Terkait Kasusnya dengan Menko Marves, Haris Azhar Sadar Ada Kemungkinan Dipenjarakan

JAKARTASATU.COM— Kasus hukum yang menimpa aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatiah Maulidianty yang dituntut Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, atas tuduhan pencemaran nama baik sudah dalam tahap persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Terkait kasus tersebut, Haris Azhar mengakui dirinya sangat menyadari bahwa ada potensi ia akan dipenjarakan. Hal ini dikemukakannya saat wawancara eksklusif dengan jurnalis JAKARTASATU.COM di kantornya (15/6) beberapa waktu lalu. Haris menyadari betul bahwa ancaman penjara memang menjadi risikonya.

“Saya kalau ditanya soal apakah ada kemungkinan dipenjarakan, potensi kemungkinan itu ada. Dari sebelum bikin podcast itu sudah dipikirkan segala kemungkinan resikonya. Kemudian soal apakah saya akan kalah, sudah diperkirakan berpotensi bakal kalah. Baru mau sidang aja, pengadilan negeri Jakarta Timur disetrilkan” ujarnya.

Haris menyakini bahwa apa yang diangkatnya tersebut merupakan kepentingan publik. Karenanya ia harus bicara tepat sebab youtubenya memang didedikasikan untuk hak asasi manusia sebagaimana yang sudah diketahui publik akan unggahan video berjudul “Ada lord Luhut dibalik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya! Jenderal BIN juga Ada!”

“Saya punya concern tinggi soal Papua, karena Papua hari ini kalau anda mau potret situasi buruknya HAM di Indonesia ya Papua,” ujar Haris.

“Saya sebagai orang yang bekerja di HAM sering dipercaya diajak bicara soal HAM maka saya harus mendedikasikan saya, kemampuan saya menyuarakan soal Papua,” jelasnya.

Mengenai hasil laporan yang diungkapkannya dalam video youtube yang kini dipermasalahkan Luhut tersebut, Haris menyatakan bahwa laporannya bagus, disusun dengan baik, serta menjawab masalah yang sedang berapi-api.

“Nama-nama yang tersebut dalam laporan dan tersebut dalam youtube saya, saya kenal, saya tahu. Saya kenal, tapi itu kan resiko, itu harga yang harus saya bayar,” ungkapnya.

Berulang kali Haris menegaskan bahwa dirinya tidak bertujuan negatif. “Saya menjamin dan saya memastikan tidak menyerang pribadi, tidak menyerang privasi, bisa dibuktikan. Itu yang pertama,” tegasnya.

“Yang kedua prosesnya. Kalau prosesnya menurut saya banyak yang missing, banyak yang tak terpenuhi. Sebelum saya jelaskan, saya banyak dituduh orang, wah takut. Saya bukan takut, saya tidak mau fasilitas negara digunakan oleh sejumlah pejabat negara untuk kepentingannya. Padahal kita sedang berbicara kepentingan publik. Toh hari ini saya dibawa ke pengadilan. Dulu orang-orang nuduh saya takut dibawa ke pengadilan,” ungkap Haris

Haris menyatakan dirinya tidak mau pengadilan dipakai untuk alat represif. Seharusnya seperti itu, namun realitanya tentu saja banyak berbeda.

“Saya sekarang dibawa ke pengadilan. Saya datang, hadapi proses sidang. Mana sekarang orang-orang yang nuduh saya takut dibawa ke pengadilan?” ujar Haris

Terkait perdebatan soal pengacara, Haris menceritakan bahwa sebelum ke kepolisian, pihaknya sudah mengundang mediasi, tapi pengacara Luhut tidak merespon dengan baik. Intinya tidak datang untuk bertemu. Melalui pengacaranya Luhut menyampaikan bahwa (Luhut) hanya meminta saya bikin video isinya meminta maaf.

“Ya itu kan tidak sesimple itu ya menurut saya. Saya kan bukan sedang membicarakan sedang menyelamatkan muka clientnya,” jelasnya.

Setelah mediasi secara bilateral gagal di kepolisian, Haris pun dilaporkan. “Saya datang, disuruh mediasi. Saya dua kali datang justru pelapornya ga datang,” ungkapnya.

Kemudian menurutnya ada panggilan ketika dirinya di luar kota. Haris tak bisa datang dan ternyata sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Haris mencatat ada beberapa kejanggalan yang terjadi saat dirinya di kepolisian. Di persidangan ketika pelapor akan diperiksa, tiba-tiba tidak bisa datang karena sedang di luar negeri untuk menjalankan tugas negara.

