Rusdianto Samawa, Ketua Geomaritim Partai Negoro/ist

Partai Negoro Lapor KPK, Segera Periksa Menteri KKP

JAKARTASATU.COM–  Ketua Geomaritim Partai Negoro mengatakan polemik Benih Bening Lobster (BBL) terus dalam sorotan, setelah dilakukan pendalaman dan kajian dalam regulasi Permen KKP Nomor 7 tahun 2024. Ada kemungkinan ekspor BBL berkedok budidaya itu dilakukan black market (pasar gelap) yang tak mau berkeringat untuk negara. KKP selalu gagal menempatkan benih bening lobster yang harus dikelola tata niaganya secara transparan dan objektif. Tambah yakin, ketika BLU LPMUKP fasilitasi ekspor BBL modus budidaya di negara lain.

“Partai Negoro memandang kebijakan pengelolaan Lobster ini dipergunakan oleh pihak – pihak black market yang di fasilitasi oleh KKP. Masa iya benih dari Indonesia, terus budidayanya dinegara luar. Hal ini, tambah parah bener. Penjahat semua. KPK harus segera periksa Menteri KKP.” ungkap Rusdianto Samawa, Ketua Geomaritim Partai Negoro saat di Kantor KPK, Jakarta Selatan pada Jum’at, 12 Juli 2024.

“Kami melaporkan Menteri KKP ke KPK agar bisa perjelas masalah yang di duga masuk pada gratifikasi dan korupsi. Tentu, kami sudah memberi data ke KPK, sehingga data itu ditelusuri dan dilakukan penyidikan. Wilayah gratifikasinya pada proses KKP melalui pembelian BBL kepada koperasi dan kelompok usaha bersama (KUB) nelayan penangkap BBL. Lalu, gandeng perusahaan secara rahasia untuk ekspor,” tambahnya.

Diketahui sehari sebelumnya, Partai Negoro sudah memberi peringatan keras kepada menteri KKP. Supaya jangan terjebak pada permainan Black Market yang bisa membuat dia masuk penjara. Ini game over lobster dari dulu menjebak. Polanya, simpel dan taktis dalam konspirasi Black Market ini. Sebelum bermasalah, Menteri KKP harus stop dan evaluasi aktivitas BLU gandeng perusahaan membeli maupun kumpulkan BBL,”  kata Rusdianto Samawa, Ketua Geomaritim Partai Negoro saat diskusi terbatas dikantor Partai Negoro, Pejaten Jakarta Selatan pada Kamis, 11 Juli 2024

Lebih baik, KKP perjelas saja pasal-pasal ekspor dalam Permen 7 tahun 2024. Karena, permen itu sekarang, tak ada satu pun pasal yang mengizinkan ekspor benih bening lobster (BBL). Dugaan kebijakan Peraturan Menteri Nomor 7 tahun 2024 justru memberi fasilitas kepada kelompok black market.berkedok budidaya.

“Dugaan ini, bisa mengarah ke gratifikasi dan korupsi. Karena secara teori Mercenary Corruption dalam antikorupsi itu, bahwa sumber korupsi berasal dari kebijakan yang mementingkan kelompok tertentu untuk mendapat remah – remah limpahan keuntungan yang tidak sah menurut hukum,” papar Rusdianto.

Rusdianto mengemukakan, disebut Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan fasilitas kebijakan sehingga menyebabkan adanya transaksi tidak wajar, adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima yang sama – sama peroleh keuntungan, seperti pola pembentukan, penunjukan dan/atau panitia kerja dalam kebijakan ekspor benih lobster yang melibatkan Driver Corruption (pelaku) yang bertanggung jawab memanggil, mencari, menetapkan perusahaan ekspor benih sehingga terjadilah monopoli yang menyebabkan dugaan korupsi yakni menerima janji dan pemberian royaltie (fee) dari sebuah jabatan.

Pada bagian Kesatu, kedua dan ketiga menjelaskan penangkapan BBL untuk budidaya, penelitian (riset) dan pendidikan. Tak ada satu pun pasal dalam peraturan tersebut, izinkan ekspor BBL dan izin budidaya di luar negeri.

