Image By vecstock
Image By vecstock

Tidak Perlu Menunggu Aturan Main, Lembaga Survei Wajib Mengumumkan Pendanaan Survei Pilpres dan Pemilu (Bagian Dua)

Oleh Dr Gede Moenanto Soekowati M.I.Kom, Dewan penasehat CSI, pakar strategi dan analis politik komunikasi media 

Terkait survei, kita bisa belajar dari beberapa pilkada dan pemilu atau beberapa kegiatan survei yang dilakukan untuk kepentingan partai politik (parpol) atau kandidat di ajang pilpres. Hasilnya harusnya tidak berbeda-beda antara satu lembaga survei dengan lembaga survei yang lain walaupun lembaga surveinya berbeda.

Menjadi sangat aneh saat sejumlah lembaga survei hasil surveinya juga berbeda padahal populasi dan sampelnya itu sama. Taruhlah sampel itu 1.200 orang atau 1.200 responden, tapi yang paling jadi masalah adalah bukan terkait dengan jumlahnya karena mau jumlahnya 1200 atau 5 juta responden atau puluhan juta responden itu tidak masalah ketika kita mempertanyakan mengapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei X dengan lembaga survei lainnya hasilnya kemudian berbeda-beda padahal responden sama artinya populasi dan sampel itu sama. Sehingga tidak mungkin hasilnya itu berbeda antara satu lembaga survei dengan lembaga survei lainnya karena populasinya sama, maka otomatis sampel yang digunakan adalah juga berasal dari populasi yang sama.

Hal itu bisa tercermin dari hasil pemilunya nanti, ketika terjadi selisih angka yang sangat jauh antara hasil pemilu dengan kegiatan survei yang dilakukan.
Jadi sangat masuk akal ketika kita menoleransi ada lembaga-lembaga survei yang sebetulnya merupakan konsultan dari capres tertentu dan cawapres tertentu, surveinya dibiayai dari pasangan tersebut dan dibiayai kegiatan surveinya dari partai politik atau oligarki yang mendanainya. Sehingga, sejumlah faktor itu terdapat hubungan yang erat. Pengumuman pihak yang mendanai survei agar kita tahu bahwa hasil survei ini bukan hasil survei, tapi merupakan pesanan yang mustahil cuma-cuma.

Setiap lembaga survei melakukan kegiatannya karena mereka mendapatkan order untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas setiap capres dan cawapres yang memesannya atau order dari calon anggota legislatif tertentu atau oligarki. Tingginya biaya survei berdampak pada beban biaya yang sangat besar untuk menyelenggarakan survei pilpres.
Satu hal yang juga mengemuka dalam kegiatan survei yang cukup aneh adalah saat terungkap perbedaan hasil survei dengan populasi yang sama itu kemudian menimbulkan persoalan yang sangat mencolok. Ketika kita bicara tentang pemilu di Indonesia, ketika hasil survei berbeda-beda padahal populasinya sama. Seharusnya semuanya mutlak menghasilkan hasil survei yang sama. Karena itu, hasilnya harusnya tidak bisa berbeda walaupun berbeda hanya 1-2% tidak bisa diterima akal sehat, maka hal tersebut tidak mungkin berbeda hasilnya pasti sama. Nah ketika hasilnya berbeda satu sama lain dan lebih fatal berbeda dengan hasil pemilu, maka terdapat kekeliruan yang fatal.

Apalagi kita bicara tentang adanya pihak tertentu yang memang sejak awal dia ingin melanggengkan kekuasaan sampai tiga periode bahkan melakukan kampanye tiga periode secara terbuka. Misalnya yang dilakukan oleh Indo Barometer yang sejak jauh-jauh hari menginginkan kegiatan untuk melanggengkan kekuasaan menjadi tiga periode atau setidaknya lebih dari dua periode dengan melakukan upaya penundaan pemilu, seperti yang sudah diatur dengan undang-undang.

