Mempertimbangkan Neo-Sensor

Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Semisal “Dilarang Merokok” atau “Jangan Kencing Disembarang Tempat” atau “Dilarang Kencing Disini”.

Kalimat sederhana itu hampir ada disemua public space seterusnya berkesinambungan, tertangkap oleh makna daya “Sensor Akal Budi” menjadi
“Neo-Sensor”

Teliti sebelum membeli. Teliti sebelum melanggar aturan di ruang publik, contoh lebih
sederhana lagi, jangan melanggar aturan muatan artikel di Kompasiana, semisal.
Arus informasi, hal ihwal diatas itu, mungkin, semacam tolok ukur sederhana dari aturan-
aturan sederhana sekali.

Mengingatkan, betapa pentingnya filosofi tata laku sopan santun. Namun tampaknya, mungkin, sedang, akan, mencapai pada hal ihwal diinginkan oleh
aturan, pemberitahuan, moral baik-benar itu, merupakan salah satu unsur tata laku iman
lingkungan untuk sesama insan penghuni planet Bumi. Ini barangkali loh.
Semisal, sederhana lagi, selama masih ada polisi tidur di jalan raya kelas dua atau kelas
tiga, mungkin semacam pertanda bahwa tertib berlalu lintas, sedang, akan, sampai seperti
diinginkan, tapi, mungkin belum mencapai seperti keinginan aturan-aturan moral tertib
berlalu lintas.

Tidak ada hal ihwal salah dalam konteks larangan diatas itu, segala hal baik, benar, iman
kembali kehati masing-masing makhluk hidup atau manusia di kolong langit ini.
Tak seberapa jauh berbeda dengan pilihan perang atau tidak, juga kembali pada nurani
suatu pemahaman kekuasaan, entah itu di tingkat Rukun Tetangga (RT) ataupun di
tingkat Rukun Warga (RW), hingga menyangkut bilateral maupun multilateral.
Semisal lagi, hal-hal masih terjadi hingga hari ini, peperangan, di nurani makhluk hidup,
juga manusia, maupun di seberang jauh benua lain. Apa sih sebabnya.
Kadang hal naif itu seperti nongol di permukaan nurani bening. Menjadi pertanyaan
ringan. "Mengapa ada perang." Namun, ada pula nyaris tak serupa atau mungkin, memang hampir jarang dipertanyakan, ini barangkali loh, oleh kenaifan. “Mengapa ada moral super baik-benar” mungkin, baik-benar kadang-kadang, konon, masih dilanggar “Perselingkuhan …” misalnya.

Semisal lagi nih, kontekstual, barangkali loh, dengan kalimat hal ihwal larangan
sederhana di atas itu, kalaupun mau ditarik benang merah lebih jauh, ada moral “super
baik-benar” larangan mencuri, namun masih ada saja pencuri.
Entah itu pencuri hak hidup (korupsi, misalnya) ataupun pencuri hak mati (bunuh diri,
misalnya) padahal hal bunuh diri atau mencuri, jelas, benar-benar, dilarang oleh moral
super baik-benar dimanapun, kapanpun.

Bahkan konon dengan alasan apapun, mencuri, menyakiti (mencubit saja. misalnya), atau
berbohong atau melempar kalimat kurang sopan pada orang terdekat, atau orang terjauh
pun sebaiknya tidak dilakukan.

Demikian pula, konon, menurut moral super baik-benar (iman di nurani bening). Loh!
Makhluk hidup itu kan serba kurang sempurna! “Oh! Iya. Lantas! Apakah karena kurang
sempurna boleh berbuat hal negatif.”

Kembali lagi pertanyaan, ngobrol-ngobrol, antara hati (nurani) dengan logika akal budi,
semoga menemukan, mampu mempertimbangkan bersama “Neo-Sensor” sejenis atau
semacam hal ihwal larangan sudah diketahui, untuk, tidak dilanggar, oleh perilaku
negatif-menutup iman, membelokkan akal budi, agar melanggar, hal baik-benar.
Melanggar rambu-rambu lalulintas, semisal.

Bahwa filosofi moral super baik-benar, bertemu Neo-Sensor, semacam teknologi natural
berada di nurani mengirim data ke otak, akal budi, bolak-balik, dari kepala ke nurani,
menelaah, mempertimbangkan secara seksama, hal ihwal aturan telah diketahui,
dimengerti, untuk tidak dilanggar. Semoga.

Bahwa telah dibuat aturan tata laku tertib untuk tidak dilanggar, hal sudah diatur, dari
tingkat RT, RW, hingga lembaga-lembaga formal negara, demi, kemaslahatan
bermasyarakat, bernegara, di ranah sosio-bela negara, di sosio-humanis, misalnya.
Contoh lebih sederhana lagi, semisal “Buanglah Sampah Pada Tempatnya”. Akan tetapi
sayang sekali kalau sekelas sungai Ciliwung masih membawa sampah, limbah-limbah
kesinoniman menuju muara lautan di ujung Jakarta, misalnya.

Rasanya tidak ada, dalam sejarah, negara, merugikan rakyat. Konon negara adalah rakyat
sebab rakyat adalah negara, demos-kratos, konon, menurut isme-demokrasi, lahir di
Athena, oleh, Cleisthenes di era 508-507 SM, untuk dunia.
Di kurun waktu kemudian, isme-demokrasi impor itu, adaptif, berkembang, di berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, sosial, sains (nuklir, misalnya), filosofi, ketatanegaraan, salah
satunya, berkembang lagi menjadi teori-teori, pemikiran, Trias Politica-Montesquieu,
misalnya, lanjut menjadi fitrah negara modern menurut para ahli pikir tentang tata laku,
kenegaraan.

Neo-Sensor, mungkin, boleh juga disebut-pengendalian diri, alias, teknologi natural,
nurani, telah menjadi milik makhluk hidup sejak diciptakan. Untuk memahami, telaah,
niscaya, pada aturan, mengatur, hal ihwal moral baik-benar, peradaban, di kehidupan.
Ini sekadar artikel sederhana untuk melihat cermin diri sendiri loh. Apakah sudah keren
atau belum. Barangkali. Salam Indonesia Unit. Semoga bermanfaat.

***
Jakarta Satu, Indonesia, April 08, 2023.