JAKARTASATU.COM– Awal dari penyakit demokrasi kita belakangan ini adalah adanya ketentuan Presidential Treshold (PT) 20% kursi atau 25% suara. Orang lupa bahwa PT ini sesungguhnya telah diberlakukan sejak Pemilu pilpres Pertama tahun 2004. Hanya, waktu itu tresholdnya menggunakan pasal peralihan 3% kursi atau 5% suara. Sehingga tokoh-tokoh politik dengan partainya bisa majul sehingga ketika itu ada 5 calon presiden,” disampaikan Dr. Refly Harun, SH, LLM dalam diskusi bertema “Fenomena Begal partai & Risiko Runtuhnya Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute. (Jakarta, 9 Mei 2023)
“Pada 2009 treshold ingin ditingkatkan oleh Partai Golkar dan Partai PDIP yang menginginkan PT menjadi 35% dengan alasan legitimasi bila terpilih maka akan punya legitimasi yang tinggi. Karena banyak penolakan maka akhirnya putus di 20% kursi dan 25% suara,” ujar Refly
Ternyata kemudian kata Refly, yang bisa lolos dengan PT seperti itu hanya SBY pada pilpres 2009 karena Partai Demokrat memperoleh 26 kursi. Setelah itu, orang jadi makin “cerdas” dengan mainan PT ini. Kecerdasan ditunjukkan pada 2014 dan 2019, semua parpol dibeli dan menyisakan satu penantang saja, karena UU Pemilu No 7/2017 itu “say nothing” dan tidak ada disebut kotak kosong dan sebagainya jika hanya menyisakan 1 penantang. Jadi diupayakan hanya ada 2 calon yang diendors oleh 1 kekuatan.
Ia menjelaskan bagagaimana partai yang terserap kekuasaan dan partai yang dimungkin tidak mebalelo
“Itulah yang terjadi ketika Partai PAN terserap oleh kekuasaan. Karena bayangan istana semula dibayangkan pada 2024 Indonesia akan punya presiden oleh “orang-orang kita” sendiri. itu terjadi karena pada kubu oposisi hanya tinggal PKS Dan Demokrat yang jumlah kursinya total kebetulan hanya 104 saja. Padahal minimal yang dibutuhkan adalah 115 kursi. Jadi sebetulnya sekarang kalau tidak ada yang “mbalelo” seperti Nasdem ini maka pemilu 2024 sebetulnya sudah selesai. Hanya akan dua calon yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Jika pun ada calon ketiga, bagaimana caranya bisa “dicopet” melalui Peninjauan Kembali (PK) perkara.”
“Dan untuk sukses di PK dalam rangka “mencopet” Partai Demokrat oleh kekuasaan, sepertinya akan semudah membalikkan tangan. Karena hukum, jika sudah masuk wilayah politik maka apapun bisa terjadi. Padahal apa yang dilakukan oleh Moeldoko itu secara etika politik sangatlah tidak pantas. Harus diingat bahwa kita semua harus tetap memelihara peradaban hukum yang benar,” tandas Refly
“Dari rangkaian sejarah parpol di Indonesia terakhir, menunjukan bahwa parpol kita amat mudah untuk di obok-obok, event dia adalah partai besar sekalipun,” pungkasnya
Yoss/Jaksat