Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Dipalak Pajak

Cerpen
WA Wicaksono
Mulyono duduk termangu di teras rumahnya yang kecil dan bersahaja. Di hadapannya, secangkir kopi hitam mengepul samar, mengirimkan aroma pahit yang mendamaikan. Di kejauhan, jalan raya yang beraspal mulus melintang seperti ular raksasa, namun di pinggirannya, kehidupan kecil-kecilan rakyat berserakan tanpa perhatian. Tukang tambal ban, warung kelontong, dan sopir ojek online—mereka bekerja di atas tanah yang katanya telah terberkati oleh pembangunan infrastruktur negara.
Mulyono mengerutkan keningnya, menggigit bibirnya pelan, mengingat kembali kata-kata sang pejabat di televisi beberapa hari lalu: “Pembangunan infrastruktur adalah bagian dari transformasi besar bangsa ini!” Lalu pejabat itu menambahkan dengan gagah, seolah surga akan turun ke bumi setelah jalan tol dibuka. Mulyono tak bisa menahan senyum tipis yang pahit. Transformasi besar itu, baginya, adalah bentuk ironi yang megah.
“Tapi, kenapa ya, Le,” kata Mulyono suatu hari pada anaknya, Budi, “jalan-jalan itu dibilang punya negara, tapi aku kok harus bayar tiap kali lewat?”
Budi, yang sedang menggambar masa depan impian yang tak kunjung tiba, hanya mengangkat bahu. “Itu mungkin infrastruktur premium, Pak. Kalau kita nggak mau bayar, ya jalan kaki aja,” jawabnya, setengah bercanda. Mulyono tertawa kecil, tapi hatinya sedikit perih. Infrastruktur premium? Apakah kini hidup rakyat harus dibedakan antara yang mampu membayar dan yang tidak?
Sebulan terakhir, desas-desus tentang pembangunan ibu kota baru juga meresahkan Mulyono. Sebuah kota yang katanya akan menjadi simbol kemajuan bangsa, lengkap dengan gedung-gedung canggih dan jalan-jalan lebar. Namun, di sini, di kampung kecil Mulyono, orang-orang masih berdebat apakah nasi padang lebih enak dengan rendang atau ayam pop. Bagi mereka, ibu kota baru hanyalah bayangan jauh yang terbungkus utang luar negeri—sebuah utang yang, entah bagaimana, pasti akan jatuh ke pundak mereka juga.
“Bu, Ibu dengar nggak, ibu kota baru katanya mau jadi canggih,” kata Mulyono pada istrinya, Lastri, yang sedang menanak nasi di dapur.
Lastri hanya menggeleng, sambil mencicipi bumbu. “Canggih apanya? Lha wong kita di sini listrik sering byar-pet, air aja ngalirnya kadang-kadang. Apa kita pindah ke sana aja, biar kebagian canggihnya?”
Mulyono terkekeh. “Mungkin kita disuruh nunggu, Bu. Negara ini suka ngasih janji kayak gitu, yang harus kita tunggu sampai uban kita jadi perak.”
Lastri melempar pandangan skeptis, namun kembali tenggelam dalam kesibukan dapurnya.
Sore itu, setelah maghrib, datanglah kabar yang selalu ditakuti. Surat cinta dari negara. Amplop cokelat dengan tulisan “Pemberitahuan Pajak” besar-besar di sampulnya, seakan-akan itu adalah undangan pernikahan massal. Sungguh, negara tak pernah lupa pada anak-anaknya.
Mulyono membuka amplop itu perlahan, seperti membuka pintu rumah yang sudah lama tak disentuh. Di dalamnya, sederet angka dan perintah membayar pajak meluncur keluar, seperti hujan deras yang datang tiba-tiba. Pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, bahkan pajak untuk motor butut yang sering mogok itu. Mulyono mengusap wajahnya, menghela napas panjang.
“Pak, ini pajak apa lagi?” tanya Lastri dari dapur, masih sibuk dengan masakan.
“Ah, ini, Bu,” jawab Mulyono, melambaikan surat itu di udara, “pajak atas keberhasilan kita bertahan hidup. Negara senang sekali kalau kita bisa bertahan.”
Lastri hanya melirik, tersenyum simpul, “Ya, bersyukurlah kita masih bisa bayar pajak. Artinya kita masih ada, Pak. Kalau nggak bayar, ya kita habis.”
Mulyono tertawa getir. “Iya, Bu. Setelah semua pembangunan ini, apa yang rakyat kecil dapat? Pajak. Kalau ada pekerjaan, bayar pajak. Kalau mau naik jalan tol, bayar pajak. Bahkan mau punya tanah, motor butut, bayar lagi. Tapi kalau kita susah, yang datang duluan justru negara. Menagih dengan penuh cinta.”
Di luar, langit mulai gelap, dan jalan raya tetap ramai dengan mobil-mobil yang melaju cepat, kebanyakan milik mereka yang bisa membayar infrastruktur premium itu. Mulyono menatap jalan itu dengan pandangan kosong, lalu berbisik pelan, “Kalau negara ini memang membangun, entah untuk siapa. Yang jelas, pajak tak pernah berhenti menuntut kita ikut bergembira.”
Kopi di hadapannya sudah mendingin, tapi senyum Mulyono terus bertahan, seperti seorang aktor dalam sandiwara yang penuh ironi. (*)