Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus) Gde Siriana Yusuf/ist

Sulit untuk Membawa Kasus Rocky Gerung ke Ranah Pidana,  Mau Lewat Mana?

JAKARTASATU.COM– Ketua Barikade 98 Benny Rhamdani yang juga Kepala BP2MI melaporkan akademisi Rocky Gerung ke Bareskrim Polri sebagai perwakilan dari sejumlah kelompok relawan atas tuduhan menghina Presiden Joko Widodo.

Hal itu dia lakukan karena merasa kepala negara telah dihina dengan sebutan ‘bajingan tolol’ dalam pernyataan Rocky yang tengah viral. Meski begitu, upaya melaporkan Rocky tak diindahkan Bareskrim Polri.

Diketahui sebagai relawan presiden, Benny Ramdhany pernah menuai kontroversi lantaran meminta izin tempur di hadapan Jokowi secara langsung dengan dalih banyak pihak menyerang pemerintahan.

Berikut wawancara melalui seluller Jakartasatu.com dengan Direktur INFUS Gde Siriana

Bagaimana anda melihat unsur pasal penghinaan kasus ini

Ini adalah opini Rocky Gerung, terkait dengan Jokowi sebagai presiden dalam forum akademis. Orang tidak perduli dengan orang bodoh atau pintar, tetapi orang peduli ketika presidennya bodoh atau pintar. Jadi konteksnya ini kritik kepada Presiden. Ini dilindungi konstitusi.

Pasal berita bohong ?

Sebelumnya juga ada opini Presiden Jokowi mirip Umar bin Khattab. Tapi itu tidak dipermasalahkan secara hukum meskipun sebagian masyarakat tidak setuju dengan opini tsb. Mengapa ketika opini yang negatif jadi berita bohong? Jadi opini negatif dan positif ini harus diterima publik secara proportional. Persepsi orang boleh pro dan kontra terhadap opini.

Pasal ujaran kebencian seperti yang disebutkan pelapor Rocky Gerung ?

“Mau gunakan apa sebagai kebencian itu? suku, agama atau apa? Sekali lagi ini soal kritik kepada presiden, bukan Jokowi sebagai pribadi. Orang boleh ngomong DPR nya goblok bisa dikadalin eksekutif misalnya. Dalam konteks hubungan negara dan rakyat, kalimat goblok, bodoh, tolol digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan seorang pejabat negara, misalnya membuat kebijakan yang salah yang merugikan rakyat banyak. Suka atau tidak suka pejabat negara harus bisa nenerima ini tanpa sakit hati. Sekali lagi ini wujud dari kritik.

Pernah terjadi Gubernur yang bilang “Gila lu,” kepada DPRD, terkait pembahasan raperda reklamasi Jakarta. Bahkan itu tertulis. Tapi tidak terjadi pidana dalam hal itu.

Jadi kalau pejabat publik dibilang goblok atau dituduh korupsi ya tidak perlu bawa ke ranah hukum. Masyarakat tidak mungkin periksa kejiwaan pejabatnya ke psikiater dulu atau proses pengadilan kasus korupsinya baru ngomong eh kamu pejabat goblok, eh kamu pejabat koruptor. Apa yang dilakukan oleh publik harus dianggap sebagai kritik. Pejabat yang dianggap goblok terkait kebijakannya salah ya tinggal diperbaiki kebijakannya. Pejabat yang tidak korupsi ya tinggal buktikan dia tidak korupsi, misalnya minta diaudit agar masyarakat yakin dia bersih.( Yoss)