GOLKAR DAN AIRLANGGA
Oleh: Radhar Tribaskoro
Ideologi yang Aneh
Partai Golkar punya ideologi yang aneh, bernama kekaryaan. Menurut ideologi ini Golkar mesti menjadi anggota kabinet, karena disitulah tempatnya berkarya. Akibat ideologi ini Golkar menempatkan diri sebagai pelayan. Siapapun presidennya, Golkar siap mengabdi kepadanya. Partai-partai lain pun menganggap remeh kepadanya. “Golkar nanti akan ikut saja, sediakan satu-dua kursi Golkar akan aman.”
Kelemahan terbesar Golkar lainnya adalah tidak adanya hubungan organis antara kultur di tingkat kader dan di tingkat pemimpin nasionalnya. Hal ini terkait dengan ideologi “pelayan” itu. Jangan salah, politikus-politikus Golkar sangat rakusnya terhadap kekuasaan. Namun kekuasaan bagi mereka adalah pertarungan elit, memperebutkan jabatan menteri. Kekuasaan bagi Golkar tidak berkait dengan membangunkan energi massa rakyat untuk memperbaiki nasib. “Pelayan” menyerahkan persoalan itu kepada “juragannya”.
Fenomena yang saya terangkan di atas saya sebut decoupling, yaitu terlepasnya dinamika tingkat nasional Golkar dengan dinamika di akar rumputnya. Hal itu terjadi, seperti telah saya katakan, lantaran ideologi kekaryaan gagal mempersatukan seluruh kekuatan Golkar. Partai itu tidak mempertarungkan ide tetapi semata mengejar jabatan.
Airlangga
Airlangga Hartarto adalah tipikal politikus “pelayan” seperti dideskripsikan di atas. Seperti kader-kader Golkar lainnya ia tidak punya intensi sedikitpun untuk berbicara langsung dengan rakyat, tentang apa yang dirasakan dan apa yang bisa diberikan negara kepada rakyat. Ia sepenuhnya hanya ingin melayani Juragan. Ketika Jokowi meminta dirinya mengkoordinasikan penyusunan UU Cipta Kerja, ia menyelesaikan kontradiksi dalam dirinya dengan mengatakan, “Sebagai Menteri Perindustrian saya memang harus membela kepentingan pengusaha.” Maka, jadilah undang-undang itu mendegradasi peran pekerja dan mendewakan peran pengusaha kapitalis.
Pandangan tersebut tentu saja sangat gampang dibantah. Tetapi pada akhirnya kita harus memaklumi karena dengan sikap itulah ia menjalankan tugas yang diberikan “juragan”.
Tetapi sebaiknya kita tidak underestimate kepada “pelayan” yang membungkam mulutnya. Kepribadian Airlangga yang pendiam jangan menyilaukan kita dari kepercayaan diri, keteguhan dan kebulatan tekadnya sebagai politikus. Kualitas itulah yang telah membawa dirinya kepada kedudukannya sekarang ini.
Sebagai profesional, Airlangga patuh kepada kontrak. Namun Jokowi terlalu berlebihan bila menganggap bahwa kontrak itu juga mencakup penetapan bacapres dan bacawapres. Tidak ada partai yang berpikiran seperti itu. Mereka membuat kontrak berjangka-waktu, tidak ada partai atau ketua partai yang menggadaikan partainya, _for ever._
Jokowi berpikir bahwa ia bisa mengancam, tetapi inilah justru blunder terbesar yang pernah ia bikin. Tidak ada ketua partai yang mau diancam, dijadikan kerbau yang tercocok hidung. Mereka pasti melawan. Mereka menjadi ketua partai bukan kaleng-kaleng. Surya Paloh misalnya, sekalipun sekertaris partainya ditangkap, kursi-kursinya di kabinet dan bisnisnya diamputasi, tidak menyurutkan langkahnya mendukung Anies Baswedan. Airlangga tidak berbeda, jangan sekali-sekali merendahkan harga dirinya, walau cuma “pelayan”.
Airlangga sekarang telah mendukung Prabowo. Airlangga melakukannya setelah tiba-tiba Kejaksaan memeriksanya 12 jam untuk suatu kasus yang telah bertahun-tahun mati. Ia berusaha memperoleh dukungan dari Megawati tetapi ia akhirnya menyerah setelah berjumpa Jokowi. Hanya beberapa hari setelah itu, ia dan Zulkifli Hasan mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo.
Walau begitu saya tidak ragu bahwa Airlangga juga memiliki kualitas tekad dan keteguhan seorang Surya Paloh. Lain dari itu ada hal lain dimana Airlangga mengungguli Surya Paloh, ia memiliki kesabaran politik. Ia tahu kapan bertahan dan kapan menyerang. Orang tidak menduga, Golkar ternyata sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Dalam sebuah acara TV, Nurdin Chalid, tokoh senior Golkar, menilai bahwa pemerintahan Jokowi telah terlalu jauh bergerak ke kanan meninggalkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Bagi orang yang mengerti politik, itu kritik yang sangat tajam.
