Dibuat dengan AI ∙ 13 Januari 2024 pukul 10.37 PM
Dibuat dengan AI ∙ 13 Januari 2024 pukul 10.37 PM

Tak Ada Makan Siang Gratis

Oleh: WA Wicaksono
Analis Iklan dan Pencitraan
Masyarakat Indonesia, dengan segala keberagaman dan dinamikanya, memiliki kecenderungan yang unik, yaitu ketertarikan mereka yang tinggi terhadap segala sesuatu yang berlabel “gratis”. Sebut saja mulai dari uji coba produk, acara filantrofi, hingga acara kuis di media sosial, pesona label “gratis” selalu saja mampu menyedot perhatian khalayak secara maksimal.
Tak heran jika kampanye politik khususnya di Indonesia selalu saja menebar dan mengumbar janji tentang sesuatu yang berlabel gratis. Janji-janji Pemberian produk,layanan maupun program-program gratis terus dijadikan alat untuk menarik perhatian dan mendapatkan dukungan.
Salah satu contoh yang menyolok sekarang ini adalah janji pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, No. Urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang berusaha mengeksploitasi daya tarik pesona gratis tersebut. Dalam salah satu janji kampanyenya, mereka melontarkan program “Makan Siang dan Susu Gratis bagi Anak Sekolah”. Tentu saja janji-janji tersebut banyak mencuri perhatian masyarakat dan menjadi sorotan publik.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah pesona gratis masih mampu memikat publik yang kritis? Sebagai masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya pertanggungjawaban dan transparansi, apakah pesona ini hanya merupakan strategi politik yang sementara atau benar-benar mencerminkan komitmen jangka panjang?
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan gratis tidak selalu menjamin keberlanjutan dan keberhasilan jangka panjang. Seringkali, pesona gratis dapat menjadi dua sisi mata uang politik. Di satu sisi, pesona ini dapat memberikan kesejahteraan sementara bagi masyarakat yang membutuhkan, namun di sisi lain, dapat menciptakan beban keuangan dan sosial yang berkelanjutan jika tidak dielola dengan bijaksana.
Tantangan utama adalah memastikan bahwa janji-janji kampanye gratis ini didukung oleh kebijakan yang kokoh dan berkelanjutan. Masyarakat yang kritis akan menilai kebijakan berdasarkan dampak jangka panjangnya, bukan hanya keuntungan singkat yang didapatkan. Oleh karena itu, pasangan calon harus dapat menyajikan rencana dan strategi yang konkret untuk mendukung janji-janji tersebut.
Pentingnya pendidikan politik juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat perlu diberdayakan dengan pengetahuan yang cukup untuk memahami konsekuensi dari setiap janji politik, terutama yang berhubungan dengan kebijakan gratis. Pemahaman ini dapat membantu masyarakat dalam membuat keputusan yang lebih cerdas dan kritis.
Memang, sampai saat ini pesona gratis memang masih mampu memikat publik Indonesia yang doyan akan semua hal yang dibungkus dengan label gratis. Namun, tantangannya adalah bagaimana pesona ini dapat diubah menjadi kebijakan yang berkelanjutan dan bermanfaat jangka panjang. Publik yang kritis perlu memainkan peran penting dalam mengawasi dan menilai realisasi janji-janji politik ini agar masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat yang nyata dari pesona gratis tersebut.
“No Free Lunch” (Tak Ada Makan Siang Gratis)
Jika dikaji secara lebih mendalam janji makan siang gratis dari Probowo-Gibran di atas sebenarnya bertentangan dengan idiom populer internasional “No Free Lunch” atau “Tak ada makan siang gratis”.
Idiom ini sangat populer di seluruh dunia. Konon idiom ini sebenarnya mulai muncul pada tahun 1800-an. Dimana berdasar laporan New York Times pada 1872, sebagai strategi untuk menarik pelanggan, banyak bar di Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat menawarkan promosi “makan siang gratis.”
Hanya saja, jika ingin minum, pelanggan tetap harus beli atau membayarnya. Memang pemilik bar sengaja menawarkan makan siang gratis, yang kemudian sebenarnya biaya makanan tersebut ditanggung dari pembelian minuman. Dus meskipun sepintas nampak gratis, itu hanyalah kedok semata. Sejatinya pelanggan tetaplah harus membayar dalam bentuk pembelian produk lainnya.
Nah, bagaimana jika pelanggan pintar dan tidak membeli minum? Seperti yang pernah dilansir Investopedia.com, ternyata strateginya pemilik bar sengaja membuat makanan-makanan yang ditawarkan gratis tersebut memiliki kandungan garam yang tinggi. Dus, mau tak mau pelanggan akan kehausan dan terpaksa membeli minuman. Bahkan saking hausnya seringkali terpaksa membeli minum tambahan. Alhasil meskipun makanannya digratiskan kala itu, tetapi tetap “Tidak ada makan siang yang gratis”. Mungkin dari sinilah maka idiom “Tak Ada Makan Siang Gratis” menjadi populer dan mendunia.
Akhirnya dipahami oleh sebagian besar khalayak bahwa “tidak ada makan siang yang gratis” sebagai ungkapan yang menggambarkan bahwa hal-hal yang sepintas tampak gratis, sejatinya selalu memiliki biaya yang harus dibayar oleh seseorang alias tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis.
Lebih sial lagi, idiom “Tak Ada Makan Siang Gratis” dipahami sebagai pengertian bahwa mereka-mereka yang menawarkan sesuatu yang gratis sejatinya hanyalah palsu alias ada udang di balik batu.
Boleh saja sekarang ini masyarakat terpikat dengan janji mendapatkan makan siang gratis ataupun program-program gratis lainnya dari para kandidat yang berkontestasi dalam Pilpres. Namun benarkah yang akan diberikan secara gratis kepada mayarakat tersebut benar-benar gratis dalam arti sesungguhnya? Bukan yang diberikan secara gratis tersebut merupakan uang rakyat sendiri juga. Pemberian fasilitas gratis kepada masyarakat untuk sektor-sektor tertentu tentunya akan membawa konsekuensi tersendiri bagi sektor-sektor lainnya. Ada yang digratiskan, ada juga yang dikorbankan untuk menutupinya tentunya.
Semoga saja, janji-janji pemberian produk, fasilitas, layanan, program serta segala hal gratis lainnya, yang digembar-gemborkan para kandidat Capres-Cawapres pada Pilpres kali ini bukanlah sebuah jebakan yang justru mengacaukan tatanan ideal yang seharusnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Tabik.