Bahwa kekuasaan pasangan presiden dan wakil presiden itu hanya berlangsung selama maksimal dua periode. Artinya, paling lama 10 tahun itu juga dengan catatan dia terpilih lagi di pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Jadi kalau misalnya hasilnya itu tidak sama antara hasil survei pemilu dengan hasil pemilunya, maka itu jelas tidak bisa diterima. Apalagi sudah ada bukti ilmiah ketika survei yang dilakukan di Pilkada DKI, yang waktu itu terkait dengan Pilkada DKI pada tahun 2017 dengan ada tiga pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur di mana sejumlah lembaga survei yang sebetulnya sudah merupakan lembaga yang merupakan lembaga yang memang digaet untuk menyukseskan kandidat tertentu, maka dia tidak menyatakan bahwa mereka ini sebetulnya hanya tim sukses, tapi mereka menyatakan diri mereka sebagai lembaga survei independen, yang akhirnya banyak kalangan yang mengacuhkan hasil survei yang sebetulnya sangat berbeda jauh antara hasil survei dengan kenyataannya dengan hasil pemilihan umum kepala daerah di DKI pada waktu itu.

Jadi ketika hasilnya itu sangat berbeda, ajaib dan mengherankan ketika berbedanya bukan hanya 5% bahkan 100% berbeda dengan hasil pilkada. Nah ini juga kita menunjukkan ingin menunjukkan bukti bahwa sebetulnya dalam ajang kontestasi pemilihan presiden dan pemilihan Wakil Presiden Itu juga sebetulnya hal yang sama bisa terjadi ketika lembaga lembaga survei ini merilis hasil hasil survei yang mereka lakukan yang sebetulnya kegiatan untuk menyukseskan pasangan tertentu ini kan berbeda ya Jadi kalau kegiatan menyukseskan pasangan tertentu dengan kegiatan survei yang independen itu harusnya tidak bisa di lakukan dengan dibungkus salah itu adalah hasil survei gitu ya. Jadi dia harus merupakan hasil kegiatan untuk meningkatkan elektabilitas atau meningkatkan popularitas kandidat yang telah membayar mereka nah ini bukan berarti ketika tidak ada aturan bahwa sampai sekarang tidak ada aturan yang menyatakan bahwa setiap lembaga survei itu harus mengakui atau mengumumkan siapa yang telah menyewa mereka atau menghayal menghayal mereka untuk kegiatan survei itu Nah itu tidak pernah dijelaskan Padahal kalau survei itu kan harusnya independen dia tidak bisa dibiayai oleh pasangan tertentu.

Walaupun mungkin hasilnya bisa saja diperdebatkan gitu ya, tapi ini kan kita bicara tentang landasan ilmiah sebuah survei jadi sebuah survei Itu Memang harusnya tidak boleh dilaksanakan untuk kepentingan  penugasan kandidat kecuali tidak dipublikasikan ketika dia dipublikasikan harusnya diumumkan dong itu siapa yang mendanai survei tersebut? Apakah survei itu dilaksanakan secara nyata atau atau secara fiktif itu kan tidak diumumkan karena kan kalau yang namanya survei itu memang tidak mungkin gratis ya untuk melaksanakan survei dari satu daerah ke daerah lain untuk kemudian mewawancarai setiap responden mengukur tingkat kepercayaan dan sebagainya.

Itu kan tidak mungkin secara gratis. Nah itulah yang saya katakan sejak awal tidak mungkin survei itu merupakan kegiatan yang gratis yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tapi tidak terbukti bahwa kegiatan survei itu gratis dan memang benar-benar memenuhi kriteria untuk dilakukannya survei. Ketika kita bicara tentang populasi dan sampel tadi yang sudah berulang kali saya ungkapkan bahwa setiap populasi dan sampel untuk daerah misalnya kita bicara tentang Indonesia, maka hasilnya tidak boleh berbeda walaupun lembaga survei itu berbeda-beda, tapi ini mengapa hasil bisa berbeda-beda? Ketika lembaga surveinya berbeda juga yang melakukan kegiatan itu. Nah ini kan tanggung jawab moral lembaga survei untuk mengembangkan survei yang independen dan ilmiah. Apakah mereka masih harus menutupi siapa yang membiayai kegiatan survei yang mereka lakukan itu mereka harus menyembunyikannya? Mengapa disembunyikan itu juga satu tanda tanya tanda tanya besar?

