Menjelang Krisis Moneter Prabowo Subianto Harus Monitor Kebijakan SMI
Oleh: Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)
Ulah Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang menyatakan bahwa Prabowo Subianto
akan menaikan ratio pajak 23% di tahun 2025, adalah manuver politik.
Sekelas SMI seharusnya paham arti pernyataan terbukanya di depan Komisi XI DPR-RI sewaktu membahas APBN 2025. Apalagi jika ditambah dengan pernyataan Prabowo Subianto akan menaikan ratio utang 50%. Tidak diperjelas apakah dari utang luar negeri (yang sudah hampir Rp9.000 triliun) atau ditambah kewajiban dalam negeri Rp4.500 triliun – Rp 13.500 triliun. Padahal di tahun 2014 setelah era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya mewarisi utang sebesar Rp2.500 triliun. Pemerintahan Joko Widodo yang ditopang SMI membukukan utang sebesar lebih dari lima kali lipat pada pemerintahan SBY. Total utang pemerintahan Joko Widodo sebesar Rp 21.850 triliun. Belum lagi utang BUMN yang hampir mencapai Rp8.350 triliun, sehingga sebagian terancam bangkrut. Jelas nantinya akan menjadi tanggungjawab negara (pemerintah).
SMI Harus Bertanggungjawab
Pembukuan utang adalah upaya SMI dan tanggungjawabnya secara teknokratis
profesional. Penanggungjawab politisnya tetap Joko Widodo.
KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tentu secara teknis harus mengantisipasi gejolak USD, gejolak IHSG, dan inflasi yang akan berdampak pada harga-harga produk dan jasa di pasar. Pada gilirannya akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia, karena impor membesar. Apalagi produk pangan dikuasai oleh kartel, sehingga peran Bulog untuk stabilitas harga pangan sudah hilang pasca reformasi. Rezim liberalisasi dengan kuota impor “memelihara” kartel setiap komoditi.
Secara fundamental ekonomi kita lemah, dan hanya tumbuh 5% per tahun, padahal dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah seharusnya jika dikelola dengan “good governance” kita mampu tumbuh 8–9% per tahun.
Problem utama SMI (Joko Widodo) walaupun surplus di neraca perdagangan
(lebih besar ekspor daripada impor), seharusnya bisa lebih baik jika kebijakan
impor dibatasi. Agresifitas perdagangan Cina bekerjasama dengan importir
oportunistis yang sebagian menjadi kartel sehingga kuota impor menjadi jualan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang dipimpin oleh orang dari partai politik. Seharusnya devisa kita bisa lebih besar jika uang hasil ekspor kembali ke tanah air. Perilaku eksportir (para taipan) khususnya kelapa sawit dan batubara menyimpan uangnya di luar negeri (tempat bebas pajak). Sedangkan uang yang kembali ke Indonesia sebatas kebutuhan cashflow perusahaannya saja. Dikhawatirkan akan menjadi beban Prabowo Subianto sehingga energi (waktu, tenaga, dan pikiran) habis hanya untuk menyelesaikan “PR (Pekerjaan Rumah)” yang ditinggalkan Joko Widodo.
Berikutnya, utang Indonesia yang menjadi isu manuver SMI di DPR-RI perihal ratio pajak dari 11% menjadi 23%, dan ratio utang yang akan ditambah 50% pada tahun 2025. Tanpa klarifikasi dari SMI maupun tim Prabowo Subianto, beberapa hari setelah itu, kita mendengar kabar bahwa JP Morgan menurunkan peringkat investasi Indonesia menjadi underweight.
Saat ini utang luar negeri Indonesia dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara)
mencapai hampir Rp9.000 triliun.
Sedangkan kewajiban/utang dalam negeri (karena menggunakan dana publik yang dikelola pemerintah) mencapai Rp4.500 triliun, belum lagi ditambah utang BUMN yang secara akumulatif mencapai Rp8.350 triliun. Jadi jika ditotal mencapai Rp 21.850 triliun ekuivalen dengan PDB (Produk Domestik Bruto) kita pada tahun 2024, yaitu sekitar Rp 22.000 triliun.
Jika menggunakan angka ini, sudah mencapai hampir 100% PDB (Ketentuan
dalam Undang-Undang hanya 60%).
SMI berdalih bahwa pemerintah hanya bertanggungjawab atas utang luar
negeri. Lalu bagaimana dengan utang dalam negeri yang menggunakan dana
Taspen, Dana Haji, Bakti Telkom, LPS, Bapertarum? Tanggungjawab siapa
nantinya? Disinyalir tidak melalui APBN (DPR-RI). Pernah terbuka di DPR-RI
bahwa pemerintah ada utang tersembunyi sebesar Rp300 triliun. Jika Prabowo Subianto tidak waspada, akan berbahaya dalam manajemen keuangan negara ini. Perlu perhatian khusus dari tim Transisi dan Sinkronisasi Prabowo Subianto.
