Tentang Para Capres dan Partai Pendukungnya
Oleh: Hanief Adrian (Pengamat Politik IndeSo dan mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI)
Senin kemarin (21/8/2023), Litbang Kompas telah merilis hasil survei Calon Presiden di mana tiga nama yang sudah dideklarasikan yaitu Ganjar Pranowo memiliki elektabilitas tertinggi yaitu 34,1%, disusul Prabowo Subianto dengan elektabilitas 31,3% dan Anies Baswedan 19,2%. Tren hasil survei memang menunjukkan bahwa Ganjar Pranowo yang dicalonkan PDI Perjuangan bersama PPP bersaing ketat dalam hal elektabilitas dengan Prabowo Subianto yang secara resmi selain dicalonkan oleh Gerindra juga diusung oleh Golkar, PKB dan PAN, serta beberapa partai di luar parlemen seperti Garuda dan PBB.
Ketatnya persaingan elektabilitas Ganjar dan Prabowo tentu disebabkan oleh dukungan secara langsung maupun tidak langsung Presiden Joko Widodo terhadap Gubernur Jawa Tengah 2013-2023 dan Menteri Pertahanan tersebut. Keduanya dianggap para pengamat sebagai ‘orangnya Jokowi’, walaupun kemudian Ganjar Pranowo diberi label oleh PDI Perjuangan sebagai petugas partai. Deklarasi Ganjar sebagai Capres PDI Perjuangan yang dikenal militan dan disiplin tegak lurus dengan Ketua Umum Megawati tentu menjadi alasan menguatnya elektabilitas Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) tersebut.
Sementara kekuatan elektabilitas Prabowo dipengaruhi oleh dukungan politik yang bertambah hampir setiap saat. Prabowo yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra selain mendapat dukungan resmi dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang memiliki raihan suara hanya 0,79% sehingga tidak memiliki perwakilan di DPR, juga mendapat dukungan resmi dari Golkar, PKB dan PAN dalam suatu deklarasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada hari Minggu 13 Agustus 2023 lalu.
Sementara elektabilitas Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan yaitu Nasdem, Demokrat dan PKS cenderung turun. Hasil survei Litbang Kompas dalam simulasi tiga nama menyebut bahwa elektabilitas Anies Baswedan sebesar 29,4% pada Juli 2022, turun menjadi 28,4% (Oktober 2022), 24,2% (Januari 2023), 24% (Februari 2023), 22,2% (April 2023), 21,8% (awal Mei 2023), 18,9% (akhir Mei 2023) kemudian naik tipis menjadi 19,2% pada Agustus 2023. Kasus korupsi pengadaan BTS yang menimpa Menkominfo Johnny G. Plate tentu menjadi penyebab utama melorotnya elektabilitas Anies.
Dengan konfigurasi politik yang sudah sedemikian jelas menjelang pendaftaran capres pada bulan September 2023, hal yang menarik tentu saja menebak-nebak siapakah para calon Wapres yang akan mendampingi Ganjar, Prabowo dan Anies.
Wakil Presiden dan Partai Politik
Dalam sejarah politik Indonesia, peranan politik Wakil Presiden mengalami pasang surut. Beberapa dari mereka merupakan sosok kuat seperti Drs. Mohammad Hatta yang berduet dengan Ir. Soekarno menjadi Dwi Tunggal dari mulai era pendudukan militer Jepang, perjuangan kemerdekaan Indonesia dan berakhir menjadi Dwi Tanggal karena perbedaan fundamental antara Bung Karno dan Bung Hatta mengenai bagaimana mengelola demokrasi Indonesia pasca perjuangan kemerdekaan.
Pada masa Orde Baru, Wapres tidak difungsikan Jenderal Soeharto sebagai penyeimbang. Jika Bung Hatta adalah sosok administratur sebagaimana dikemukakan Herbert Feith (1964) yang mengimbangi Bung Karno sebagai solidarity maker, Wapres era Orba dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX hingga Prof. B.J. Habibie berperan tidak lebih dari Ketua Harian Dewan Pembina Golongan Karya. Soeharto yang menyelenggarakan kekuasaan kepresidenan dengan patrimonalistik memang tidak menyukai konsep duet yang mirip dengan matahari kembar, tidak menyukai ada sosok pengimbang yang cenderung menjadi pesaing. Soeharto dalam konsep Feith, adalah solidarity maker sekaligus administrator yang mengatur kekuasaan negara dari mulai tataran strategis hingga teknis.
