Secuil Tapak Sejarah Pilpres
Bayangan Nafas Terakhirku

Hari ini, sembilan tahun silam. Serupa suasana pendaftaran pasangan calon untuk Pilpres 2024. Tumpah ruah pendukung di spasi jalan depan Gedung KPU, Jakarta.

Hari ini, paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) mendaftar pertama. Menyusul kemudian, paslon Ganjar Pranowo – Mahfud MD. Ribuan pendukung mengantar. Bacapres Prabowo baru akan mendaftar hari berikutnya. Pun belum memaklumkan nama bawapresnya.

Hari ini, sembilan tahun silam — saya mengalami suasana serupa. Tentu tidak sama. Tapi ada yang sama. Saya berkesempatan ikut mengawal pendaftaran paslon Prabowo Subianto – Hatta Rajasa untuk kontestasi Pilpres 2014. Saya di belakang Hatta yang kala itu Ketum PAN dan Amien Rais selaku Ketua MPP PAN. Hal yang sama, setidaknya soal figur Prabowo yang lagi-lagi ikut kontestasi pilpres.

Hal yang tak sama, peristiwa akibat jubelan massa. Paslon Prabowo – Hatta dan rombongan bergerak dari Mesjid Sunda Kelapa atau Taman Suropati, Menteng. Jalan lurus menuju Gedung KPU di Jl. Imam Bonjol. Berjarak hanya 750 meter. Tapi “lautan” manusia, membuat perjalanan tersendat.

Tak terhindarkan berdesakan. Nyaris saling dorong. Meski sadar akan resiko, saya terhimpit di antara pendukung. Justru sudah di depan pintu pagar Gedung KPU yang (tentu) tak dibuka penuh. Hanya selebar tak sampai satu meter. Tinggal selangkah lagi masuk ke halamannya. Tapi tak kesampaian. Saya terpental.

Sepatu terinjak dalam posisi dua kaki yang bagai terpisah. Akibat kaki orang lain yang masuk di antara dua kaki tadi. Sy terpaksa melepaskan sepatu kanan dengan maksud menyeimbangkan posisi kaki. Tak berhasil. Posisi badan cenderung miring. Gerakan merangsek kian berlanjut. Tak berdaya untuk keluar dari himpitan. Anggota badan setiap orang saling menempel. Sulit bernafas. Sangat terasa kekurangan oksigen.

Nafas pendek dan lamban, hanya dapat dirasakan di bagian atas tubuh. Belum lagi, tak mudah pula keluar dari desakan parah tadi. Terbayang, saya kehilangan nafas. Bahkan sempat bergumam dalam hati: inikah akhir nafasku..!

Posisi belum aman. Tak ada spasi sedikit pun untuk sekadar menghindar dari desakan. Semata untuk bisa lancar bernafas dan menghirup oksigen. Tak ingin menyerah. Sedikit demi sejengkal bergeser dari sandera massa. Seseorang keturunan Arab menolong. Mendorong saya ke rongga ban besar kendaraan taktis Barakuda yang siaga di luar pagar Gedung KPU. Hanya itu tempat yang bisa dituju. Seseorang yang tak saya kenal tadi dan baik hati mengusapkan minyak angin, sambil memijit tengkuk dan kepala. Saya pun mulai “siuman”. Masih bertahan di area sempit ban Barakuda.

Saat massa mulai renggang, saya segera beringsut. Sepatu tinggal sebelah kiri hingga dibuang di taman meridian jalan. Praktis tanpa alas kaki alias “nyeker”. Menuju rumah makan di kawasan Menteng. Sejumlah kawan menunggu. Antara lain Najib Qodratullah dan Budi Youyastri (alm). Keduanya figur debutan DPR RI. Pun sahabat Radar Tri Bhaskoro, mantan KPU Jabar. Mereka cemas atas peristiwa yang saya alami.

Hari ini, sembilan tahun silam — masih terngiang akan pengalaman tragis itu. Betapa pun adalah sebuah tapak perjuangan. Secuil yang saya bisa. Detik-detik menegangkan, ketika saya merasakan akan (sesaat lagi) kematian. Nafas yang terasa cuma tersisa di tenggorokan. Alhamdulillah, nafas panjang berlanjut hingga hari ini. Terima kasih, Ya Allah. Maha Kuasa atas Segalanya.” ***

– imam wahyudi (iW)
jurnalis senior di bandung