Prof Ward Barenschott: Kebijakan Lahan Pemerintahan Jokowi Isinya Kosong
JAKARTASATU.COM— Prof. Ward Barenschott, KITLV Leiden/Universitas Amsterdam menyampaikan 3 Argumen Pokok dari hasil penelitian meliput 150n kasus konflik perusahaan sawit dan rakyat, seperti ditulis di bukunya bersama Prof Afrizal Universitas Andalas yang diluncurkan dan diseminarkan Universitas Paramadina – LP3ES, buku tersebut berjudul “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”. Kamis (13/07/2023).
Ward Barenschott dalam bukunya sebutkan munculnya konflik karena adanya kehampaan hak warga masyarakat. Kesulitan warga untuk mengimplementasikan hak hak warga
Kemudian ia menerangkan bahwa dalam situasi itu warga cenderung memilih strategi berjuang yang disebut Strategi Perlawanan atas Kehampaan Hak. Warga lebih memilih kompensasi finansial ketimbang hukum dan perlawanan kehampaan hak. Mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya dari 150 kasus yang diteliti, 68% kasus tidak terselesaikan.
Sebenarnya kata Barenschott, di atas kertas warganegara Indonesia memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya, oleh karenanya perusahaan harus meminta persertujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan.
Namun secara de facto lanjut Barenschott, riset menemukan bahwa warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak hak nya. Perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif. Perusahaan juga harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi segala aturan yang ada. Dalam banyak kasus, juga komunitas warga berhak atas skema bagi hasil yakni skema inti plasma atau kemitraan. Akhirnya, warga juga punya hak untuk mengorganisasi diri dan memprotes.
“Dari berbagai macam hak yang dimiliki warga, yang utama menjadi masalah adalah : Realisasi hak hak tersebut. Itulah yang dimaksud dengan “Kehampaan hak”. Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi/kekerasan,” jelasnya
Barenschott memaparkan tiga sumber Kehampaan Hak yaitu Hak tanah yang terbatas karena keterbatasan pengakuan hak individual atas “warisan colonial” yang muncul di domein velklaring 1870. Sampai sekarang masih ada lahan yang cukup luas dan warga masih tetap sulit untuk mendapatkan hak haknya akibat warisan colonial tersebut.
Kemudian perlindungan hukum yang tersisa dirusak lewat aturan-aturan tingkat bawah yang diterapkan : backdooring of the law. Perlindungan ini selanjutnya diperlemah oleh kolusi bisnis dan negara yang meluas. Kolusi itu membuat aparat pemerintah cenderung berpihak ke perusahaan dengan melanggar UU yang melindungi hak hak warga
Menurut Barenschott, yang dapat dilakukan oleh pemerintah Jokowi setelah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait lahan yaitu mendirikan badan mediasi di tingkat propinsi dan kabupaten. Itu untuk mengatasi tidak adanya kompetensi SDM di bidang penyelesaian hukum di tingkat daerah.
Selain itu Barenschott menyoroti transparansi. Transparansi terhadap Izin HGU yang diberikan kepada perusahaan memonitor apakah perusaah peroleh fee, prior and informed consent dari warga terdampak Government harus tegas terhadap masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak kewajiban.
“Pemerintah pusat dan daerah harus menindak tegas perusahaan yang menolak kewajiban dan menolak terlibat dalam mpenyelesaian konflik,” pungkasnya. |Yoss