SMI selalu memperbandingkan ratio utang negara maju di atas 100% aman, ratio pajak mencapai 40% di negara maju. Kita paham secara fundamental mereka
kuat dari semua indikator kesehatan ekonomi. Neraca perdagangan mereka
surplus, banyak devisa lebih dari cukup. Utang diperuntukan sektor produktif,
bukan investasi infrastruktur sehingga perusahaan BUMN yang membiayai
hampir bangkrut, dan banyak ruas tol dijual murah, dan biaya tol semakin tidak
terjangkau oleh transportasi logistik.
Padahal tujuan utama Joko Widodo
membangun jalan tol adalah untuk efisiensi biaya logistik.
Instabilitas Keuangan menjurus pada Krisis Moneter
Jika Bank Indonesia tidak berhasil intervensi untuk menstabilkan valas,
khususnya dolar Amerika Serikat (USD) yang telah berdampak pada IHSG (Indeks
Harga Saham Gabungan) dan IHK (Indeks Harga Konsumen), tentu jika dibiarkan
akan berdampak pada neraca perdagangan, karena biaya impor naik selisih kurs USD. Sementara terjadi vortality harga pasar yang dimanfaatkan oleh spekulan.
Kita memahami bahwa kabinet Joko Widodo lemah rentang kendalinya terhadap pasar, karena disinyalir ada KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) dengan para kartel untuk berebut rezim kuota beberapa komoditi.
Ketidak-stabilan pasar akan mengganggu kebijakan moneter, karena pemerintah
tidak berdaulat, dan pasar dikuasai oleh pelaku utama. Sementara ketidak
pastian ekonomi dunia terus menghantui ekses perang Rusia vs Ukraina, Israel
vs Palestina yang berkepanjangan membahayakan (ancaman) untuk Food and Energy Security (Ketahanan Pangan dan Energi) di saat nilai mata uang USD
menguat. Rupiah masuk pelemahan terdalam.
Dalam seminggu ini, nilai mata uang USD atas Rupiah bergerak dari Rp 16.200/USD ke arah Rp 16.500/USD, dalam APBN, nilai mata uang USD dipatok Rp 15.000 per USD. Salah satu penyebab menguatnya USD adalah, karena Amerika Serikat mengeluarkan Surat Utang dengan tenor 10 tahun, sehingga uang bergerak invest ke obligasi yang dianggap “sexy” tersebut (follow the money).
Kenaikan imbal beli hasil surat utang tersebut disebabkan ekspektasi naiknya
inflasi AS dan minyak bumi, serta metal. Mendorong The Fed menaikkan suku
bunga acuan, dan USD akan menguat di belahan dunia. Produk Domestik Bruto
(PDB) kita yang besar tidak berdampak banyak pada kinerja perusahaan,
penciptaan lapangan kerja, kemampuan pemerintah untuk keberlanjutan.
Kelemahan utama SMI adalah soal fiskal, karena selalu antara 10–11%. Padahal
Vietnam (negara berkembang) sudah mencapai 21%. Di negara maju mencapai
40%. Pembayar pajak di Indonesia relatif “pintar” (licik), khususnya taipan menyimpan uang dalam bentuk USD di luar negeri, umumnya di negara bebas
pajak.
Badan Penerimaan Negara untuk Optimalisasi Fiskal
Resep untuk stabilitas sistem keuangan Kabinet Ekonomi Prabowo Subianto
harus melakukan beberapa hal untuk meredam gejolak pasar keuangan dalam
negeri. Pengeluaran keuangan negara harus dikelola secara bijaksana;
melebarkan ruang fiskal dan ekonomi inklusif (berbasis UMKM), mendorong
optimalisasi ekspor dan penggunaan produk dalam negeri, serta kebijakan yang kondusif untuk investasi agar peringkat kembali naik.
Badan Penerimaan Negara solusi Kelemahan Fiskal
Kita harus meyakini bahwa tim KSSK sedang bekerja keras untuk menstabilkan
gejolak moneter, khususnya USD saat ini. Sistem keuangan yang stabil mampu
menahan gejolak dan gangguan terhadap sektor riil dan sistem keuangan.
Namun karena Prabowo Subianto dan tim keuangannya belum bisa cawe-cawe,
dilantik 20 Oktober 2024 tinggal 4 bulan lagi. Jika tidak ditangani baik oleh SMI
tentu akan menjurus pada krisis moneter di saat likuiditas kita rapuh.
