LEBIH DARI 30.000 WARGA PALESTINA TERBUNUH DALAM KURANG DARI 150 HARI OLEH apartheid Israel DI GAZA | ig@flyers_for_falastin
LEBIH DARI 30.000 WARGA PALESTINA TERBUNUH DALAM KURANG DARI 150 HARI OLEH apartheid Israel DI GAZA | ig@flyers_for_falastin

MSF kepada Dewan Keamanan PBB: Saat ini rakyat Gaza membutuhkan gencatan senjata yang segera dan berkelanjutan. Dalam pidatonya Sekretaris Jenderal MSF menekankan perlunya tindakan segera di Gaza.

JAKARTASATU.COM – Christopher Lockyear, Sekretaris Jenderal organisasi kemanusiaan medis internasional Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF), telah meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menyerukan gencatan senjata segera dan berkelanjutan di Gaza. Permintaan tersebut diungkapkan saat berbicara kepada Dewan pada pertemuan bulanannya di Gaza, Lockyear juga mendesak perlindungan yang tegas terhadap fasilitas medis, staf, dan pasien.
“Pertemuan demi pertemuan, resolusi demi resolusi, badan ini gagal mengatasi konflik ini secara efektif,” ujar Lockyear. “Kami telah menyaksikan para anggota Dewan ini mempertimbangkan dan menunda kematian warga sipil. Kematian, kehancuran, dan pengungsian paksa ini adalah akibat dari pilihan militer dan politik yang terang-terangan mengabaikan nyawa warga sipil. Pilihan-pilihan ini bisa—dan seharusnya—diambil dengan cara yang sangat berbeda.”
Setelah lebih dari empat bulan perang, hampir 30.000 warga Palestina tewas di Gaza akibat serangan dan pemboman yang terus-menerus oleh Israel. Sekitar 1,7 juta orang—sekitar 75 persen dari total populasi—terpaksa mengungsi, dengan luka-luka dan penyakit akibat infeksi karena tinggal dalam kondisi yang tidak aman, tidak sehat, dan menyedihkan. Memberikan layanan kesehatan menjadi sangat sulit di Gaza karena fasilitas medis pun tidak dihormati dan rentan terhadap serangan militer.
“Pasien kami menderita luka-luka parah, amputasi, anggota badan hancur, dan luka bakar serius,” kata Lockyear. “Mereka membutuhkan perawatan tingkat lanjut. Rehabilitasi yang luas dan intensif sangat penting. Tenaga medis tidak bisa mengatasi luka-luka ini di medan perang atau di tengah reruntuhan rumah sakit yang hancur. Dokter bedah kami kekurangan kain kasa dasar untuk menghentikan pendarahan pasien mereka. Mereka menggunakan kain tersebut sekali, memeras darahnya, membersihkannya, mensterilkannya, dan menggunakannya kembali untuk pasien berikutnya.”
Pada tanggal 20 Februari, pada hari yang sama ketika Amerika Serikat memveto resolusi gencatan senjata DK PBB, istri dan menantu seorang staf MSF tewas dan enam orang lainnya terluka ketika sebuah tank Israel menembaki tempat perlindungan staf MSF yang secara jelas ditandai di Al-Mawasi, Khan Younis. Pekan sebelumnya, pasukan Israel mengevakuasi dan menyerbu Rumah Sakit Nasser, yang merupakan fasilitas medis terbesar di selatan Gaza. Mereka yang dipaksa keluar tidak memiliki tempat tujuan. Mereka tidak dapat kembali ke wilayah utara Gaza yang sebagian besar hancur, dan mereka tidak aman di Rafah di selatan, di mana pasukan Israel melancarkan serangan udara dan mengumumkan rencana serangan darat besar-besaran.
“Sejak dimulainya perang di Gaza, tim medis dan pasien MSF terpaksa mengungsi dari sembilan fasilitas layanan kesehatan yang berbeda di Jalur Gaza. Total lima rekan MSF telah kehilangan nyawa. Memberikan layanan kesehatan dan meningkatkan upaya penyelamatan nyawa hampir tidak mungkin dilakukan mengingat intensitas serangan udara dan penembakan, serta pertempuran yang sengit,” ungkapnya.
“Konsekuensi dari mengabaikan hukum humaniter internasional akan menciptakan dampak yang merambat jauh di luar wilayah Gaza,” kata Lockyear. “Ini akan menjadi beban moral yang akan terus kita pikul bersama. Ini tidak sekadar masalah kelambanan politik, melainkan intervensi politik yang sudah menjadi kenyataan,” pungkasnya. |WAW-JAKSAT