Subsidi Kereta Cepat Langgar UU, Anthony Budiawan : DPR Wajib Panggil Menteri Perhub

JAKARTASATU.COM– PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI meminta dukungan dari pemerintah terkait pinjaman Rp 6,9 trliun dari China Development Bank (CDB). EVP Corporate Secretary KAI Raden Agus Dwinanto Budiadji mengatakan, pinjaman untuk menambal pembengkakan biaya (cost overrun) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh ini menjadi tanggungan KAI sebagai pemimpin konsorsium BUMN dalam proyek KCJB.

Sementara di sisi lain, KAI juga harus menjaga keseimbangan biaya operasional Kereta Cepat Whoosh.

Sebab, kondisi kas perseroan berpotensi defisit apabila target jumlah penumpang belum tercapai.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Soal Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Dukungan Pemerintah”, (kompas, 23/4/2024).

Terkait hal tersebut Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menanggapi disampaikan kepada Redaksi Jakartasatu, Rabu (24 April 2024).

“PT KAI (Kereta Api Indonesia) merasa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membebani keuangannya,” ujar Anthony.

“Oleh karena itu, PT KAI minta bantuan dari pemerintah untuk meringankan beban keuangan perusahaan,” imbuhnya.

Lanjutnya, bantuan dari pemerintah yang diminta KAI antara lain penyertaan modal negara (PMN), pembebasan biaya Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) pada kereta konvensional, pembebasan pajak, dan pembebasan biaya penggunaan rel (Track Access Charge/TAC).

“Apa arti “bantuan pemerintah”?,” tanya Anthony.

“Bantuan pemerintah artinya subsidi. Minta bantuan pemerintah, artinya minta subsidi,” jelas Anthony.

Dalam hal ini, kata Anthony, KAI minta pemerintah memberi subsidi kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), yang merupakan perusahaan patungan dengan kepemilikan saham 60% pihak Indonesia dan 40% pihak China (konsorsium perusahaan perkeretaapian China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd).

“Artinya, PT KCIC termasuk kategori perusahaan asing. Artinya, KAI minta pemerintah memberi subsidi kepada perusahaan asing,” terang Anthony.

Lanjutnya, tentu saja permintaan subsidi ini melanggar peraturan perundang-undangan. Karena pemerintah tidak boleh memberi subsidi kepada perusahaan asing.

Oleh karena itu, Anthony menegaskan pemberian subsidi kepada perusahaan asing masuk delik merugikan keuangan negara, dan menguntungkan pihak lain, khususnya pihak asing China.

Pasal 2 ayat (1) UU tentang Tindak Pidana Korupsi berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah.

Dan Pasal 3 berbunyi;
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Menurut KAI, saat ini sudah ada regulasi yang membuat biaya IMO dibebankan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

‘Artinya, Kemenhub sudah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sudah memberi subsidi kepada perusahaan (patungan dengan) asing, dan oleh karena itu telah merugikan keuangan negara,” tegasnya lagi.

“DPR wajib memanggil Menteri Perhubungan dan semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian keuangan negara ini,” tandas Anthony. (Yoss)