Pada masa Reformasi, sosok Wakil Presiden tidak berfungsi sebagai salah satu dari peran solidarity maker atau administratur, juga tidak menjadi ban serep kekuasaan Presiden. Wapres menjadi perwakilan kepentingan partai dalam koalisi pendukung Pemerintah di DPR. Megawati dari PDI Perjuangan, Hamzah Haz dari PPP, Jusuf Kalla dari Golkar saat menjadi menjadi wakil dari Presiden Gus Dur, Mega dan SBY adalah ketua-ketua umum dari partai tersebut. SBY memilih Boediono sebagai Cawapres bukan berdasarkan keputusan koalisi, melainkan karena Demokrat merasa berhak menentukan sendiri siapa Cawapres mengingat raihan suara 20,85% partai berlambang mirip logo Mercy tersebut dalam Pemilu Legislatif 2009
Bagaimana dengan Jokowi? Jokowi dengan keputusan PDI Perjuangan berduet dengan Jusuf Kalla pada 2014 lebih dipengaruhi upaya menarik dukungan Nahdlatul Ulama dan wilayah Indonesia Timur sehubungan dengan kedudukan Jusuf Kalla sebagai Mustasyar NU pada waktu itu dan pengaruh elektoral di Sulawesi, Maluku dan Papua. Pilihan Jokowi berduet dengan Kiai Ma’ruf Amin juga dipengaruhi faktor pentingnya dukungan NU, dan Ma’ruf Amin sendiri adalah Ketua MUI dan tokoh di balik aksi bela Islam 212 untuk mengadili Gubernur DKI 2014-2017 Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus dugaan penistaan agama.
Partai Politik dan Rezim Jokowi
Dalam berurusan dengan partai politik, Jokowi lebih menggunakan metoda tongkat dan wortel (stick and carrot). Parpol yang mendukung Pemerintahan Jokowi akan diberikan buah wortel berupa jatah kursi menteri atau wakil menteri. Jika memilih di luar pemerintahan, Jokowi akan menggunakan tongkat untuk melakukan pukulan-pukulan ringan hinga keras terhadap partai-partai politik lawan, seperti kepada Golkar saat dualisme kepengurusan Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Setelah Aburizal Bakrie (ARB) memenangkan Munas Golkar 2014, Agung Laksono mengadakan Munas tandingan di Ancol yang hasilnya kemudian disahkan Menkumham Yasonna Laoly.
Walaupun Golkar kubu ARB memenangkan gugatan hingga keputusan in kracht di Mahkamah Agung, Golkar akhirnya memutuskan mendukung Pemerintahan Jokowi melalui Munaslub Bali 2016. Sikap politik tersebut diambil karena sebagai partai yang sudah berpengalaman sangat lama di politik, kebijakan pukul tongkat Rezim Jokowi harus dihadapi dengan manuver politik. Demikian pula dengan PPP kubu Romahurmuziy yang berkonflik dengan kubu Djan Faridz pada saat itu.
Jika partai politik pendukung Pemerintah menunjukkan sikap loyalitas tanpa syarat kepada Presiden Jokowi, dapat dipastikan mereka akan mendapatkan balas jasa politik. Dukungan PAN dalam pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020 misalnya, diberi balasan Jokowi dengan mengangkat Ketua Umum Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan pada 15 Juni 2022 menggantikan Muhammad Lutfi yang mantan Ketua Umum HIPMI dan dianggap orangnya mantan Wapres Jusuf Kalla.
Dinamika hubungan menarik justru terjadi antara Jokowi dengan PDI Perjuangan. Pada saat PDI Perjuangan bersama partai lainnya berhasil menggolkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri, Presiden Jokowi justru membatalkan pencalonan yang sudah disetujui DPR tersebut dengan alasan KPK bersama para aktivis korupsi menolak pencalonan mantan ajudan Presiden Megawati tersebut. Permintaan Megawati agar Jokowi memberikan jatah kursi enam menteri untuk PDI Perjuangan juga tidak diiyakan, Jokowi memberikan jatah empat kursi kepada PDI Perjuangan pada periode pertama dan lima kursi pada periode kedua.
Hubungan Presiden Jokowi dengan PDI Perjuangan juga nampak memanas beberapa hari belakangan saat Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menguliti habis-habisan soal proyek Food Estate di Kalimantan Tengah yang dianggap khalayak ramai sebagai programnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Presiden langsung pasang badan dengan program tersebut, bahkan menyebut keterlibatan Kementerian Pertanian dan PUPR dalam program bernilai Rp 6 Triliun dengan lahan yang diperlukan seluas 600 ribu hektar tersebut.
Maka dapat disimpulkan metode Jokowi menggunakan stick and carrot untuk partai lainnya adalah karena ia tidak dapat memenuhi seluruh kepentingan PDI Perjuangan, partainya sendiri dalam keberjalanan Rezim Jokowi. Jokowi memerlukan partai lainnya untuk mengimbangi PDI Perjuangan. Walaupun demikian, PDI Perjuangan selama ini pasang badan terutama terhadap pihak oposisi.
