MENGAPA LISTRIK “MBMS” SANGAT MAHAL ?

Oleh Ahmad Daryoko,
Koordinator INVEST.

Sekitar setahun ini tarif listrik dirasakan naik antara 75% – 90% oleh kalangan Konsumen Pelanggan PLN 900 VA – 2.200 VA.

Perlu diketahui setelah diterapkannya UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, meskipun UU tersebut kemudian di batalkan MK pada 15 Desember 2004, namun faktanya di sana ada suatu System yang diperkenalkan oleh IFIs (WB,ADB,IMF) yang terlanjur menjadi “Naskah Akademik” Kebijakan Kelistrikan di Indonesia yang di “paksakan” ke PLN ! Diantaranya adanya System “Unbundling Vertikal” yang dipaksakan diterapkan untuk Kelistrikan Jawa-Bali. System inilah karena tiap Unit Bisnisnya dikelola oleh bermacam Badan Usaha Swasta berbeda beda yang kemudian mengakibatkan Operasional Kelistrikan yang sangat mahal !

System “Vertically Unbundling” atau Unbundling Vertikal yang di paksakan di Kawasan Kelistrikan Jawa-Bali (sekali lagi meskipun tanpa UU, karena UU No 20/2002 nya sudah dibatalkan MK) itu adalah terjadinya “pemisahan usaha” Kelistrikan mulai dari Pembangkitan, Jaringan Transmisi, Jaringan Distribusi, dan Jaringan Konsumen (Pelanggan). Memang secara fisik Pemisahan Usaha Kelistrikan tersebut tidak terlihat karena dari Pembangkit sampai Retail tersambung dengan kabel warna hitam (yang seragam). Namun secara Pengelolaan barulah dapat diketahui Unit Unit Usaha yang berbeda beda itu !

I. APA ESSENSI MBMS KELISTRIKAN ITU ?

Theori dan percobaan ini adalah hasil experimen dari Edhard Eppler (Ahli Listrik Jerman) yang sebelumnya telah berkesimpulan bahwa Sektor Ketenagalistrikan yang terdiri dari System Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Ritail adalah suatu System yang memiliki sifat “Execlussive Right” atau “Monopoli Alamiah” dibidang kelistrikan sehingga semua orang sangat tergantung dan terikat akan System ini !

Menurut Eppler Sektor Ketenagalistrikan yang paling effektif dan effifien bila dilaksanakan secara “Vertically Integrated System” atau secara “Vertikal Terintegrasi” yaitu mulai Pembangkitan, Transmisi, Distribusi , sampai Retail mestinya di operasikan oleh satu “Owner”.

Dengan karakter seperti diatas, maka Kelistrikan sering dipakai Kolonial sebagai alat untuk menjajah kembali Negara Negara berkembang dengan “Strategi merangkak” !

Contohnya Indonesia ! Sebenarnya berbagai macam Negara Kolonial mulai dulu mengincar Indonesia untuk dijadikan Negara jajahan mereka. Mulai dari Jengiskhan di China pada abad ke XIII , kemudian Negara-negara Barat pada abad ke XVI dan akhirnya Belanda berhasil menjajah Indonesia mulai abad ke XVI. Itupun sejak Era Kemerdekaan (Abad ke XIX) Negara-negara kapitalis tersebut mencoba lagi untuk meng “intervensi” Indonesia dengan strategi “Jebakan” Hutang Luar Negeri, kemudian terbit LOI (“Letter Of Intent”), kemudian disusul dengan Dokumen “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP) yang itu semua ternyata merupakan strategi Privatisasi PLN yang intinya Penjajahan kembali lewat Kelistrikan !

II. PSRP CARA MERUSAK PERSATUAN PLN SECARA EFFEKTIF !

Esensi PSRP adalah Swastanisasi PLN secara Unit per Unit (bukan global/utuh). Sehingga dengan alasan bisa beli/memiliki PLN secara Unit per Unit, “oknum” Karyawan/mantan Karyawan apalagi oknum Direksi/mantan serta “oknum”/mantan Pejabat PLN bisa bekerja sama dengan Perusahaan-persahaan Aseng/Asing (Shenhua, Huadian, Chengda, China datang, CNEEC, Shinomach, Siemens, General Electric, EDF, Hyundai , dll ) . Sedang untuk Jaringan Ritail para oknum pejabat spt JK dan Dahlan Iskan dst, selama ini bisa berkolaborasi dengan Taipan 9Naga seperti Tommy Winata, Prayoga Pangestu, James Riady dll.

Dengan kondisi seperti diatas, dimana sebenarnya masih banyak karyawan yang masih ingin bekerja secara idealis , akhirnya diajak mantan boss nya untuk “bisnis”. Dan akhirnya menimbulkan perpecahan di Internal PLN dan semakin mudah penerapan PSRP ini !

Sebagai akibatnya untuk Kawasan Kelistrikan Jawa-Bali saat ini Mayoritas Pembangkit sudah dikuasai Aseng/Asing. Sementara untuk Retail sudah di kuasai Taipan 9Naga dengan menggerakkan para “Vendor Kelistrikan” !

PLN Jawa-Bali hanya tinggal menguasai Jaringan Transmisi dan Distribusi serta P3B (Pusat Pengaturan dan Penyaluran Beban) yang ke depan hanya akan menjadi Lembaga Independent Kelistrikan (diluar kontrol PLN) dengan fungsi :

1. Pengaturan System,
2. Penentuan Harga Listrik Pembangkit.

Dilain pihak Pemerintah saat ini sedang gencarkan Program HSH (“Holding Sub Holding”) dengan target sempunakan kondisi “Unbundling Vertikal”.

Bila Program HSH khususnya Jawa-Bali serta RUU “Power Wheeling System” (PWS) selesai, maka Jawa-Bali akan diterapkan MBMS dan tarip akan “melejit” sekitar 5x lipat tarip non MBMS (tarip Subsidi) pada saat normal. Dan akan “melejit” ke angka 11x lipat saat “peak load” (beban puncak) antara jam 17.00 – 23.00.

Uraian diatas disampaikan oleh Prof. DR. David Hall (Ahli dari Greenwhich Univerversity, UK), saat “Judicial Review” (JR) UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 2003 di MK (Mahkamah Konstitusi) bersama Ahli lain Prof. Yanuarsyah Haroen (ITB), Prof. Syarifuddin MS (ITS), DR. Ichsanuddin Noorsy dll dari Indonesia !

Akhirnya UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang berisi PSRP, “Unbundling Vertikal”, dan MBMS kelistrikan ini dibatalkan MK dengan Putusan No 001-002 – 021 /PUU -I/ 2003 pada 15 Desember 2004.

Namun demikian Rezim Pemerintah tetap laksanakan Kebijakan “Almarhum” itu !

Yang jelas para Ahli telah sampaikan suatu saat nanti Konsumen/Rakyat di Indonesia akan merasakan apa yang dialami oleh Rakyat Kamerun dan Philipina pada 1999 dan 2007. Yaitu “melejitnya” tarip listrik sampai 5x lipat saat ini (dalam kondisi normal). Dan “melejitnya” tarip listrik sampai 11x lipat saat kondisi “peak load” atau beban puncak yaitu antara jam 17.00 s/d 23.00.

Kalau penanganan PLN/Kelistrikan masih mengandalkan konsep PSRP dari WB,ADB dan IMF !

INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJIUUNN !