JAKARTASATU.COM – Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC) mengngkat kisah Jugun Ianfu Cimahi dalam sebuah pertunjukan Teater.

Kisah pilu Jugun Ianfu, korban kekerasa seksual terhadap perempuan di Kota Cimahi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 diangkat dalam pertunjukan teater berbahasa Sunda. Pertunjukan berjudu “Tembang Panineungan” ini merupakan rangkaian kegiatan Festival Heritage Kota Cimahi 2021 di gelar secara daring bersamaan dengan pembukaan Pameran Lukisan Heritage Kota Cimahi, Selasa (9/11/2021) pukul 14.30 -16.30 WIB di gedung The Historich Jl. Gatot Subroto No. 19 Kota Cimahi.

Ketua pelaksana Festival Heritage Kota Cimahi 2021, Siti Yanti Abintini mengatakan, pertunjukan teater yang sepenuhnya dibiayai Fasilatisi Bidang Kebudayaan 2021 Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek RI merupakan upaya penggalian sejarah pada masa pendudukan Jepang di Kota Cimahi.

“Masa penjajahan Jepang adalah sejarah kekejaman Perang Dunia II di Asia, termasuk di Indonesia. Pada waktu itu tentara Jepang di Kota Cimahi bukan saja menahan tentara Hindia Belanda dan penduduk pribumi yang dianggap membangkang di kamp konsentari dan tanamkan kerja paksa (romusa), juga melakukan penculikan terhadap perempun yang masih muda belia dan dijadikan budak sek para tetara Jepang,” ujar Yanti saat di temui media di gedung The Historch Kota Cimahi, Selasa (9/11/2021).

Menurutnya, mengangkat kisah perempuan yang dijadikan pemuas napsu bejad tentara Jepang dengan sebutan Jugun Ianfu tidak bermaksud ingin membuka luka lama nasib perempuan di Cimahi. Tapi menitikberatkan pada penggalian sejarah juga mengangkat tentang persoalan gender.

“Walau Jugun Ianfu merupakan sejarah kelam, tapi masyarakat Kota Cimahi, Indonesia, bahkan dunia wajib tahu bahwa penjajahan bukan semata ingin mengeruk kekakayan yang dimiliki bangsa yang dijajahnya, kebiadaban penjajahan juga menelan banyak korban yang mungkin terlupakan sama kita, terutama para korban dari kaum perempuan. Untuk itu, seperti yang diamatankan konstitusi kita bahwa segala bentuk penjajahan harus dileyapkan dimuka bumi ini,” tuturnya.

Ditambahkannya, kaum perempuan Indonesia, khususnya di Kota Cimahi harus bebas dari segala hal yang merendahkan martabatnya. Jangan ada lagi Jugun Ianfu-Jugun Ianfu gaya baru. Perempuan Indonesia harus cerdas, paham atas segala kelemahan dan kelebihannya sehingga tidak mudah dimanfaatkan oleh oknuk atau kepentingan apapapun yang bisa merusak dirinya baik tubuh maupun mentalnya.

“Pertunjukan teater Tembang Panineungan menjadi media penyadaran terhadap kaum perempuan untuk tidak tenggelam dalam pederitaan. Kaum perempuan harus bangkit dan punya kesetaran gender,” tandas yanti.

Dalam waktu bersamaan, Selamet Oki Protomo sutradara pertujukan teater Tembang Penineungan mengungkapkan, kisah Jugun Ianfu di Cimahi yang ceritranya di susun Hermana HMT ini tidak mengangkat sejarah seutuhnya. Walau kejadiannya nyata adanya, tapi ceritra tidak menghadirkan nama tokoh korban sesungguhnya, atau disamarkan dan dibumbui cirita fiktif.

“Penulis cerita tampaknya tidak ingin menyinggung perasanan para korban Jugun Ianfu. Kisah dibalut dalam bentuk ungkapan fiktif percitaan dua pasang remaja, yang jalinan cinta kasihnya terpaksa harus kandas. Cita-cita mereka ingin menggapai mahligai kebahagian bersama, berujung pahit ditangan tentara Jepang,” tuturnya.

Jelas oki, dua sosok wanita dalam pertunjukan teater Tembang Panineungan hadir sebagi korban kekerasan seksual tentara Jepang. Keduanya menjadi sosok penderita juga sebagai penyampai permasalah yang terjadi saat wanita-wanita diculik tentara Jepang dan diperkosa bukan saja oleh satu orang tapi mencapai puluhan tentara Jepang secara bergiliran.

Sementara dua sososok laki-laki sebagai kekasih dua wanita itu, yang satu orang Belanda bernama Hendrik dan satunya lagi orang pribumi bernama Jajang, juga menjadi korban kekerasa tentara jepang. Keduanya sama-sama dapat penyiksaan. Hendrik dikabarkan dipenjara di kamp konsentarsi Baros kemudian dikirim ke Sumatra dan diangkut kapal Junyo Maru milik kerajaan Jepang dan bernsib nahas. Dia tenggelam bersama ratusan orang dan kapal pengangkutnya karena ditembak torpedo Inggris. Sedangkan Jajang dikabarkan meninggal dunia saat menjadi romusa membangun jalan kereta api di Cicalengka.

“Tagedi itu adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan oleh orang-orang yang pernah mengalaminya dan sebagian dari mereka masih ada yang hidup. Diantara mereka para korban masih ada yang bisa menyanyikan lagu tentang semangat kejayaan jepang. Lagu itu menjadi Tembang Panineungan (lagu kenangan) sepanjang hidupnya,” pungkas Oki.(JANG ANDI/CMH)