Diharapkan KSSK sesuai fungsinya, mampu melakukan fungsi intermediasi pada sistem keuangan, alokasi dana pada pasar perbankan, dan mengelola risiko dengan bijaksana untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sementara Prabowo Subianto yang menyadari tentang kelemahan (terbatasnya) ruang fiskal (kegagalan SMI/ulah Joko Widodo), mencari solusi untuk pelebaran ruang fiskal, yakni dengan memisahkan pajak, bea cukai, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari Kementerian Keuangan, sehingga Kementerian Keuangan hanya mengurus aset tidak likuid dan pengeluaran negara (kasir), agar
pengendalian fiskal langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam
konsolidasi pengelolaan pemerintahan, khusus keuangan negara agar kembali
on the track. Sri Mulyani Indrawati dan Joko Widodo disinyalir sering melanggar
prinsip akuntansi, tidak transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan
negara.
Peningkatan ratio pajak dari 11% hanya sedikit dari pajak murni (Pajak Pertambahan Nilai/PPN dan Pajak Penghasilan/PPh), karena 1% peningkatan ratio pajak ekuivalen dengan 15 miliar USD. Maka itu angka 11% ke 23% sangat fantastis (kontroversial) jika tidak dijelaskan kepada publik.
Prabowo Subianto sangat serius masalah fiskal dengan keberadaan Badan
Penerimaan Negara. Sementara selain peningkatan pajak murni yang digenjot
adalah penghasilan PNBP (khususnya tambang, serta minyak dan gas bumi). Kita mengetahui bahwa sistem bagi hasil migas dan tambang tidak adil untuk negara, karena menjadi “cuan” dari pemburu rente.
Dalam migas, dengan sistem bagi hasil sistem Gross Split cenderung ditentang
oleh perusahaan migas, karena sudah nyaman dengan sistem Cost Recovery.
Prinsipnya Prabowo Subianto ingin porsi Indonesia membesar, karena SKK Migas
berbasis penghitungan awal sistem Caltex–Pertamina, yang awalnya hadiah
Soeharto kepada Amerika Serikat (AS), seperti halnya Freeport yang menjadi
perusahaan tambang emas terbesar, dan dari bumi Indonesia. Pada tahun 1970-
an cadangan minyak bumi kita nomor dua terbesar setelah Arab Saudi habis
dieksploitasi oleh AS. Freeport ada uranium sebagai komoditi termahal, tinggal dibuat kesepakatan ulang dengan AS. Nikel jika menjadi bahan baku utama mobil listrik akan menjadi komoditi yang sangat potensial untuk penerimaan negara.
Badan Penerimaan Negara akan optimal dalam fiskal, dengan cara modern
dikelola dengan SWF (Sovereign Wealth Fund).
Tim Badan Penerimaan Negara Prabowo Subianto sedang mengkaji dan menganalisis, mana yang terbaik sistem Cost Recovery atau Gross Split dalam
bagi hasil migas. Prinsipnya, jatah negara meningkat secara signifikan.
Untuk bagi hasil tambang direvisi menjadi nett 4% untuk pemerintah pusat dan 6% untuk Pemerintah Daerah. Jika dilaksanakan perusahaan dengan angka
transparan, dan pembayaran pajak yang benar, hasilnya akan signifikan.
Jadi angka ratio pajak dengan optimalisasi PNBP sangat mungkin jika Badan Penerimaan Negara bekerja optimal, dan bersih dari ekonomi biaya tinggi.
Sektor fiskal belum optimal, karena faktor kolusi dari aparat, karena tergoda oleh
wajib pajak. Peningkatan pajak murni dari kejujuran pembayar pajak dan disiplinnya aparat pajak, sudah akan meningkatkan secara signifikan ratio pajak.
Apalagi dari PNBP (migas dan pertambangan). Seharusnya ini dijelaskan oleh Sri Mulyani Indrawati, dan diklarifikasi oleh tim Prabowo Subianto, sehingga pasar tidak kehilangan kepercayaan, dan spekulan tidak memanfaatkan situasi.
Mengenai peningkatan ratio utang tentu bisa terjadi jika target pertumbuhan
digenjot 8–9%, asal penggunaannya untuk sektor produktif. Untuk ketahanan
ekonomi, porsi UMKM ditingkatkan dengan alokasi dana KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari 20% bertahap sesuai target pertumbuhan. Dibuat ketentuan bahwa
uang hasil ekspor, harus kembali secara proporsional, dan ditindak bagi yang
melanggar. Jika ekonomi sudah terkendali, dan tumbuh secara on the track, dibuat kebijakan tax holiday (tax amnesty). Joko Widodo gagal dengan tax amnesty, karena data base tidak akurat sehingga salah terapinya, karena investor tidak percaya terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Jika pulih bonus demografi akan menjadi berkah, tidak menjadi musibah.***