Menimbang “Harga” Partai dalam Pemilu

Oleh: Arief Rachman, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat.

Sejak reformasi hingga saat ini kondisi iklim sosio-politik negara Indonesia selalu mengalami perubahan, termasuk perubahan partai dan sistem kepartaian hingga perilaku politik dalam pemilu. Lebih jauh, pola hubungan partai dan konstituen pada pemilu pasca Orde Baru, saat-saat ini tidak lagi mencerminkan politik aliran, justru figur populerlah yang lebih dominan. Figur-figur yang populer seperti artis dan para pengusaha yang mempunyai kekuatan ekonomi lebih banyak mendapatkan rekomendasi kepartaian hingga suara dalam pemilu.

Pola hubungan yang dibangun antara pemilih dan konstituen lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis, transaksional dan jangka pendek, pun partai politik tidak lagi mengedepankan visi, misi dan program partai yang mencerminkan ideologi partai.

Konstruksi politik hasil Pemilu 2009-2024 menunjukkan adanya perubahan, pola hubungan sosio-religi, pola panutan, maupun kepemimpinan kharismatik tidak lagi signifikan dalam menentukan perilaku politik. Akibatnya, proses politik menjadi tidak berkualitas dan kepentingan warga semakin terabaikan. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya biaya politik, serta rendahnya partisipasi dan kepercayaan publik.

Di Indonesia, pola hubungan partai dan konstituen dirasa irasional dan kurang bertanggung jawab, yang terlihat jauh berbeda dengan pola hubungan partai dan konstituen di negara-negara maju yang sangat rasional dan bertanggung jawab. Perkara demikian tercipta oleh prilaku politik primordial dan pragmatis bermasyarakat.

Lebih jauh, hal ini disebabkan oleh semakin bergesernya pola hubungan partai dan konstituen dalam menstrukturkan perilaku memilih masyarakat. Konstituen tidak lagi konsisten memilih partai berbasis kepentingan ideologisnya, begitu pun partai politik tidak lagi konsisten visi misinya (platform partai). Kondisi yang sangat tidak kondusif bagi kehidupan politik baik nasional maupun lokal.

Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa partai politik sudah tidak terlalu berharga dalam setiap pemilu. Kerja keras dari sebuah partai politik dalam menggalang dukungan massa tidak berpengaruh pada pemilih dan mesin partai tidak dapat menjamin menang atau kalahnya pasangan calon yang diusungnya.

Kemenangan masing-masing pasangan calon dalam Pemilu lebih ditentukan oleh figur calon dan dukungan finansial dari pada dominasi partai yang mengusungnya. Oleh karena itu, banyak calon dalam menggalang dukungan sering melakukan aliansi dengan Pelaku bisnis guna mendapatkan bantuan dana. Apabila calon tersebut terpilih, maka bisa dipastikan akan berdampak pada dirugikannya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, karena kebijakan akan diarahkan untuk kepentingan sponsorship bukan untuk masyarakat.

Fenomena diatas menimbulkan pertanyaan, Mengapa keberadaan partai semakin tidak bermakna pada pemenangan pemilu baik lokal maupun nasional, apakah partai sudah tidak berharga lagi bagi pemilih?.

Transformasi Partai: Menuju Partai Catch-All

Dengan banyaknya partai politik yang bersaing, baik dalam Pemilu 1999 (48 partai politik), Pemilu 2004 (24 partai politik), Pemilu 2009 (38 partai politik) dan Pemilu 2014 (12 partai nasional dan tiga partai lokal) kesulitan untuk mendapatkan suara yang hanya mengandalkan segmen massa politik yang terbatas. Sedangkan di tahun 2024 ada tren kenaikan jumlah partai politik yang lolos Verfak (Dari Total 18 Parpol, 8 Parpol Lolos ke DPR).

Dari penjabaran singkat diatas, dapat dipahami bahwa banyak partai politik pada Pemilu 1999 harus gulung tikar akibat kurangnya dukungan untuk memenuhi electoral threshold. Begitu pun nasib partai politik yang lolos electoral threshold dengan segmen pemilih yang sempit, mengalami penurunan jumlah dukungan pemilih akibat ketidakmampuannya dalam meraih dan mempertahankan simpati pemilih.