Mengapa pembiayaan survei itu disembunyikan, kan tidak mungkin kalau kita kaitkan dengan kegiatan survei yang memang sangat mahal itu tidak ada biayanya. Jadi, memang pelaksanaan survei harus dilakukan dengan biaya yang transparan dan diumumkan kepada publik bahwa kegiatan survei itu memang dilakukan oleh sebuah lembaga bisa disebut lembaga yang kredibel dalam melaksanakan kegiatannya, sehingga mereka bisa menentukan populasi dan sampelnya itu juga tidak menyalahi kriteria populasi dan sampel yang memang harus memenuhi kriteria ilmiah.

Jadi kita tidak bisa hanya asal-asalan menentukan populasinya padahal populasinya semua sama. Kalau kita lihat, pemilih itu kan jelas tidak sama dengan jumlah penduduk di Indonesia yang mencapai 270 juta, kita anggap saja jumlah pemilih itu 150 juta.
Nah populasinya sama yang menggunakan sampel dari jumlah pemilih tetap. Sampel itu harus memenuhi kriteria sebagai pemilih tetap. Karena itu, tidak mungkin hasil survei yang dilakukan berbeda-beda antara lembaga survei satu dengan tembaga coba yang lain itu jika dilakukan dengan sungguh-sungguh itu berbeda-beda tidak mungkin kita walaupun beda nya itu hanya 1 persen. Seperti misalnya kita sebut saja survei yang dilakukan oleh CSIS misalnya itu menghasilkan bahwa pasangan tertentu meraih 43% pasangan lainnya 26% dan pasangan lainnya di bawah 20%.

Artinya kalau kita kaitkan dengan hasil lembaga yang lain bisa saja memang berbeda, tapi ada yang sama dengan mengeluarkan angka 43% di pasangan yang sama. LSI Denny JA itu menghasilkan untuk pasangan yang meraih suara terbanyak 43%, sedangkan pasangan yang menguntit di urutan kedua itu sama ya sekitar 25 sampai 26%, hasil untuk pasangan ketiga yang satu di bawah 20% sedangkan LSI Denny JA di angka di atas 20%, tapi survei CSIS menempatkan pasangan ketiga sekitar 17 persen saja. Nah itu kan satu hal yang tidak bisa diterima. Apakah lembaga survei ini melakukan surveinya dengan benar-benar atau hanya menjiplak hasil survei yang dilakukan lembaga lainnya?

Dengan menjiplak dan dipaksakan agar hasilnya itu seolah-olah merupakan hasil survei memang begitu dan ini kita bisa membedakan dengan survei-survei sebelumnya, yang dilakukan banyak lembaga survei juga yang anggap saja dia independen, tapi kita kan juga tidak pernah mengetahui apakah survei yang dilakukan itu memang dilaksanakan secara sukarela alias tanpa biaya? Karena itu, jika pengorder bertujuan mendapatkan pemetaan pemilih berdasarkan survei, maka seharusnya hasil survei itu tidak dipublikasikan karena survei internal. Jika diumumkan, maka dia wajib untuk menjelaskan sumber dana pelaksanaan survei itu.

Artinya jika benar dibiayai sepenuhnya oleh lembaga survei tersebut, tidak ada sponsornya atau justru survei yang dilakukan itu by order atau perintah dari pihak tertentu atau survei dilakukan karena diminta oleh pihak tertentu dan dibayar, dibiayai oleh pengorder. Mulai dari sebelum publikasinya termasuk pelaksanaan surveinya mengerahkan periset di lapangan kemudian mewawancarai responden. Sekarang kita bisa katakan oke saja sejauh memenuhi syarat dan memang ada responden yang disurvei. Apakah benar jika responden itu tidak dibayar misalnya, mereka itu mau meluangkan waktu secara sukarela mau disurvei.

Kita tidak tahu apakah memang dilakukan survei dengan responden yang bersedia menyediakan waktu mereka untuk melakukan wawancara secara tatap muka, tapi ternyata kita bisa lihat bahwa hal itu sangat kecil kemungkinan ada orang yang meluangkan waktu secara sukarela tanpa harus dibayar atau diberikan kompensasi dari waktu yang digunakan dan pikiran untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Sedangkan mereka ternyata tidak mungkin juga bersedia tidak dibayar atau diberikan ganti rugi atas waktu dan pikiran yang digunakan. (Bersambung)