Sketsa Pemilu Serentak: (12), APK itu Jadi Sampah Visual
Laporan Imam Wahyudi (jurnalis Jakartasatu.com)
ALAT peraga kampanye (APK) masih berserak. Di berbagai ruang publik. Utamanya jalanan kota Bandung dan sekitar.
Menandai hari terakhir masa kampanye, tengah malam tadi — belum tampak aksi pembersihan. Deretan APK yang saling bersinggungan berubah menjadi sampah visual. Memasuki “masa tenang” Pemilu 2024 mulai Minggu ini, belum ada pergerakan dari Dinas Kebersihan Kota Bandung. Biasanya melibatkan barisan Satpol PP. Pantauan penulis di lapangan dilakukan sejak pk 00.00 wib hingga dinihari Minggu.
Aksi pembersihan APK, rasanya lebih baik — juga dilakukan para caleg atau timses. Justru bakal menuai simpatik khalayak. Siapa tahu berbuah suara pada hari pencoblosan Rabu, 14 Februari 2024.
APK yang harus diturunkan dan atau dibersihkan, didominasi publikasi caleg dan paslon pilpres. Sementara kontestan DPD (dewan perwakilan daerah), terbilang sangat minim.
Tinggal menghitung hari, siapa di antara sebagian kecil caleg yang bakal meraup suara sejumlah minimal kuota kursi. Siapa pula yang bakal mewakili daerah (provinsi -pen) sebagai anggota DPD. Perhatian utama berlaku kepada bakal presiden terpilih.
Pemungutan suara di TPS luar negeri sudah berlangsung kemarin. Antara lain di Amerika Serikat. Anak kami yang tengah menempuh studi S-2 di London mengabarkan, pemungutan suara di Inggris Raya digelar hari Minggu siang ini atau pagi waktu setempat. Dilaksanakan pihak KBRI di negara itu.
“Masa tenang” Pemilu 2024 di seluruh Indonesia menjadi jeda bagi para caleg dalam menakar peluang lolos. Betapa pun probabilitas hanya setara 6% dari jumlah peserta dan parpol pemilu, para caleg umumnya berharap terpilih. Apa pun bobot ikhtiar yang sudah dilakukan selama sosialisasi hingga masa kampanye 75 hari.
Kejaran dan harapan menjadi barisan anggota parlemen terpilih akan terjawab pada saat penghitungan suara nanti. Masih ada sedikit hari untuk beraksi sebagai ikhtiar terakhir. Tentu, sebaik langkah dibanding aksi sandi “serangan fajar”. Aparat bawaslu pasang mata dan telinga. CCTV pun menyorot. Adalah cara tak bijak dan bertanggungjawab. Alih-alih menghasilkan anggota parlemen berkualitas. Justru mendistorsi arti berdemokrasi. Fair play, please..! ***