“Ini kejanggalan yang luar biasa. Sementara diluar sana, permainan ekspor BBL berkedok budidaya di negara lain, sungguh tidak masuk akal. Mestinya, budidaya di dalam negeri. Ini sudah diluar kewajaran. Menteri KKP harus diperiksa KPK. Karena sudah hampir pasti ada perampokan, pemerasan, fee kebijakan, hingga keuntungan yang besar di dapatkan.” tegas Rusdianto Samawa yang juga Ketua Geomaritim Partai Negoro.

Berbahayanya lagi lanjutnya,  dugaan ada kerjasama dengan beberapa negara agar benih bening lobster (BBL) yang berasal dari Indonesia, di budidaya di luar negeri, sebut saja Vietnam. Alasannya, Indonesia belum mampu budidaya. Hal ini, sangat melecehkan bangsa Indonesia yang besar.

“Bagi Partai Negoro instrumen kebijakan KKP ini, salah. Mental – mental komparador kelola sumberdaya kelautan perikanan. Harus dievaluasi, monitoring dan supervisi oleh penegak hukum. Lebih fatal lagi, kalau benar adanya, budidaya di luar negeri. Hal ini yang dimaksud konspirasi black market (ekspor kedok budidaya),” ungkap Rusdianto Samawa saat memberi keterangan.

Parahnya lagi, dinas – dinas kelautan perikanan di Provinsi dan kabupaten yang berbasis Sink Population (sumber benih) memberi izin ekspor, bukan budidaya. Ini salah. Ini instrument bekerjanya penjahat black market yang merugikan negara. Kepala dinas kelautan perikanan bisa juga diseret sebagai penerima gratifikasi dan korupsi. Karena memberi izin tidak sesuai dengan dasar hukum yang berlaku.

“Dugaannya Peraturan Nomor 7 tahun 2024 diterbitkan untuk Ekspor BBL dibungkus Budidaya. Pertanyaannya “berapa miliar bibit BBL untuk budidaya, berapa luas lahan budidaya, berapa banyak pengusaha atau stakeholders yang budidaya. Ini pertanyaan – pertanyaan yang perlu dijawab oleh KKP,” ungkap Rusdianto Ketua Geomaritim Partai Negoro saat jumpa pers dikantor Partai Negoro di Pejaten Jakarta Selatan pada (Selasa, 9 Juli 2024)

Dugaan lain, diluar berlakunya regulasi pengelolaan lobster ini, Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP) membeli dan mengumpulkan Bibit Benih. Benih Lobster dari nelayan dengan sistem kuota untuk budidaya. Namun, janggal karena tak sesuai dengan kebutuhan maupun fasilitas tempat budidaya.

“Seberapa besar BLU membeli BBL untuk budidaya, ini harus jelas. Tentu kalau beli ada standar harga. Sementara informasi dilapangan, BLU beli BBL untuk di ekspor. Walaupun, alasan beli untuk budidaya,” tegas Rusdianto.

Santer informasi dilapangan bahwa para pengepul BBL mengerakkan nelayan untuk menangkap BBL dengan kuota tertentu sesuai izin yang diberikan oleh Kadis Kelautan – Perikanan di Provinsi masing – masing untuk ekspor, misalnya di NTB diberikan kepada asosiasi Nelayan dengan kuota, sementara kesiapan fasilitas budidayanya tak memadai. Lalu izin kuota BBL yang ditangkap itu perhari bisa 100ribu ekor per satu asosiasi. Apakah kebutuhan bibit budidaya bisa ditampung kalau 100ribu. Kemanakah sisa bibit tersebut?.