Akibatnya, walaupun Jokowi dapat dinilai sangat cerdas dalam politik, ia menghabiskan waktu hampir 9 tahun untuk menghadapi dinamika politik dari partai pendukungnya, partai oposisi, dan partainya sendiri yaitu PDI Perjuangan. Inilah penyebab mengapa para pendukung Jokowi seperti relawan Projo sempat menyuarakan upaya perpanjangan masa jabatan atau amandemen UUD 1945 agar Jokowi dapat menjadi Presiden tiga periode. Jokowi tidak yakin penggantinya akan meneruskan program-program yang sudah ia susun susah payah dengan dinamika luar biasa dalam sembilan tahun ia berkuasa.
Mungkin inilah bukti bahwa seorang anggota partai yang tidak menapaki jenjang kaderisasi partai yang baik untuk menjadi pemimpin, akan kesulitan untuk menggolkan kebijakan-kebijakan publik yang ia susun.
Bagaimana kira-kira dinamika politik antara Presiden RI 2024-2029 dengan partai politiknya? Mari kita ekstrapolasikan.
Prediksi Dinamika Politik
Ganjar yang diusung PDI Perjuangan bersama PPP hingga tulisan ini diterbitkan, kemungkinan tidak akan kesulitan mewujudkan visi dan misinya menjadi kebijakan publik jika ia memenangkan Pemilu 2024. Walaupun tidak terlihat tanda-tanda partai selain PDI Perjuangan dan PPP akan merapat mendukung Ganjar, mantan anggota DPR-RI periode 2004-2013 itu tidak akan kesulitan berarti dari dalam partainya sendiri, apalagi jika suara PDI Perjuangan meningkat dalam pemilu legislatif. Hanya saja komunikasi kurang baik antara PDI Perjuangan dengan partai lainnya kemungkinan akan menyulitkan Ganjar dalam melakukan tawar-menawar politik untuk menggolkan UU dan kebijakan lainnya di DPR.
Ganjar akan berkurang kesulitannya jika jatah Wapres diberikan kepada PPP, misalnya kepada Sandiaga Uno yang santer sedang dipertimbangkan sebagai Cawapres pendamping Ganjar. Ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP tersebut selain didukung penuh partai berlambang Ka’bah, juga memiliki kekuatan finansial serta jejaring bisnis nasional serta internasional.
Prabowo jika memenangkan pemilu, diperkirakan akan sangat mudah menggolkan kebijakan-kebijakan pemerintah bersama partai pendukungnya di DPR. Selain ia didukung partai-partai besar seperti Golkar, PKB dan PAN, Prabowo sendiri adalah Ketua Umum Gerindra. Prabowo adalah personifikasi Gerindra itu sendiri, sosoknya sangat dominan hingga kepengurusan partai tingkat daerah pun adalah penunjukan langsung dari Prabowo.
Persoalan Prabowo justru terletak pada pilihan Cawapresnya, apakah jika Airlangga menjadi Cawapres maka PKB dan PAN akan sepenuh hati memenangkan dan menyukseskan pemerintahan Prabowo, begitu juga jika Muhaimin Iskandar atau Zulkifli Hasan menjadi Cawapres. Apakah misalnya jika sosok yang mendapat elektabilitas teratas dalam survei Litbang Kompas bulan ini yaitu Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Cawapres, ia akan didukung Golkar, PKB dan PAN karena kekuatan finansial yang ia miliki?
Capres yang paling sulit menyelenggarakan kekuasaan jika menang pemilu justru Anies Baswedan. Konflik antara Nasdem dan Demokrat dalam hal pencalonan Ketua Umum Demokrat AHY sebagai Cawapres pendamping Anies saja sudah membuat Anies berhati-hati menentukan waktu pengumumannya. Jika AHY menjadi Cawapres, Anies pun akan kesulitan menang dan jika menang akan kesulitan bergulat kepentingan dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh yang tidak jelas sama sekali apakah Partainya akan mengundurkan diri dari Pemerintahan Jokowi setelah mendukung Anies, atau masih mendukung Jokowi agar kursi Mentan dan Menhut tidak diberikan kepada selain Nasdem?
Anies yang bukan anggota partai politik mana pun jelas akan kesulitan mewujudkan visi dan misinya menjadi kebijakan publik jika tidak didampingi sosok kuat, misalnya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo. Jika bukan sosok kuat seperti Gatot menjadi Wapres pendamping Anies, ia tidak hanya akan kesulitan menghadapi koalisi pendukungnya, tetapi juga akan kesulitan menghadapi dinamika politik dari partai-partai yang tidak mendukung pemerintahannya nanti.