Menyoal RUU Penyiaran:
‘Jika Prabowo Seorang Demokrat Akan Menganulir Pasal Larangan Investigasi’

By Edy Djunaidi

Kembali Indonesia lewat legislasi diributkan dengan lahirnya RUU Penyiaran
yang salah satu pasalnya melarang untuk jurnalisme investigasi. Naif, terkesan anti demokrasi. Kebebasan Pers merupakan konvensi negara-negara di dunia, telah diratifikasi oleh Indonesia. Jika suatu rezim membungkam keberadaan persnya, didasari paham anti-kritik. Prabowo sebelum menjabat resmi di 20 oktober 2024 telah memperlihatkan mindset kearah komunikasi yang monolitik. Mulai dari keinginan semua parpol berkoalisi yang menimbulkan pertanyaan secara hakikat, buat apa ada Pemilu. Kita sudah bersepakat menganut sistem one man one vote tapi di hasil kita bermusyawarah.”

Apa hal ini bukan semacam permufakatan jahat? Jika melihat 10 tahun pemerintahan Jokowi yang transparan dicengkeram oligarki, sehingga investor berdaulat, rakyat makin melarat. Dengan lahirnya RUU Penyiaran sinkron dengan sikap Prabowo yang tidak mau diganggu ketika bekerja? Rezim Jokowi dengan pers yang begitu kritis saja mengarah pada paham otoriter dalam membuat kebijakan, apalagi dibiarkan tanpa pengawasan. Benih ini menjadi indikator awal bagi kita akan sikap Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Seharusnya dia lewat partai Gerindra sebagai garda terdepan menganulir pasal tersebut.

Investigasi sebagai kasta tertinggi jurnalistik

Dalam aktivitas pers jurnalistik, investigasi adalah kebanggaan suatu media dan jurnalisnya. Kualitas pers tergantung dari kemampuannya mencari dan mendalami fakta sehingga memberi kebenaran dalam suatu peristiwa. Disadari bahwa RUU ini semangatnya karena pemerintah kewalahan dikorek-korek oleh pers, khususnya Majalah Tempo dengan investigatornya yang canggih. Kenapa pers dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi? Lahirnya karena Trias Politica perlu complementary sebagai demokrasi yang komprehensif dan holistik, khususnya menjadi penting di negara yang menjurus otoriter. Orde Baru melakukan pembungkaman pers dengan pembreidelan media yang dianggap
tidak sejalan dengan kebijakan saat itu. Bagi pemerintah yang banyak melanggar
konstitusi tentu sangat sensitif terhadap pers yang kritis. Pemikiran ini di era post truth agak tertinggal dan nyaris primitif. Informasi detik ini diterima detik berikutnya tergantung nilai peristiwanya. Keberadaan teknologi telah mengubah paradigma media sebagai medium informasi. Di era kejayaan pers cetak (koran dan majalah) kita harus menunggu esok hari kabar beritanya (surat kabar) sehingga aktualitas dan informasi masih dimiliki pers sentral. Sekarang personal source menjadi sumber berita. Hal ini berdampak pada terjadinya tumbuhnya sektor baru dalam bisnis yakni; digital. Muncul penjualan online, judi online, kredit online dst. Indonesia tidak siap mengantisipasinya. Demokrasi terjamin jika civil society menjadi ciri utama masyarakatnya (governmentless), Pemilu yang terbuka jujur dan adil dan kebebasan pers yang dijamin konstitusi dan bersifat universal. Persaingan media digital membuat pers cetak tenggelam.
Bagi yang bertahan, termasuk majalah Tempo tentu harus kreatif untuk bisa
berkompetisi. Aktualitas jelas kalah, informatif sudah dilewati duluan oleh
media digital. Pendidikan juga sama nasibnya. Tinggal satu fungsi bagi media
cetak yakni fungsi pengawasan. Jelas bagi media cetak investigasi pilihan satusatunya bagi pers cetak apalagi majalah mingguan. Survival pers cetak ini tidak disadari oleh oligarki. Ketika sudah mengganggu dan harus dibatasi, jika perlu dibungkam.

Invesitigasi adalah solusi media cetak yang sekarat

Dalam hal survive kadangkala sering orang melanggar etika bahkan melanggar
UU dan regulasi. Ini juga terjadi pada pemerintahan Jokowi, bahkan keberadaan Pilpres 2024 sarat kecurangan dan tidak legitimate. Toh pers dan publik akhirnya menerima keberadaan Prabowo sebagai Presiden terpilih, walau sebagian besar menolak Gibran. Jika RUU ini diterapkan, jelas pers dan civil Society menolak keras.

Kreativitas pers sebagai profesi yang dilindungi UU juga bersifat universal
(global). Terkesan rezim ini yang melahirkan kebijakan cacat secara demokrasi. Setelah penyelenggaraan pilpres bermasalah, civil society tidak kondusif, sekarang kebebasan pers. Lengkap sudah rezim ini menjadi rezim otoriter!

Apakah Prabowo diam dan menyetujui, apakah Gerindra akan diam sebagai
perwakilan Prabowo di DPR. Prabowo harus membuktikan bahwa dia tidak akan
menyeret negara ini ke arah yang tidak demokratis.

Mochtar Lubis tahun 70-an lewat Harian Indonesia Raya yang legendaris, membongkar skandal Pertamina sehingga Ibnu Sutowo (Dirut) dan Direksi dipecat kala itu. Ketika Malari 1974 Harian Indonesia Raya dengan beberapa pers lainnya termasuk Tempo dibreidel, tapi dengan minta maaf pada pemerintah diperbolehkan terbit kembali kecuali Indonesia Raya. Mochtar Lubis memilih masuk penjara dan tidak menerbitkannya untuk kebebasan pers.