Persoalan survival partai. Ketakutan partai politik akan kehilangan status peserta pada pemilu berikutnya dan usaha partai politik memperbesar basis konstituen dengan mentrasformasi diri menjadi partai catch-all. Kondisi ini telah mendorong partai-partai untuk memperluas segmen massa pemilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Demi memperoleh suara yang lebih besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-partai melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara mengubah sifat organisasi yang eksklusif menjadi inklusif.

Logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreatifitas elite dalam menggiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik yang ditawarkan. Selanjutnya, bila kalkulasi elitis ini terjadi dalam sistem politik yang masih memberlakukan personifikasi institusi, maka format catchall party berpotensi melahirkan oligarki dalam tubuh partai itu sendiri. Dan, hal ini bertentangan dengan jati diri partai politik sebagai pilar demokrasi.

Koalisi Pragmatis dalam Pilkada

Jika dilihat dari jumlah partai yang memperoleh kursi di Parlemen, sistem kepartaian pasca-Reformasi menunjukkan pluralisme terpolarisasi. Meskipun sejatinya dalam konteks berideologi antara partai satu dengan yang lainya memiliki kesamaan. Lebih jauh, ditemukan adanya pola persaingan partai yang tidak konsisten di tingkat elektoral.

Kita ambil contoh, Pemilu Legislatif terjadi persaingan antar partai yang begitu tinggi, namun perilaku politik tersebut akan berbanding terbalik ketika di hadapkan pada proses Pemilihan Kepala Daerah. Banyak partai yang awalnya bersaing, justru bahu membahu untuk memenangkan konstelasi politik.

Fakta terjalinnya koalisi antara partai yang berlainan ideologi, disinyalir hanya bersumber pada vested interest, yakni kepentingan untuk meraih kekuasaan, jabatan dan privilese ekonomi. Kondisi demikian menurut Ambardh justru menunjukkan sebuah sistem kepartaian yang terkartelisasi.

Kondisi sistem kepartaian yang terkartelisasi di Indonesia pasca-Reformasi menjadi ajang “penjarahan” sumber daya alam atau keuangan negara baik secara legal maupun ilegal. Dampak dari sistem kepartaian yang terkartelisasi ini adalah terjadinya kolusi antara Pemerintah dan partai politik yang pada akhirnya merugikan kepentingan konstituen.

Koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme atau bahasa kekiniannya sebagai koalisi pembagian ladang garapan ini akan berdampak pada terciptanya habitus korup di kalangan elite kekuasaan.

Implikasi dari sebuah koalisi yang memiliki tujuan untuk berbagai kue kekuasaan, dirasa tidaklah linier jika masyarakat masih mengharapkan dukungan partai sebagai keterwakilan pembawa pesan kebijakan kesejahteraan atas arah kebijakan politik pemerintahan yang akan dijalankan.

Rendahnya Tingkat Pelembagaan Partai

Mengutip hasil penelitian mainwaring dan Scully di Amerika Latin, ada empat faktor yang menjadi penyebab lemahnya sistem kepartaian. Pertama, pola elektoral yang tidak stabil. Kedua, rapuhnya akar partai dalam masyarakat. Ketiga, rendahnya legitimasi partai dan Pemilu bagi mereka yang memerintah. Keempat, aturan dan struktur organisasi partai yang tidak stabil.

Pengetahuan dasar politik, tingkat pelembagaan partai politik sangat menentukan terciptanya sistem keterwakilan politik yang berkualitas. Reformasi struktural yang telah dilakukan sejak awal periode Reformasi ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas keterwakilan partai politik.

Kondisi ini merupakan imbas dari ketidakjelasan relasi partai dan pemilih yang ditunjukkan dari tiadanya benang merah antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah. Hal ini ditambah pula dengan semakin kaburnya cita-cita ideal partai yang harus representasikan kehendak rakyat, dan kekaburan ini tampak pada banyak hal, misalnya perilaku para wakil rakyat yang tidak elok.[]