Peneliti senior dan akademisi  Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina  Dr Herdi Sahrasad  menegaskan bahwa RKUHP terkait pasal pemidanaan bagi “penghina”  pejabat publik, mulai dari presiden, wakil presiden hingga bupati dan anggota DPR  menunjukkan otoriterianisme dan watak anti-demokrasi yang menghancurkan cita-cita dan semangat reformasi maupun demokrasi.

JAKARTASATU.COM — ”Pasal dalam draf RKUHP itu mengembalikan era reformasi dan demokrasi ke era kolonial, dan saya melihat cara-cara otoriterisme lama bakal mencengkeram dan menguasai rakyat kita kalau RKUHP tidak ditolak dan dihapuskan. Sungguh pasal-pasal RKUHP itu  anti-demokrasi dan anti-reformasi,” tutur Herdi Sahrasad seraya menambahkan RKUHP itu merupakan bablasan Orde Baru, membungkam suara mahasiswa dan kalangan civil society yang bersikap kritis .

Herdi Sahrasad, anggota Indonesia Democracy Monitor (INDEMO), merasa kecewa, mengkritik tajam dan menyesalkan adanya pasal penghinaan ke penguasa yang muncul di draf RKUHP versi 2019 yang jelas sangat anti-demokrasi. Di sini penguasa umum yang dimaksud adalah Presiden, anggota DPR, polisi, jaksa hingga kepala daerah.

”RKUHP itu jelas bablasan Orde Baru, menjadi instrumen  penguasa bagi pemasungan dan pembungkaman secara sistematis terhadap gerakan mahasiswa dan civil society sebagai ujung tombak perubahan,” kata Herdi Sahrasad dari Presidium Populis yang juga mantan visiting fellow di Monash University Australia, Cornell University, AS dan University of California Berkeley, USA.

Dalam hal ini, Mantan Jurubicara Presiden Gus Dur Adhie M. Massardi secara tegas menyatakan bahwa RKHUP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang draf finalnya sudah diserahkan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah kepada DPR RI harus ditolak, dan dibahas lagi secara terbuka di kalangan publik.

Adhie memberi contoh Pasal 353 yang berbunyi, “setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” (RED/A)