Kebebasan sudah diatur secara universal lewat etika dan norma jurnalistik yang
dipegang teguh di dalam asosiasi profesi seperti; PWI, AJI dan asosiasi jurnalistik
persektor. Jika terjadi persengketaan ada Dewan Pers, jika pidana ada UU ITE
yang kontroversial. Sekarang dilengkapi dengan UU Penyiaran yang sangat
membatasi kreativitas pers dalam berkompetisi. Harus disadari bahwa pers
hakikatnya menyajikan fakta, diulas dan dianalisa dengan opini pakar agar
menarik. Persaingan masalah aktualitas pers sebagian memilih pendalaman dan
kelengkapan dengan methode invesitigasi. Apakah investigasi semata-mata kreativitas pers? Keliru jika hanya dibebankan pada pers. Pada masyarakat yang demokratis ditunjang kemudahan dan kecepatan memberi informasi, mayoritas pers sumber awalnya dari media sosial, lalu diselusuri dan sering dokumen disuplai oleh publik lewat LSM, akademisi yang tergabung dalam civil society. Persoalan Palestina contoh nyata ketika AS dan elite global yang berkuasa membungkam PBB dalam menindak kebejatan Israel, dunia kampus seluruh dunia bergerak. International Criminal Court (ICC) menjadi tergerak mengadili PM Netanyahu sebagai penjahat HAM yang lebih keji dari Hitler. Semua ada batasnya, kekuasaan Jokowi berakhir di bulan Oktober nanti. Prabowo tentu harus mampu menjaga sendi demokrasi jika ingin terus mendapat dukungan rakyat, dari 42% pendukung Anis yang ingin perubahan. Jika tidak berubah jangan justru diperburuk. Prabowo harus tampil dan berani berbeda saat ini dengan Jokowi agar merasa kondusif. Bahaya suatu rezim ketika bertentangan dengan pers. Harus dipahami bahwa media itu saat ini seluruh jari tangan yang punya handphone, bukan mengatur hanya lembaga pers.

Catatan pentingnya adalah jika tidak ada kesalahan jangan pernah takut dengan
jurnalistik investigasi. Jokowi dengan dihantui banyak kesalahannya ketika
memerintah sehingga membuat barikade ‘pertahanan’ yang merobek demokrasi sebagai sistem yang dianut miliaran orang di dunia.

Bertentangan dengan pers seperti menepuk air di dulang akan menciprat muka sendiri. Percayalah!

Draft RUU Penyiaran melengkapi UU Pokok Pers 1999, UU ITE menjadi oke-oke
saja ketika 2 pasal (dari 149 pasal) yakni pasal 8A huruf q dan 50 B ayat 2 huruf
C yang harus direvisi untuk membuktikan demokrasi akan timbul di ufuk
pemerintahan Prabowo.

Tantangan Pemerintah Prabowo

Jokowi membentang berbagai jebakan “Batman” bagi Prabowo Subianto pada
20 Oktober 2024. Pilpres 2024 yang tidak lagi hikmat, utang yang mencapi
Rp20.000 triliun. Sistem regulasi yang anti kedaulatan rakyat (UU Cipta Kerja dan UU Minerba, dll.) dan segudang masalah di setiap kementerian/lembaga yang berujung korupsi sehingga kita tergolong negara paling korup di dunia. Hal ini diperburuk oleh pandangan Prabowo menyangkut demokrasi. Mulai mengakui arti parpol yang lelah, jangan mengganggu jika sedang bekerja. Terkesan ini alat
korporasi, ucapan seorang direksi mandat dari pemegang saham. Seorang
direksi saja dijabat oleh komisaris (dalam hal ini DPR). Jika Komisaris dibungkam
masih ada publik (perusahaan publik dan harus terbuka dan menyatu. Jika mindset korporasi dimasukkan dengan parpol sebagai pemegang saham akan
menyeburkan diri pada korupsi. State Corporate Crime akan menjadi “skema”
dalam menjalankan roda pemerintahan.

Parpol dengan menterinya akan menjadikan ATM lembaga yang dipimpinnya, seperti rata-rata yang terjadi saat ini. Inilah yang menjadikan Jokowi kesal karena berhasil menyandera menteri-menteri pelakunya yang seperti kerbau dicocok hidungnya.

Buktikan, bahwa Prabowo penganut demokrasi sejati yang tersisa saat ini.
Apalagi ia sudah memperoleh bintang empat (hor). Politik balas jasa tidak harus
sampai membuat negara dalam kehancuran.

Singkat kata, anulir pasal tersebut daripada membuat api dalam sekam
berkembang karena krisis ekonomi dan krisis politik belum diatasi. Jangan
sampai “pers” menjadi provokator dan pemantik api perlawanan yang berat
bagi Prabowo Subianto Ketika memimpin proses transisi menganulir kebijakan
yang merupakan jebakan batman yang menjerat dan menyulitkan bisa dijadikan
dendam bagi dirinya kemudian hari kalah. Ayo Prabowo tunjukkan rasa cintamu
terhadap NKRI yang sering digembor-gemborkan pendukungmu!

Penutup
Kebebasan pers sebagai indikator kualitas demokrasi bagi suatu negara. Hal ini mencerminkan kualitas negara dan rakyatnya, bukan sekadar elemen pelengkap Trias Politica. Bahasa kerennya: Civic Empowerment