Ilustrasi | WAW
Ilustrasi | WAW

Asal Tahu Cara Masuknya

Cerpen
WA Wicaksono
Di sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, rakyatnya hidup penuh optimisme. Setidaknya begitulah yang selalu diwartakan di media—kecuali kalau tiba-tiba sinyal hilang dan kenyataan perlahan menampakkan diri. Negeri itu dipimpin oleh seorang presiden bernama Mukidi, sosok yang selalu tersenyum dalam setiap konferensi pers. Mukidi terkenal bukan hanya karena kepiawaiannya bicara, tapi juga bakatnya mengelak setiap pertanyaan sulit.
“Hari ini, kita telah membuka jutaan lapangan pekerjaan baru!” seru Mukidi di televisi sambil melambaikan tangan kepada kamera. Wajahnya semringah, penuh percaya diri.
Sementara di warung kopi pinggir jalan, Pak Somad, seorang buruh yang baru saja di-PHK, menghela napas panjang. Ia mendengarkan berita sambil menggigit tempe goreng yang makin hari makin tipis.
“Jutaan lapangan kerja, kata dia… Tapi kok gua masih di sini nganggur? Nungguin panggilan kerja kayak nungguin hujan di musim kemarau!” gerutu Pak Somad.
Di sebelahnya, Marni, tetangganya yang dulu seorang pedagang pasar, hanya tersenyum getir. “Somad, mungkin lapangan pekerjaan itu ada di planet lain. Siapa tahu kita yang nggak diajak migrasi ke sana.”
Mereka berdua tertawa, meskipun itu adalah tawa getir yang lebih terasa seperti isak kecil. Kabar tentang lapangan pekerjaan itu memang sudah jadi lelucon sehari-hari di kalangan masyarakat. Dari yang dulunya kelas menengah, banyak yang akhirnya harus menyatu dengan kemiskinan, seperti Marni yang terpaksa menutup kios kecilnya karena daya beli yang ambruk.
Namun, di balik berita-berita optimis itu, Mukidi memiliki pekerjaan yang jauh lebih penting dari sekadar urusan rakyat. Di istana, di ruang keluarga yang mewah, Mukidi tengah berunding dengan anaknya, Samsul.
“Bapak, udah nggak ada lagi lowongan yang layak buat aku nih. Kemarin bapak bilang lapangan kerja terbuka luas, tapi lamaranku ditolak terus,” kata Samsul sambil menyeruput kopi dari cangkir emas.
Mukidi mengernyitkan dahi. “Ah, Samsul. Kamu ini terlalu fokus sama yang kecil-kecil. Bapak bilang lapangan kerja terbuka lebar, tapi bukan buat kamu jadi karyawan biasa. Kamu ini anak presiden, masa jadi buruh?”
Samsul menatap bapaknya dengan bingung. “Terus, bapak maunya aku jadi apa?”
Mukidi menepuk bahu Samsul dengan bijak. “Calon Wakil Presiden, Samsul. Itu adalah posisi yang cocok buat kamu.”
“Wah, kalau jadi cawapres aku nggak perlu tes psikologi, ya?” tanya Samsul polos.
Mukidi tertawa, terbahak-bahak, sampai tubuhnya sedikit terguncang. “Nggak perlu! Yang penting kamu anak bapak!”
Samsul mengangguk-angguk, paham. Ternyata memang ada beberapa pintu yang hanya bisa dibuka kalau kamu punya kunci khusus: hubungan keluarga.
Sementara itu, di ruangan lain, adik Mukidi, Si Fufufafa, sedang menunggu giliran.
“Mukidi, kapan nih giliran aku jadi gubernur? Aku udah lama nggak dapat kerjaan,” keluh Fufufafa.
Mukidi menoleh dan tersenyum, seperti biasa. “Sabar, Fafa. Biar rakyat lihat dulu keberhasilan Samsul. Setelah itu, kita jadikan kamu gubernur.”
“Gubernur ya, jangan cuma walikota lagi. Bosen!” tuntut Fufufafa, menegaskan posisinya.
Mukidi, sambil mengangguk-angguk, memberikan janji yang sama seperti yang selalu dia berikan kepada rakyatnya. “Tentu, tentu. Gubernur adalah hak kamu, Fafa. Nggak ada yang lebih pantas.”
Tak jauh dari situ, Bibo, menantu Mukidi, juga menunggu giliran. Ia sedang menyusun berkas-berkas untuk persiapan pencalonan dirinya sebagai walikota.
Mukidi menghampirinya, “Bibo, kamu kan sudah jadi walikota. Sekarang kita usahakan naik jadi gubernur. Biar kita sekeluarga komplit, dari pusat sampai daerah!”
Bibo tersenyum lebar, “Wah, hebat sekali, Bapak! Ini baru yang namanya lapangan kerja terbuka lebar!”
“Lah iya, lebar! Asal kamu tahu cara masuknya,” kata Mukidi sambil mengedipkan mata.
Di luar istana, keadaan rakyat masih tetap sama. Mereka terus mencari lowongan pekerjaan yang tak kunjung datang, sementara angka pengangguran terus melonjak. Ironi ini semakin nyata setiap kali Mukidi muncul di layar kaca dengan senyum lebarnya, mengumumkan kesuksesan pemerintahannya dalam membuka jutaan lapangan kerja.
Pak Somad, yang tak pernah absen menonton berita di warung kopi, menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau yang nganggur itu keluarga Mukidi, langsung dapet kerjaan. Kalau kita, suruh sabar, disuruh cari peluang, padahal peluangnya itu entah di mana.”
Marni, yang duduk di sebelahnya, menimpali sambil tertawa. “Mungkin kita yang kurang koneksi, Mad. Nggak punya bapak presiden!”
“Benar juga. Kayaknya harus cari bapak angkat nih,” jawab Somad dengan canda, meski pahit rasanya.
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan suara berita di TV memenuhi warung. Mukidi kembali muncul dengan senyum yang tak pudar.
“Tenang, rakyatku. Kami akan terus membuka lapangan kerja. Jangan menyerah!” katanya penuh semangat.
Somad menarik napas dalam-dalam, lalu membisikkan sesuatu yang hanya didengar oleh dirinya sendiri, “Iya, Pak. Lapangan kerjanya ada, cuma sayangnya, lapangannya buat main bola politik doang.”
Dan sekali lagi, rakyat hanya bisa menunggu, sambil berharap suatu hari nanti, lowongan pekerjaan akan benar-benar terbuka, bukan hanya untuk keluarga Mukidi, tapi untuk semua.