Decoupling
Sumber kekuatan Airlangga tidak lain adalah partainya itu, Golkar. Partai Golkar adalah partai bentukan Orde Baru yang terus bertahan pada posisi dua besar walau terguncang hebat oleh kejatuhan Orde Baru.
Posisi kuat Golkar sekarang dapat dipahami dengan menganalisis dua elemen utamanya: pimpinan nasional dan kader. Setelah era Orde Baru pimpinan nasional yang memiliki visi dan kemampuan konsolidasi yang kokoh hanyalah Akbar Tanjung. Akbar meletakkan dasar-dasar kepartaian Golkar sehingga partai itu bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada birokrasi dan TNI. Kepemimpinan nasional Golkar dalam hal ini berkontribusi signifikan kepada perolehan suara partai karena kemampuannya meredam efek merusak dari kejatuhan Soeharto di tahun 1998.
Namun kekuatan Golkar yang sesungguhnya terletak pada kader-kadernya. Mereka berada di garis depan pertarungan memperoleh suara rakyat. Peranan mereka sangat crucial bagi kedudukan Golkar di pentas politik nasional. Keringat, airmata, dan sumberdaya kader saja pada dasarnya yang mempertahankan keberadaan Golkar. Partai itu tahu benar besarnya peran kader sehingga mereka menggunakan istilah “pemilik suara” untuk menghargai kader-kadernya itu.
Peran pimpinan nasional Golkar menurun drastis setelah periode Akbar. Setelah itu Golkar menjadi “pelayan”, dimulai sejak Agung Laksono berhasil menggoyahkan kedudukan Aburizal Bakrie. Sebagai “pelayan” Golkar tidak memperoleh coattail effect dari tokoh-tokohnya yang berada di pemerintahan. Coattail effect itu hanya diperoleh oleh partai presiden.
Seperti telah saya sebutkan di atas fenomena yang terjadi pada Golkar sekarang ini adalah decoupling, yaitu terlepasnya dinamika tingkat nasional Golkar dengan dinamika di akar rumputnya. Hal itu terjadi lantaran ideologi kekaryaan hanya berarti bagi elit tetapi sama sekali tidak berguna bagi akar rumput Golkar.
Proses decoupling melepaskan hubungan antara dinamika kepemimpinan di tingkat nasional Golkar dengan dinamika akar rumputnya. Kepemimpinan nasional hanya menjadi tempat istimewa, privilege, bagi fungsionarisnya untuk memperoleh kedudukan di pemerintahan. Mereka mengikuti agenda politik presiden yang notabene berasal dari partai lain. Hasilnya, kalau gagal reputasi partai mereka anjlok sementara kalau berhasil coattail effect jatuh ke pelukan partai presiden.
Apa implikasi dari proses decoupling ini?
Implikasi Decoupling
Implikasinya adalah dukungan partai Golkar kepada Prabowo bersifat formalitas saja, alias dukungan container kosong. Airlangga memang mendukung Prabowo tetapi “pemilik suara” belum tentu. Logika kader sangat kontekstual. Tergantung bagaimana kondisi dan situasi setempat, para “pemilik suara” akan melabuhkan pilihan presiden kepada siapapun yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri.
Artinya, dukungan Airlangga kepada Prabowo tidak berpengaruh bagi Prabowo tetapi berpengaruh kepada Airlangga pribadi. Bila akar rumput Golkar tidak sejalan dengan pilihan ketua umumnya maka jurang yang menganga antara pimpinan nasional dengan akar rumput akan semakin melebar. Kondisi seperti inilah, di tengah tiadanya kekuatan ideologis yang menyatukan, yang di masa lalu, menciptakan schism atau perpecahan partai.
Sebagian kader partai akan menganggap pimpinan nasional terlalu egois dan tidak memikirkan partainya. Mereka akan mendorong pimpinan nasional untuk mengoreksi kebijakannya.
Tetapi soal seperti itu sudah tidak menjadi tantangan bagi Airlangga. Keberadaan dirinya di Golkar sudah selesai. Ia tidak punya ambisi lagi. Ia hanya ingin bagaimana pada 2024 ia quit nicely.
Tantangan itu justru berada di tangan Prabowo. Ialah yang wajib menjelaskan kepada “pemilik suara” Golkar bahwa ia adalah asset mereka. Lepas dari itu, saya tidak ragu bila pada suatu titik nanti, Golkar dan Airlangga menegaskan bahwa mereka akan menuliskan masa depan mereka sendiri, lepas dari skenario Presiden.***