adiknya yang lain (Joni), Franky melahirkan lagu “Kemesraan” (1996) yang populer dinyanyikan Iwan Fals. Lanjut “Rumah Kecil Pinggir Sungai”. Pada tahun sama, kolaborasi dengan Emha Ainun Najib lewat karya cipta “Perahu Retak”.
Dengan sederet karya ciptanya, Franky Sahilatua beroleh “Lifetime Achievement Award 2010” dari SCTV. Franky begitu melegenda bagi bumi Indonesia. Sangat layak mendapatkan hak moral dan ekonomi atasnama ahli warisnya. Nurwatiningrum, jelas istrinya. Sang pencipta lagu “Aku Papua”. Semoga.*
*) Wartawan senior di Bandung.