Teh Pahit Bukan Kopi Susu
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni
Sewarna hati tak jua sewarna kata. Tak jua bijak ketika tersurat tak sama pada nurani tersirat. Membiarkan apapun kata gayung bersambut. Ini lara tak semanis madu. Karena cinta padai berbohong. Tak tahu lagi kata benar atau tulus. Tak serupa pula papan reklame modern budaya kontemporer. Janji, bukan sekadar komitmen pura-pura tulus berdiri tak pada tempatnya.
“Tidak begitu.” Tetiba berita korupsi triliun di angkasa.
“Tapi begini.” Oh! Ada korupsi lagi ya.
Kolaborasi angka-angka, rumus-rumus rahasia membuka kunci lemari tertutup rapat dilindungi hukum formal. Tak berlaku di perang modern zaman. Mesin perang lebih berharga ketika cuaca berubah-ubah dalam warna sekunder. Sembunyikan saja kemaslahatan. Selamat datang perang. Gelegar jiwa berteriak girang. Nyaring mengangkasa.
“Koruptor sukseskan sulapan triliun.”
“Ramailah isu do re mi orkes bergoyang.”
Program di antara pikiran dalam kepala tak senyawa arah tujuan bodok amat sumpah jabatan. Mesin kelicikan campur aduk di otak nakal koruptor membuncah serkah. Lupa diri, culas bolak-balik di badan terlihat jiwa tak jujur. Sang koruptor paham betul cara kerja otak nakalnya. Jiwanya oke saja mampu mengendalikan situasi setara diam-diam merayap menyalakan mesin korupsi.
“Irasional? Enggak kale.” Suara sang culas.
“Mistik? Hahaha…” Doyan memuja berhala.
Kalau begitu korupsi sangat nalar bukan misteri. Bukan tebak manggis juga kale. Tanya lagi deh kenapa melakukan tindak pidana korupsi, sadar plus konsekuen. Wow! Panjang deh link tim kerjanya. Ketika sebuah nama terselip nama lain. Ngoceh melulu. Saat sang waktu lengah, raib ajaib. Blink!
“Aku. Kalian. Ada deh. Iyau!” Seolah-olah legal formal everyday.
“Identitas, abstraksi berganti musim.” Tuyul melenggang jadi manusia.
Hidup senang laiknya takkan mati, di atas penderitaan hak-hak publik. Cerita hidupnya tak pernah selesai. Berkesinambungan tak pernah bingung, linglung. Namun menjelang ajal tuyul mengalami hidup di antara mati menuju menuju neraka; don’t worry be happy. Hidup ini ajang lifestyle koruptif. Hedonis, jalani saja hidup ini super top.
Kehidupan megapolis sang tuyul koruptor mampu membeli kondominium sebagaimana kehidupannya berlangsung. Kalah menang mengarungi hidup ini tak perlu dihitung jari. Sekarang menang. Besok kalah. Lumrah untuk sang koruptor. Untung rugi bagi tuyul sama sebangun di arena hidup manapun sekalipun di benua khayali.
Kepiawaiannya si tuyul menjilat iblis sang majikan membuatnya bebas jalan-jalan selfie sana sini. Tak ada kemalangan bagi si tuyul. Hanya ada keuntungan selalu. Keajaiban tak dimiliki siapapun. Tuyul penjilat profesional, terus mendaki popularitas kapanpun di manapun. Membangun, the kingdom of tuyul’s corruption. Bye! Bye Humanism!
***
Jakartasatu Mei 28, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.