Sukidi Kawan Mukidi
Cerpen
Eko S Dananjaya
Masyarakat desa Istana Murka, merasa punya hutang budi pada pak lurah Mukidi. Karena pak Mukidi orangnya suka membantu warga. “hidupnya merakyat dan dekat pada masyarakat kecil”. Di desa Istana Murka, sosok Mukidi dijadikan simbul orang kecil. Mukidi memiliki pengaruh besar pada pedagang kaki lima, petani, buruh, tukang sayur, buruh bangunan, satpam. Namanya sangat tersohor sampai terdengar ke kampung tetangga. Mukidi yang kini lurah Istana Murka sedemikian terkenal dan viral karena didukung dan di framing ibu Ega. Ibu Ega adalah orang kaya lama. Jauh sebelum Mukidi jadi kepala desa, Ibu Ega sudah memiliki beberapa usaha. Karyawannya cukup banyak. Selain itu, Orang tua Ibu Ega juga orang berpengaruh. Bapaknya adalah lurah pertama yang mendirikan tugu prasasti desa. Ibu Ega adalah orang yang suka menolong dan membantu wong cilik. Atas kebaikan ibu Ega, Mukidi yang dulunya hanya sebagai tukang pengepul kayu, kini bisa jadi lurah. Itu semua tidak lepas dari jasa Ibu Ega.
Semula tidak dapat dibayangkan. Hidup Mukidi bisa berubah dan menjadi gantungan hidup banyak orang. “kata mas Jarot, kawan ibu Ega”, jika ingat Riwayat hidup mukidi, dari masa kecil hingga dewasa, seperti tidak ada harapan. Untung bertemu dengan pak Uhud dan ibu Ega. Itulah yang Namanya nasib. Tak seorangpun yang bisa memprediksi kapan seseorang dapat berubah nasibnya. Pak ustad bilang, “ Hidup kita ini, percaya saja dan pasrahkan pada Gusti Allah”. Barangkali itulah nasib Mukidi, dia nrimo ing pandum, sehingga mendapat pulung wahyu keprabon yang tidak semua orang bisa dapatkan. Padahal, Ibu Ega itu orangnya sulit-sulit gampang. Tidak mudah di rayu, apalagi dibujuk oleh para karyawannya. Malah kadang, pekerjanya takut jika mau bicara atau usul tentang kenaikan posisi jabatan. Sebab ibu Ega dikenal sebagai orang yang keras kepala. Orang Jawa bilang, “mbeguguk nguto waton”. Tapi entah kenapa, Ibu Ega selalu tampak sayang pada sosok Mukidi yang tampilannya sangat sederhana itu? Bisa jadi karena Mukidi selalu terlihat patuh di depan Ibu Ega. Disuruh apa saja Mukidi oke oke saja. Kesan mendalam itu rupanya menjadi faktor daya tarik sendiri pada Ibu. Pastinya Ibu senang jika dihormati oleh orang yang patuh dan nurut. Apalagi Mukidi terlihat santun, polos, tampang lugu dan tidak neko-neko.
“Ini tipe orang yang saya cari sejak dulu,” tandas Ibu Ega. “Udah jelas orangnya tidak banyak cakap, suka bekerja dan tidak senang pamer.” Bahkan perlakuan Ibu Ega kepada Mukidi, kadang menjadi kecemburuan sekretarisnya. Sekretaris Ibu Ega yang sudah puluhan tahun bekerja di perusahannya itu tidak pernah sekalipun diperlakukan istimewa seperti Mukidi. Kadang muncul rasa iri. Ada dua sekretaris Ibu Ega yang senantiasa setia menemani. Yakni mas Hanung dan mas Kris. Hanung dan Kris adalah sekretaris yang mampu memajukan perusahannya. Bahkan, peruasahaan Ibu Ega yang sudah terdaftar di bursa saham, sempat pernah melampaui capaian target di atas rata-rata. Mendapat keuntungan besar bahkan menambah karyawan. Dua sekretaris ini sangat loyal secara lahir batin membantu Ibu dengan tulus. Ketika perusahaan Ibu Ega mengalami surut dan hampir bangkrut, dua sekretaris inilah yang menyelamatkan. Baru-baru ini sekretaris Ibu Ega yang Namanya mas Hanung malah akan di promosikan menjadi calon camat di kampung falatehan. Kampung falatehan ini sangat strategis untuk dikuasai, karena banyak industri rumahan dan tempat transaksi bisnis yang menggiurkan. Kampung yang terletak tak jauh dari Muara Priuk ini mempunyai pelabuhan besar yakni Sunda Kalapa. Banyak orang datang dan mukim di kampung falatehan semata untuk mencari penghidupan. Akhir-akhir ini, suasana kampung falatehan agak panas situasinya. Kampung falatehan selalu menjadi rebutan masyarakat pendatang. Bahkan, orang-orang kampung asli Falatehan kadang dipinggirkan. Ketidakadilan ini sering muncul karena kesetaraan yang dibangun oleh komunitas pak camat masa lalu tidak sebanding dengan hak kepemilikan asli orang pribumi Falatehan. Kasihan emang dan kejam. Tapi ada yang menarik pada mas Hanung, bahwa dirinya sebenarnya tidak ingin maju menjadi calon camat. Tapi atas desakan Ibu Ega dan Mukidi, mas Hanung tak bisa menolak.
