Oleh Budiana Irmawan

Harus diakui menjadi aktivis 98 punya kebanggaan tersendiri. Bukan saja menorehkan tinta emas gerakan reformasi, juga pilihan hidup seorang aktivis sarat pengorbanan. Jeruji besi, bahkan nyawa resiko yang setiap saat mengintai.

Aktivis 98 sebagai entitas generasi menghidupkan demokrastisasi yang lama terkubur, baik pada masa Orde Baru maupun  era Orde Lama. Orde Baru mengusung ide “Demokrasi Pancasila” dan Orde Lama menyebutnya “Demokrasi Terpimpin”. Faktanya jauh panggang dari api, demokrasi sebatas jargon kosong ketika kedua rejim itu berkuasa.

Reformasi membawa harapan pelembagaan politik membuka ruang kebebasan semua warga negara, prasyarat mutlak sebuah negara demokrasi. Harapan yang sebetulnya mengundang kecemasan. Betapa tidak, kaum reformis ingin cepat-cepat terjadi perubahan. Namun, di sisi lain penyokong Orde Baru takut terhempas arus gelombang reformasi.

Inilah, keadaan menurut A Rahman Tolleng seorang legenda aktivis pergerakan, bahwa reformasi 1998 sesungguhnya upaya mendamaikan ketidaksabaran dan ketakutan. Problemnya pelembagaan politik yang demokratis belum tervalidasi, sementara sistem lama dianggap usang.

Deklarasi Ciganjur membuktikan analisis itu. Kita lalu memasuki fase kompromi politik memberi momentum bagi kaum oportunis. Perubahan sistem kepartaian menjadi multipartai, misalnya, justru dominan dihuni partai politik produk metamorfosis Partai Golkar. Tanpa dukungan finansial dari oligarki jangan bermimpi bisa mendirikan partai politik.

Dan jangan merasa aneh, kita sudah melaksanakan empat kali Pemilu langsung. Tetapi pelembagaan politik tidak kunjung terbentuk. Karena sejak awal reformasi memang produk kompromi. Hanya menjalankan demokrasi prosedural nihil demokrasi substansial, istilah tepat yang sering didengar.

Jika kita mau sedikit refleksi. Reformasi dibajak elite yang berkohabitasi dengan pemilik modal atau oligarki, karena aktivis 98 memandang reformasi semata-mata menumbangkan Presiden Soeharto. Padahal jauh lebih mendasar ada “politik nilai” yang diperjuangkan sebagai antitesa atas sistem totaliter.

Bertumpu pada seorang figur bukan perubahan sistem ini mengakibatkan anasir-anasir Orde Baru mampu bersembunyi, bahkan mengklaim bagian dari perjuangan reformasi.

DI titik ini, sangat menggelikan menjelang pemilihan presiden kerap kali banyak organisasi mengatasnamakan aktivis 98.Maksud tersirat mereka mudah dicerna. Heroisme aktivis 98 seakan-akan mantra sakti untuk memenangkan kandidat calon presiden.

Tentu, kita tidak mungkin memutar jarum sejarah. Pilihan menempuh jalan reformasi adalah kenyataan pilitik.

Setiap zaman membawa konteks sejarah, dan setiap sejarah diikuti aktor-aktor yang mengukir sejarahnya. Kini zaman milik generasi milenial berbeda dengan waktu aktivis 98 berada  di lapangan aksi.

Namun kekuatan ide tak lekang oleh zaman. Aktivis 98 masih punya kesempatan bersuara meluruskan kembali agenda reformasi. Terutama mereka yang duduk di lembaga politik formal.

Pelembagaan Politik

Isu krusial terkait pelembagaan politik yang sering disalahpahami hari ini adalah soal presidential threshold dan parlementary threshold.

Penghapusan presidential threshold konsekuensi Pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres. Mengingat, anomali menentukan kandidat calon presiden Pemilu sekarang berdasarkan raihan suara partai politik pada Pemilu lima tahun yang lalu. Tetapi, andai presidential threshold dihapus, partai politik pengusung tetap saja harus berkoalisi agar mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Artinya, tidak akan ada single majority dalam sistem multipartai.

Sebaliknya, sistem pemerintahan presidensialis menuntut penyederhanaan jumlah partai politik, maka parlamentary threshold  dinaikkan. Tetapi bukan berarti membatasi hak mendirikan partai politik.

Persyaratan partai politik peserta Pemilu dipermudah, dengan konsekuensi jika tidak memenuhi parlementary threshold harus membubarkan diri atau gabung dengan partai politik lain.

Kekacauan paradigmatik itu contoh nyata reformasi penuh kompromistik. Kita tidak menempatkan satu hal pada kerangka konseptual utuh. Sehingga setiap saat melakukan revisi regulasi bersifat tambal-sulam menurut kepentingan jangka pendek masing-masing.

Jadi, ketimbang mempersoalkan presidential threshold lebih substansial membuat UU Partai Politik yang menjamin kebebasan setiap warga negara berpartisipasi aktif dalam Pemilu, sekaligus tidak melabrak koridor sistem pemerintahan presidensialis.

Kemudian isu kontemporer lain soal presiden tiga periode. Presiden Soekarno menyatakan diri presiden seumur hidup dan Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun pelajaran berharga untuk membatasi masa jabatan presiden. Kekuasaan absolut tidak cuma berpretensi tiran dan korup, juga menghambat sirkulasi kepemimpinan nasional.

Mendesakkan ide pelembagaan politik seperti di atas, saya kira legasi sangat berarti bagi yang mendaku aktivis 98. Kecuali disorientasi kehilangan pikiran sehat, dan cukup nyaman menjadi cheerleaders oligarki.

Jika demikian, jangan salahkan generasi milenial mencibir aktivis 98.

Halnya sudah diingatkan filusuf Spanyol George Santayana, those who do not remember the past are comdemned to repet it”.

Penulis: Peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan