OLEH AENDRA MEDITA KARTADIPURA
Bicara Media bagi Jus Soema di Praja saat ini juga berbicara soal politik dimana dia melihat bahwa politik Indonesia ini dalam circle yang sama. Putaran yang peristiwa kini sudah ada sejak lama dan sama polanya ini semua terjadi sejak 1960-an dan kini terulang kembali,katanya.
Bang Jus ternyata sangat sangat concern kepada media namun saat ini baginya media masih dianggap makin jauh dari harapan. “Saya hanya ingin bicara media saat ini jauh dari harapan,” jelasnya.
Tentang Jus Soema di Pradja saya ingin mengutip tulisan Mochtar Lubis di Majalah Prisma No 11 Desember 1978, hal 38 berjudul Etos Pers Indonesia yang jelas Jaman Mocthar Lubis, Menarik sekali melihat mereka memimjam ketentuan-ketentuan bagi pers yang ditetepkan oleh Rezim Sukarno dahulu. Seorang wartawan dari salah satu harian yang ditutup Jus Soema di Pradja (dan sepanjang pengetahuan saya satu-satunya diantara ratusan wartawan yang ada di Jakarta) segera menyampaikan permohonan berhenti, karena tidak melihat kemungkinan lagi surat kabarnya akan berfungsi sebagai pers yang bertanggungjawab. Jus Soema di Pradja mengatakan bahwa penanda-tangan kedua pernyataan tersebut mengandung implikasi, seakan para pemimpin suratkabar mengakui telah melanggar kode etik jurnalis Indonesia, dan telah melakukan segara rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, dan dengan demikian telah menghukum diri sendiri. Tulisan Mocthar Lubis ini menarik karena oleh Jus menjadi contoh dari sekian banyak orang yang punya sikap tegas. Mocthar melihat Jus sangat objektif dan sikap Jus adalah satu cermin bahwa pada tahun 70an itu seorang Jus memang punya sikap idealisme yang kuat sebagai jurnalis.
Jus Soema di Praja memang yang kita tahu wartawan yang mumpuni. Pada bagian 1 yang ditulis bahwa setelah dari Harian Indonesia Raya maka Jus pernah kerja di tahun 1976-1978 menjadi wartawan KOMPAS, meski akhirnya mundur dari Kompas.
Mundurnya Jus karena KOMPAS dan beberapa Media lainnya saat itu telah melakukan Penandatanganan Perjanjian dengan Pemerintah Indonesia (Suharto) yang saat itu diwakili oleh Jakob Oetama. “Nurani saya mengatakan KOMPAS sudah melanggar etika Pers dengan melakukan Kompromi dengan Pemerintah sikap saya jelas,” katanya.
Jus juga cerita bahwa mulai saat itulah saya berhenti total menjadi Wartawan. Dan ingat juga bahwa bukan hanya Kompas yang begitu, media seperti dilakukan oleh TEMPO tahun 1982 setelah kejadian kasus Lapangan Banteng makanya sangat wajar bila TEMPO dibredel tahun 1994 karena Pemerintah menganggap TEMPO telah melanggar isi Perjanjian.
Jus Soema di Praja mengaku bahwa menjadi wartawan Harian Indonesia Raya yang Pimpinan Mochtar Lubis ini merupakan satu kebanggaan tersendiri. “Saat itu memang banyak media ada suratkabar Pedoman, ada Suratkabar Nusantara, namun kebanggaan saya di Indonesia Raya sangat disegani karena media ini memiliki independensinya,” jelasnya.
Harian Indonesia Raya memang pernah membongkar kasus Korupsi Pertamina yang dipimpin oleh kerabat dekat Cendana yaitu Ibnu Sutowo. Soal kasus ini sebenarnya kehebatan dari Mochtar Lubis yang melakukan Investigasi terhadap Kasus Pertamina tersebut. “Kalau kami-kami yang di Indonesia Raya hanya menindaklanjuti,”kisah Jus.
Jus Soema di Praja menyampaikan bahwa lagi-lagi soal kebebasan pers yang dimata dia saat ini gagap meski sekarang diberi kebebasan yang sangat luas, tapi tidak paham apa itu kebebasan yang sebenarnya. Ketajaman analisa Jus sebagai wartawan veeran ini selain keras kepala dan kekuatan idealismenya.
Tapi sayang bukti-bukti penting tentang Sejarah Pers Indonesia masa lalu tidak pernah terpublikasikan seolah terkubur, padahal kalau dari pengakuannya, bahwa Jakob Oetama yang pernah bersaksi ahli dalam Pemberedelan TEMPO hingga Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga memenangkan TEMPO atas kesaksian Jakob Oetama adalah hasil bujukan dia. “Saat itu padahal Jakob awalnya tak mau bersaksi ahli karena sudah penuh tekanan dari Dirjen Subrata dan Menpen Harmoko, tapi Jakob tetap dibujuk dan akhirnya mau,” kenang Bang Jus. Ah sudahlah itu kisah lama tapi saat berkisah Jus memang suka loncat-loncat dan jika wartawan yang tak bisa nangkap dan menyimak dengan baik akan susah merajut kisah Bang Jus ini.
Saat saya diskusi dan silaturahmi ini ada rasa yang termemori dalam otak saya, terkadang kisah yang sepotong-sepotong ditemukan masa lalu terjawab saat Bang Jus bertutur secara detail. Bagi saya yang sering mendengar kisah-kisah lain dibelakang berita lebih menarik dan yang saya peroleh sehingga saya mencoba mengunyah dan menyusunnya dalam benak ini dan saya bilang bahwa ini sedikit banyak terurai gambaran tentang apa dan siapa sajanya yang ada dalam pers Indonesia yang terceritakan itu.
Untuk itu saya ingin menutup Catatan dengan Jus Soema Di Praja ini dengan mengutip pernyataan Mochtar Lubis yang menulis, nasib pers tidak dapat dipisahkan dari nasib seluruh rakyat pula. Sementara itu keperluan bangsa kita untuk mencari kebenaran tidak berkurang dalam dunia yang telah menjadi serba pelik ini. Orang yang tidak berhasrat mencari kebenaran adalah seorang biadab secara intelektual, begitu Mocthar Lubis mengutip Ortega Y Gasset seorang filsuf spanyol. “Kita ingin pers Indonesia kinipun agar berupaya membuat pencarian kebenaran ini jadi etosnya,” tulis Mochtar Lubis (Prisma Desember 1978, Etos Pers Indonesia). Dan pesan Mochtar Lubis itulah yang memang sejalan dengan pernyataan Bang Jus di atas bagian tulisa akhir ini, media kita masih jauh dari harapan dan jawaban sebenarnya adalah harusnya membuat pencarian kebenaran yang jadi etosnya.
Akhirnya ada pertemuan ada perpisahan dan akan berjumpa kembali dalam satu yang terus berlajut silaturahmi yang tak akan putus. Salam takjim Bang Jus Soema di Praja. (TAMAT)
AENDRA MEDITA adalah wartawan yang masih belajar terus.