Dalam hal ini, baik Ibu Ega maupun pak lurah Mukidi punya kepentingan bersama. Yakni sama-sama menghalau pak Manis supaya tidak dapat mencalonkan menjadi camat. Ibu Ega merasa bahwa pak Manis bukan berasal dari kampung Istana Murka. Selain itu Ibu Ega ingin warga Istana Murka dapat mewakili pemimpin di Fatahilah. Oleh sebab itu Ibu Ega mati-matian dan bejkeras kepala memajukan mas Hanung agar terpilih menjadi camat nantinya. Tampaknya sekarang, Ibu Ega ada perhatian lebih pada mas Hanung seperti halnya Ibu Ega perhatian pada pak lurah Mukidi. Harapan karyawan, semoga Ibu Ega tetap istiqomah kepada orang-orang dekatnya. Tidak goyah dan tetap punya pendirian mendukung perhelatan perebutan jabatan camat di Falatehan. Walau sesungguhnya Ibu Ega dan pak lurah Mukidi sedikit terbersit saling bersaing pamor dan mungkin malah saling tikam karena belum tau sosok mas Hanung ini akan cenderung berpihak pada siapa?
Walau kelihatan hubungan komunikasi Ibu Ega dengan Mukidi agak meriang. Tapi dalam kenyataannya, entah pengaruh apa. Setelah Ibu Ega menjalin komunikasi intens dengan Mukidi, semua berubah. Sikap Ibu Ega tampak ada sedikit pergeseran pada karyawan. Kini karyawan dibuatnya bingung, tidak paham mengapa Mukidi yang selalu di sanjung, diperhatikan. Padahal pertemuan Ibu dengan Mukidi boleh dikata baru sepuluh tahun berjalan. Tapi perhatiannya sangat besar dibanding pada karyawan yang sudah dua puluh lima tahun mengabdi di perusahaan itu. Ibu Ega tampak seperti kesengsem kepada kepala desa yang terkenal merakyat itu.
Ini kisah awal sekaligus akhir dimana pertemuan kali pertama antara pak lurah Mukidi dengan ibu Ega. Hubungan itu kemudian meluas ketika ibu Ega bertemu dengan pak Uhud. Sebelumnya hubungan pak Uhud dengan ibu Ega biasa saja, tak ada yang istimewa. Tapi akhir-akhir ini, intensitas pertemuan pak Uhud dengan Ibu Ega rutin. Karena ibu Ega berkepentingan menjalin bisnis dengan pak Uhud. Harapan Ibu Ega agar pabriknya dapat pasokan bahan bakar minyak. Perusahaan Ibu Ega sangat tergantung pada pasokan BBM pertamina dari pak Uhud. Ibu Ega memiliki perusahaan yang bergerak pada ekspor pasir laut di perbatasan Batam Singapura. Yang mana mesin-mesin pengolahannya banyak membutuhkan BBM. Dari sinilah Ibu Ega tau kalau Mukidi rupanya juga sudah cukup lama menjalin pertemanan dan mengenal pak Uhud. Hubungan Mukidi dengan pak Uhud tidak sekedar mitra bisnis. Tapi laiknya majikan dengan pembantu. Mengapa demikian? Karena pak Uhud selain komandan keamanan [satpam} kantor kabupaten juga seorang pebisnis sukses. Bisnis yang digeluti pak Uhud tak jauh dari tambang, seperti minyak, batu bara, hasil hutan, pasir kuarsa. Walau pak Uhud saudagar kaya, tapi kepribadiannya sangat elegan. Sehingga mengundang banyak simpati orang. Salah satu nya adalah Mukidi, orang yang tekun mengumpulkan kayu bekas untuk dibuat handycraft.
