Ilustrasi | pexels
Ilustrasi | pexels

Oleh: Yudi Latif

Saudaraku, dengan disrupsi teknologis dan arus globalisasi yg makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dr dalam, ttp juga dr luar. Bangsa Indonesia sbg masyarakat majemuk kian mengalami kompleksitas relasi interkultural dan multikultural.

Masalahnya, setiap warga negara, kendati sbg subjek legal yg setara dan menjadi netizen global, tak ada seorang pun yg bisa berdiri tanpa identitas. Berindentitas dlm konteks pluralitas dihadapkan pd dua pilihan. Pertama, utk membuat identitasku eksis, identitas lain hrs dipinggirkan, melahirkan semacam atavisme (totalitarianisme fasistik), yg kini sedang merebak di berbgai penjuru bumi. Namun, jika itu pilihannya, Indonesia yg majemuk akan menjadi zona konflik tak bertepi. Dan spt kata Mahatma Gandhi, “Bila mata dibayar dgn mata, dunia akan mengalami kegelapan.”

Kedua, dgn mata terbuka kita menyadari keragaman sbg fakta sosial, dan demi eksistensi suatu identitas mau tidak mau hrs bisa bersanding dgn yg lain scr damai. Jika ini pilihannya, kita hrs bisa mengembangkan “titik temu” (common ground), yg bisa menyatukan keragaman menjadi pelangi yg indah.

Dlm mengembangkan titik temu, diperlukan pembudayaan civic nationalism dgn memperkuat modal sosial melalui perluasan jaring-jaring konektivitas dan inklusivitas. Jaring konektivitas adalah ruang-ruang interaksi dan wawasan literasi, ruang keterlibatan dan kerjasama yg bisa membuat yg asing menjadi familiar, prasangka beralih jd pengenalan yg menumbuhkan cinta.

Adapun inklusivitas adalah kesetaraan akses thd pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan dan privilese sosial yg bisa mengatasi kesenjangan dan kecemburuan sosial. Melalui penguatan konektivitas dan inklusivitas itulah bisa terbangun rasa saling percaya.

Untuk memperkuat jaringan konektivitas dan inklusivitas diperlukan serat-serat tipis nilai konsensual yg dpt menyatukan keragaman ke dlm ikatan komunitas moral. Singkat kata, persatuan nasional memerlukan kesepakatan mengenai “nilai inti” (core values) moral publik yg terkristalisasi dalam Pancasila.