“Itu kata pengacaranya. Saya sih berpikir baik-baik saja. Positif saja. Kalau tugas negara kan harus ada alasannya. Yah tapi yang begitu diterima oleh pengadilan. Kemudian ada perubahan jadwal sidang, tapi waktu perubahannya harus sesuai jadwal si pelapor menurut surat kuasa hukumnya. Begitu jadwal sidang terjadi, pengadilan dikosongin. Ga hanya saya, 100 orang yang punya kepentingan dengan persidangn di hari tersebut dibatalkan. Hanya untuk saksi si pelapor tersebut. Hebat kan, ga pernah ada di Indonesia kayak begitu,” ujar Haris takjub.

Bahkan, ketika sidang akan berlangsung, lawyer Haris tidak diperbolehkan masuk. “Kita harus adu otot. Teriak-teriak, dorong-dorongan baru dikasih masuk, dan itu diisolasi oleh polisi. Jadi polisi menghalang-halangi kerja penegak hukum sebagai advokat. Bayangkan kalau hari itu semua lawyer saya ga boleh masuk, bagaimana siapa yang dampingi saya.Itu di persidangan yang menurut saya cukup ekstrim. Kalau mau menggunakan kaca mata standard ilmu. Itu sungguh memalukan,” keluhnya kesal.

“Situasi hukum kalau dari indeks akses keadilan, indeks lawfirm itu buruk, dan saya yakin dengan peristiwa kemarin jauh lebih buruk. Sebenarnya yang lebih tepat itu pemidanaan terhadap saya dipaksakan. Kriminalisasi itu istilah yang netral. Pemidanaan tidak netral. Tapi pemidanaan yang dipaksakan. Kita pernah riset, saya masih di Kontras. Jaman waktu KPK diserang, kita saat itu bersama beberapa lembaga seperti Kontras, LBH, LBHI Jakarta bikin riset rame-rame.

Menurut Haris, ciri-ciri pemidanaan yang dipaksakan adalah kasusnya bukan kasus pidana, barang buktinya bukan barang bukti tapi dijadikan barang bukti, serta proses penyidikannya tidak sempurna. Banyak hal yang tidak dijalankan.

“Sekedar menyebutkan angka saja. Kan KUHP menyebutkan dua (2) alat bukti. Alat buktinya seperti apa, itu ada pendetailan. Pendetailan itu ada di kepolisian, kepolisian yang tahu. Masyatakat tidak tahu, harusnya kasih tahu aja. Jadi kalau mau dimanipulasi ya bisa. Kan ada dua alat bukti, bisa dikejar apa aja alat buktinya. Apakah alat bukti itu identik dengan peristiwa pidana,” urai Haris.

“Kemudian prosesnya. Proses-proses hukumnya banyak yang dipaksakan. Ini kecenderungan yang sering terjadi. Kalau saya ditanya apa harapannya kepada majelis hakim. Saya males ngomong yang normatif, kayak teriak di tengah laut. Saya cuma bilang ke majelis hakim, pikirkanlah diri sendiri, pikirkan namanya, pikirkan institusi yang diwakili, pikirkan Indonesia ke depan. Namanya mau dicatat seperti apa oleh audience demokrasi bangsa ini.” tutur Haris

Terkait dengan kemungkinan untuk berdamai Haris mengungkapkan bahwa dirinya tidak mencari konflik.

“Soal akan berdamai, saya sudah ada yang tanya mau damai di kasus ini. Lha saya kan tidak cari konflik. Damai itu isinya apa? Kalau disuruh minta maaf ya saya minta maaf kalau misalnya Pak Luhutnya menganggap dirinya tercederai dari upaya advokasi publik yang saya lakukan.”

“Tapi advokasi publik yang saya lakukan itu kalau dipakai bahasa damai, saya dianggap salah. Saya gak mau dianggap salah. Apa yang saya bicarakan itu kan masalah publik, yang dibicarakan dengan standar norma advokasi yang baik dan benar. Jadi dua hal tema yang besar ini tidak ada yang salah, jadi saya tidak mau minta maaf kedua kalinya. Tapi dua hal ini dianggap mengganggu. Menganggu apa ya? Mengganggu keamanan atau menganggu kenyamanan? Itu kan resiko pejabat publik,” tambah Haris mengingatkan.

“Umar Bin Khatab sahabat Nabi mendapat jabatan publik, dia berucap innilillahi wa innailaihi roojiiiun. Apa yang didapat, dimiliki, diemban itu semua kembali kepada yang diatas. Ada muatan pertanggungjawaban di horizontal dan vertikal,” pungkasnya. |YOS/JAKSAT