Rungkad dan Topi Amangkurat 1 pada HUT ke-78 Kemerdekaan RI Menandai Sandyakalaning Jokowi dan Dinastinya?
By Hendrajit
(Executive Director at Global Future Institute, Wartawan Senior)
Mungkin saking eforia Putri Ariani mau manggung di Istana jadinya lupa periksa judul lagu unggulan yang mau didendangkan. Sebab gini, seperti juga milih lakon wayang, harus sesuai hajatan sang tuan rumah atau sang pemilik hajat. Apa lakon yang dipilih ya itulah hajatan sang shohibul hajat.
Mulanya waktu saya saksikan para pejabat tinggi berikut para isteri joget joget, Jokowi cuma duduk duduk seraya sesekali berdiri, saya pikir cuma jaga image.
Tapi Jokowi ini kan kalau urusan olah batin pasti peka lah ngerasa ada yang nggak beres. Tapi sudah terlambat.
Lantas soal topi Sultan Amangkurat 1 memang kontroversial soal versi sejarah penerus Sultan Agung Mataram ini.
Tapi buat saya yang gandrung baca sejarah, sejak Amangkurat 1 inilah benih-benih tumbuhnya pergolakan internal antar para pangeran Jawa dimulai.
Titik didihnya meledak setelah meletus grebeg Pecinan 1740 yang bermula saat Belanda melakukan genosida terhadap orang orang Cina di Batavia.
Ketika warga Cina lari ke Jawa Tengah, para pangeran Mataram terbelah antara yang pro Belanda dan yang solider sama warga Cina.
Akhirnya para pangeran Jawa yang pro Belanda menang. Tapi justru dari sinilah awal bencana bagi Mataram. Antar pangeran Jawa yang pro Belanda pecah kongsi.
Pada 1755 pertikaian antar Pangeran Jawa berakhir lewat Perjanjian Giyanti. Mataram dibagi dua. Saudara tua dapat Solo saudara muda dapat Yogyakarta. Yang Solo bergelar Sunan Pakubuwono dan yang Yogya Sultan Hamengkubuwono.
Bahkan 1757, lewat perjanjian Salatiga, Raden Mas Said yang pecah kongsi dengan Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengkubuwono I, dapat kerajaan di utara Solo, Mangkunegaran,dengan gelar Mangkunegara 1.
Ironisnya, sang juru damai pembagian tiga kerajaan jawa itu adalah pemerintah kolonial Belanda.
Jadi Rungkad dan topi Amangkurat 1 menandai Sandyakalaning Jokowi dan dinastinya.