Fatia Maulidiyanti: Pembangunan Indonesia Berat Sebelah, Hanya Untungkan Kapitalis, Oligarki

JAKKARTASATU.COM— YLBHI gelar diskusi publik bertajuk Penguatan Solidaritas Masyarakat Sipil Di Hadapan Penguasa, Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia”. Jakarta, Selasa 2/8/2023

Fatia Maulidiyanti Koord Kontas yang juga aktivis perempuan menyampaikan bagaimana penguatan gerakan perempuan dalam situasi demokrasi yang semakin sempit selama 10 tahun di era kepemimpinan Jokowi

Fatia memberikan gambaran terkait proses persidangan yang dihadapi dirinya dan Haris.  Yang menjadi sorotan catatan kita bersama dan  menjadi sorotan publik adalah bobroknya sistem  peradilan di Indonesia yang tidak berpihak terhadap rakyat. Dalam proses sidang tanggal ,8 Juni 2023 ketika pihak pelapor datang yaitu Pak Luhut Binsar Panjaitan banyak sekali kejangalan-kejanggalan bahkan penutupan ruang masyarakat sipil yang dilakukan demi keamanan dan kepentingan pejabat publik yang cukup bonafid yaitu figur Luhut Binsar Panjaitan.

“Di hari persidangan itu Pengadilan Negeri Jakarta Timur menutup layanan publik untuk pelayanan persidangan selain sidang kami, semua layanan publik Pengadilan Jakarta Timur disetrilisasi. Dari sini saja sudah terlihat janggal untuk satu sidang tertentu harus menutup sistem dalam Pengadilan Negeri,” kata Fatia

Padahal dalam kasus persidangan ini pihak pelapor selalu mengatakan ini adalah pencemaran nama baik, ini personal saya dan saya tidak membaca embel-embel sebagai pejabat publik. Bakan dia menegaskan ini kerugian saya secara personal, tidak ada konflik interes di dalam kasus ini.

Tapi nyatanya kata Fatia, dari tanggal 8 Juni 2023 itu kita bisa belajar bahwa ternyata pejabat publik yang melaporkan warga negaranya di dalam pasal-pasal karet UU ITE juga beberapa kasus lain seperti kasus Papua, Surya Anta dan kawan-kawan 2019. Nyatanya PN Jaktim disetrilkan. Ini kah tidak membawa embel-embel?

Fatia menuturkan bahwa memang hukum kita tidak berpihak kepada warga negaranya yang menyampaikan ekspresinya. Jadi hukum di Indoensia bahayanya bukan hanya bagi saya dan Haris tetapi berdampak jauh lebih besar dan jauh lebih lebar. Contohnya : karena ada kasus ini (Haris dan Fatia) banyak orang tidak berani lagi untuk menyampaikan kritikan , tidak pro aktif dalam isue-isue yang terjadi di daerah karena takut dikriminalisasi atau ditangkap secara sewenang-wenang.

Masyarakat di daerah lanjut Fatia, berhadapan langsung dengan acaman-ancaman, bentuk-bentuk kekerasan saat tanahnya dirampas dll. Masyarakat di daerah tidak bisa berbuat apa-apa, jika mereka bicara, bersikap yang kritis, protes maka langsung ditagkap. Yang lebih miris adalah mereka itu jauh dari akses bantuan hukum, awam soal hukum dan mereka tida memiliki previlage yang sama dengan masyarakat yang ada di Jakarta.

“Yang dialami saya dan Haris bisa disebut masih punya akses batuan hukum, Haris sebagai lawyer dan saya sebaga koord Kontras. Tidak seperti mereka yang di daerah sepeti di Papua. Bahkan ancamannya sampai kriminalisasi lagi pembunuhan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang,” ungkapnya

“Maka akan lebih berbahaya jika mereka tidak mendapatkan bantuan hukum. Tanah dirampas, hak hidupnya dilanggar. Banyak proyek-proyek nasional yang pada akhirnya berdampak terhadap kesejahteraan hidup warga di daerah,” tandas Fatia

“Seperti di Wadas, Sangihe,” ujarnya

“Untuk menguntungkan siapa pembangunan-pembangunan tambang, infrastruktur dsb yang tentu saja bukan untuk warga rakyat setempat karena yang pada akhirnya rakyat yang dirugikan. Yang justru diuntungkan itu adalah oligarki-oligarki yang membuat semakin kaya pengusaha-pengusaha dan penguasa itu sendiri,” teragnya lagi

“Malah Data-data itu kita raih dari publik, menkumham, laporan perusahaan,” imbuhnya

Menurut Fatia pembagunan di Indonesia berat sebelah karena hanya mengedepankan pembangunan infrastruktur atau pengadaan bisnis menguntungkan para kapitalis untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan tanpa mengedepankan adanya pembangunan manusia yang berkualitas.

“Padahal yang namanya pembangunan manusia ataupun demokrasi itu tidak bisa lepas dari adanya protes, hak untuk berkumpul, hak berekspresi dll. Karena hal itu yang menjadi esensi kehidupan berdemokrasi. Kalau hal itu tidak ada, artinya Negara Indonesia bukan negara demokrasi,” tukasnya

“Misalnya di dalam pembutukan UU RUTPKS  untuk mencegah kekerasan seksual,  untuk melindungi dimana negara mewujudkan adanya  kesetaraan jender. Apakah dalam prosesnya melibatkan orang-orang atau perempuan-perempuan yang memang peduli dengan kasus-kasus tersebut  dan apakah rekomendasi yang diberikan oleh perwakilan masyarakat sipil ini didengar oleh negara?. Tidak,” jelas Fatia

Lanjutnya, di Omnibuslaw apakah rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh warga negara melalui perwakilan-perwakilannya.  Didengarkan dan dimasukkan menjadi pertimbangan bagi pemerintah ? Tidak !!

“Kemudian di KUHP, apakah rekomendasi atau masukan dari para mahasiswa, masyarakat sipil didengarkan dan dipertimbangkan oleh negara? Tidak !!,” ujarnya

Bahkan kata Fatia, mereka di ruang sosialisasi digerek oleh Satpam untuk keluar. Mereka yaitu mahasiswa dan masyarakat sipil protes saat di ruang sosialisasi.

“Forum  sosialisai dilaksanakan di hotel mewah bukan di pusat-pusat  masyarakat bisa terlihat dalam sosialisasi. Akhirnya masyarakat dirugikan dan siapa yang diuntungkan ? Ya orang-orang yang ada di lingkaran para oligarki,” ungkapnya.

“Negara mengkliam sudah bikin UU ini, itu. Jangan kritik doang,” ia mengucap ulang yang dinyatakan pihak penyelenggara negara.

“Lha kan sudah diberikan solusi dengan rekomendasi-rekomendasi, mau terlibat dengan RDP agar sesuian kebutuhan masyarakat, rakyat. Tapi tidak didengar, diabaikan,” pungkasnya. Yoss

.