“Tentu, izin tersebut bukan untuk budidaya, tetapi ekspor BBL berkedok budidaya di luar negeri. Itu namanya ekspor. Bukan budidaya. Penafsiran pengeluaran (ekspor) lobster ini ada dua hal, yakni pertama, pengeluaran lobster dibolehkan sepanjang ukurannya sesuai. Kedua, pengeluaran BBL ke luar negeri (ekspor),” ungkap Rusdianto yang juga Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)

Lanjutnya, sementara Peraturan Menteri Nomor 7 tahun 2024 tidak jelas, tidak memberikan penjelasan dalam pasal apapun dibagian Kesatu, Kedua dan Ketiga tentang diperbolehkan ekspor Benih Bening Lobster (BBL).

“Ada psikologis ketakutan dalam menerbitkan aturan pengelolaan Lobster, pertama, takut dikritik masyarakat yang anggap ekspor BBL itu merugikan. Kedua, takut apabila ekspor BBL diperjelas dalam suatu pasal tertentu dalam peraturan menteri.” Ungkap Rusdianto Samawa

Pada wilayah lain, ada agenda KKP melalui BLU LPMUKP membeli kuota BBL kepada pengepul dan nelayan penangkap BBL untuk budidaya. Namun, pertanyaannya; seberapa besar kuota, tempat, kebutuhan bibit untuk budidaya. Ini perlu jawaban terbuka.

“Mengenai BLU LPMUKP membeli Bibit kepada pengepul dan nelayan itu, dana dari perusahaan mana? BLU kerjasama dengan oligarki mana ? Pasalnya, membeli memakai fasilitas uang negara atau APBN tidak boleh. Karena semua kebijakan berbasis APBN harus terbuka dengan sistem tender atau penunjukkan langsung atau ada aturan lain yang bolehkan dana APBN itu dibisniskan,” ungkap Rusdianto Samawa

“Kami juga laporkan, pengelolaan anggaran KKP sangat tidak rasional. Termasuk dalam berbagai deretan kasus dugaan penyelundupan benih lobster dan kegagalan dalam mencegah pengawasan niaga benih-benih lobster (BBL) ke luar negeri senilai Rp9,4 Miliar ke Singapura. Pada bulan Mei 2024 gagalkan penyelundupan benih lobster senilai Rp19,2 miliar. Kemana dana ini?” tanyanya.

Alokasi anggaran KKP sangat besar. Tetapi mencegah penyelundupan benih lobster saja tidak mampu, ngos-ngosan dan seperti tidak punya tenaga untuk berantas berbagai modus penyelundupan. Selain itu, penggunaan anggaran tidak transparan pada Kementerian Kelautan – Perikanan Biro Umum dan Setjen KKP untuk Program kegiatan layanan Protokoler. Angkanya sungguh fantastik sekitar Rp.5.1 miliar.

Dikemukakan bahwa, “Program dan anggaran di Biro Umum dan Setjen KKP terkesan tumpang tindih antara alokasi anggaran. Misalnya, anggaran untuk belanja bahan komputer, ada di dua program Belanja Barang Persediaan Barang Konsumsi Layanan Protokoler. Kemudian, barangkali untuk program senang – senang. Ada program yang namanya dua kali sewa Gerbong Kereta dua kali. Pertama, Sewa Gerbong VIP Kereta dengan nilai sebesar Rp. 25.000.000, dan Sewa gerbong VIP kereta istimewa dengan nilai sekitar Rp.150.728.000, Belanja Barang Operasional Layanan Protokoler sebesar Rp.858.000.000, Belanja Sewa Layanan Protokoler Rp.2.077.436.000 dan Belanja Barang Operasional Lainnya Layanan Protokoler Rp.1.326.094.000,” ungkapnya.

“KPK harus segera selidiki secara tuntas kasus dugaan tindak pidana korupsi ini, dalam kebijakan pengelolaan Lobster. Kita beri peringatan keras untuk menteri KKP, “urainya.

KPK Harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan kasus ini. KPK harus proaktif dalam kasus ini, jangan menunggu laporan masuk dari masyarakat, lanjut Rusdi.

“Apalagi kami sudah membuat laporan. Maka KPK harus turun cepat, sebelum sumber daya benih bening lobster keluar ke negara lain,” pungkasnya. (Yoss)