Cerita tentang kisah perkenalan pak Uhud dengan Mukidi. Pak Uhud hampir tidak percaya kalau dia sekarang ini adalah lurah Istana Murka. Pasalnya, ketika kali pertama bertemu, tampilan Mukidi sama sekali tidak seperti sekarang ini. Dulu, Mukidi penampilannya terkesan sangat ndeso, pakaian lusuh dan tidak banyak cakap. Rambutnya gondrong, tidak rapi, kurus dan mata nanar. Sekarang setelah bertemu kembali, tampak sudah banyak perubahan. Rambut klimis, minyak wangi dan setelan pakaian putih item. Sungguh sangat serasi dan rapi kamu Muk, “ ujar pak Uhud”. Orang-orang desa memanggilnya Mukidi, pendek kata, Muk. Padahal setahu pak Uhud, dulu dia panggilannya mas Dodok. Tapi sekarang pak Uhud jadi sedikit ragu dibuatnya. “Kenapa panggilannya jadi Mukidi ?” Sejak kapan nama Dodok diganti dengan nama Mukidi ? Emang sih, Mukidi adalah kepala desa yang fenomenal. Oleh sebab itu, atas ketenarannya itu, sampai dua kali terpilih menjadi kepala desa. Oleh pak Rois, yang kini kepala sekolah Budi Kamulyan, nama Mukidi diperkenalkan olehnya kepada orang tua murid yang kebetulan berkumpul di aula sekolahan. Pak Rois sedang brifing orang tua murid karena akan ada kegiatan kemah bersama. Yang mana akan melibatkan pak lurah Mukidi sebagai pembina. Perlu diketahui, bahwa Mukidi dulu muridnya pak Rois ketika menjadi siswa di sekolah Budi Kamulyan. Sehingga nama Mukidi viral dan langsung dikenal. Ada orang tua murid yang tanya pada pak Rois,” kenapa pak Rois tidak panggil itu orang dengan panggilan Dodok saja” ? itu kan nama kecilnya? celetuk salah satu orang tua murid.
Katanya sih, “lebih seksi, greget dan terkesan natural”. Kata pak rois. Sesuai dengan postur dan kultur. Itu sebab, sejak hubungan antara pak Rais dengan Pak lurah retak, Masing-masing mengambil jalan sendiri. Perseteruan pak Rois dengan Mukidi terdengar di masyarakat. Wargapun akhirnya terpecah karena perseteruan itu ternyata semakin runcing. Perseteruan pak Rois dengan Mukidi disebabkan karena pak Rois sering di janjiin proyek pembangunan sekolahan. Tapi semua itu hanya janji alias nihil. Mungkin pak Rois sering di Prank oleh Mukidi. Banyak janji yang di iming-iming kan pada pak Rois, sehingga pak Rois murka. Sebagai orang terdidik dan memiliki sekolah tinggi, terhipnotis dan termakan janji_janji . Emang sih, banyak orang jika bertemu Mukidi gampang begitu percaya. Apa yang diomongkan Mukidi seolah-olah benar, Haqqul yakin. Ternyata semua itu isapan jempol. Nyatanya pak Rois yang sudah sepuh dan intelekpun masih bisa termakan janjinya. Dengan demikian, jika pak Rois sedang ceramah, mengajar di kelas atau sedang mengisi pengajian di sekolahan. Pak Rois lebih sering menyebut menggunakan nama Mukidi ketimbang nama masa kecilnya. Dalih pak Rais kepada masyarakat, kenapa lebih senang memanggil pakai nama Mukidi daripada pakai nama Dodo? ia menjelaskan bahwa muka dan perawakan Mukidi seperti lidi. Kurus, krempeng dan punya tubuh tinggi. Kalau jalan gontai dan semampai.
Mukidi memang sangat popular, terutama dikalangan masyarakat kecil. Sepuluh tahun silam, Mukidi sering keliling menyambangi warganya. Membagi beras, uang dan kaos. Hobinya masuk gang-gang sempit, pasar atau bertatap muka dengan petani di tengah sawah. Bagaimana tidak disenangi warganya? Selain senang menyapa warganya, Mukidi juga dipercaya dapat mengayomi serta mensejahterakan orang sedesa. Dia menyambangi para petani, membagi bibit tanaman. Tapi dibalik kerja sosialnya, Mukidi menyiapkan beberapa team untuk mengundang wartawan dan juru kamera. Wartawan akan diminta mempublikasi kerja-kerja Mukidi. Mukidi yang punya hobi selfie, senang manakala gambar dan beritanya tayang di media sosial dan televisi. Mukidi akan senang kalau sedang bertemu petani di sawah. Mukidi akan memanggil ajudanya yang bernama si Moel agar wartawan segera mengabadikan dan ceprat cepret mengambil foto. Itulah kerja pak lurah Mukidi yang saban hari keliling desa sambil selfie-selfie. Setelah itu gambarnya viral di beberapa koran desa dan kecamatan. Memang team pak Mukidi sejak mencalonkan kepala desa sudah cekatan. Even penting dan layak untuk dijadikan framing, maka terus akan diunggah dan dijadikan berita kes+ibukan kepala desa. Sehingga dengan berita tersebut banyak orang terkesima atas penampilan yang sederhana dan sama sekali tidak menunjukkan kesombongan.
Menurut info dari kampung sebelah. Kalau saja ada warga yang sedang memperbaiki gorong- gorong atau kerja bakti, seperti missal warga sedang ngecor jalan kampung. Mukidi menyempatkan datang. Dengan membawa wartawan, kemudian ceprat-cepret masuk media sosial. Ada yang menginformasikan dari orang terdekat pak lurah. Bahwa pak lurah sebenarnya hanya bayar wartawan buat mengekspos dirinya, sehingga masyarakat se kabupaten mengenalnya. Itulah yang dilakukan oleh Mukidi ketika jadi kepala desa. Modal Mukidi hanya hadir di tempat- tempat kerja bakti. Tidak pernah sekalipun menawarkan bantuan berbentuk dana atau semen. Kelebihan Mukidi adalah memberikan janji-janji palsu dan memberi harapan warga menjadi sejahtera. Awalnya masyarakat tidak menduga kalua pak lurah kerjanya hanya mengklaim kerjaan orang. Dengan bermain di medsos, pekerjaan orang seakan menjadi karyanya.
Prasangka itu berbuah kebenaran. Ketika ada sahabat karib Mukidi pulang dari Amerika. Dia Bernama Sukidi, orang terpandai di desa Itsana Murka. Sukidi adalah teman Sekolah Dasar Mukidi. Dulu sebelum Mukidi jadi lurah, berdua ini sering runtang runtung bermain kemana mereka suka. Tapi setelah remaja mereka berpisah. Sukidi rupanya bekerja sambil melanjutkan kuliah, hingga dia mendapat bea siswa ke Amerika. Sebuah kebanggaan bagi Sukidi. Satu-satunya anak desa Istana Murka yang belajar sampai ke Amerka.
Sampailah pada suatu cerita. Sukidi mendengar bahwa Mukidi menjadi orang yang sangat dikenal di berbagai kalangan. Ketika hari raya tiba, Sukidi pulang ke kampung halaman. Tak sengaja saat mengikuti ibadah Sholat Idhul Fitri di lapangan kecamatan. Sukidi bertemu dengan Mukidi. Selepas ibadah banyak jamaah berkerumun minta salaman dan foto bersama pak lurah Mukidi. Begitu terkenalnya Mukidi di masyarakat. Karena Mukidi memang orang yang tidak berbelit-belit membantu masyarakat dalam bentuk sumbangan sembako maupun pupuk pertanian. Walau sebenarnya itu uang bantuan kementrian desa. Tapi dipakai untuk pencitraan diri agar masyarakat selalu ingat atas jasa kebaikannya. Tapi tidak bagi Sukidi. Karena ia orang pandai dan intelek, dia hanya menunggu sambal berdiri di samping Mukidi. Setelah dilihatnya sepi, baru Sukidi bercakap dengan Mukidi. Sukidi bertanya pada pak lurah. Sejak kapan pak lurah dipanggil Mukidi? Padahal Sukidi tahu bahwa nama asli pak lurah adalah Dodok. Dengan wajah tenang Mukidi menjelaskan. Bahwa dirinya dipanggil dengan sebutan Mukidi berawal gara-gara pak Rois. Pak Rois selaku guru kadang memberikan ceramah di sekolahan dengan menyebut dirinya pak lurah Mukidi. Padahal, pak lurah sadar bahwa nama dirinya bukan Mukidi. Yang benar adalah Dodok. Tapi menurut orang tua, masa kecilnya emang namanya Mulyono. Karena waktu balita suka sakit step dan suka ngigau, ngelantur. Oleh orang tuanya nama Mulyono di ganti menjadi Dodok.
“Ehh… sekarang malah ada lagi yang ungkit-ungkit pakai panggilan nama Mulyono segala. Ini gara-gara kamu pulang dari Amerika terus panggil aku dengan nama Mulyono,” pungkas pak lurah Mukidi sambil meninggalkan Sukidi tanpa pamit. “Duhh Gusti,” celetuk ajudan pak lurah Mukidi. Kok jadi begini misteri.
*) Penulis adalah Aktivis Mahasiswa 80-an
Ketua Lembaga kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta.