Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Harga Beras di Indonesia Termahal se-Asean

Cerpen
WA Wicaksono
Di sebuah desa yang subur, hiduplah seorang petani tua bernama Pak Darmo. Setiap hari ia merawat padi-padi di sawahnya dengan telaten, berharap panennya tahun ini bisa membahagiakan keluarganya. Ia sudah biasa hidup pas-pasan, tapi setidaknya ia selalu punya harapan. Beras yang ia tanam selalu jadi makanan utama di mejanya, meski di meja orang lain, ia tak pernah tahu.
Suatu pagi, di bawah terik matahari yang mulai membakar tanah, Pak Darmo duduk bersila di gubuk kecil di tepi sawahnya. Tangan kasarnya mengusap peluh yang jatuh di dahinya. Di sebelahnya, Pak Karman, teman sehidup sematinya dalam bertani, duduk mengisap rokok linting. “Berita hari ini bilang, Bank Dunia sentil Presiden sebab harga beras kita paling mahal se-ASEAN lho Pak,” ujar Pak Karman tiba-tiba, sembari menghembuskan asap.
Pak Darmo tertawa kecut, seperti mendengar lelucon yang tak lucu. “Harga mahal? Tapi, kenapa kita masih susah, ya? Katanya beras kita mahal, tapi kok pas saya jual, nggak ada yang mau beli? Kalau laku pun, harganya kayak harga pisang goreng, bukan beras.”
“Ah, ya itu dia, Pak. Katanya sih, beras impor lebih bagus, lebih putih, lebih cantik dilihat,” sahut Pak Karman sambil tersenyum getir. “Makanya, kita kalah saing sama beras-beras luar. Tapi yang bikin ngakak, Pak, yang beli beras impor itu ya negara kita sendiri. Uangnya dari mana? Dari pajak rakyat. Dari kita-kita juga.”
Pak Darmo menggelengkan kepala, seperti ingin menyingkirkan rasa pahit yang mulai menumpuk di lidahnya. “Jadi, pemerintah beli beras dari luar negeri pakai uang rakyat, buat dijual lagi ke rakyat dengan harga mahal? Luar biasa!”
“Apa lagi? Presiden katanya bilang jangan impor. Tapi beras impor mengalir deras, lebih lancar dari hujan di musim kemarau,” ujar Pak Karman, kali ini tertawa sumbang.
Pak Darmo menatap hamparan sawahnya yang hijau, seolah mencari jawaban di antara bulir-bulir padi yang belum siap dipanen. “Kalau pemerintah beli beras dari kita, langsung dari petani, nggak ada yang namanya ucapan terima kasih itu, ya, Pak?”
“Betul sekali, Pak. Kalau dari kita, cuma dapat beras, nggak dapat tip. Kalau beli dari impor, dapat beras, dapat uang saku, dapat amplop tebal. Ya begitulah nasib kita, selalu kalah sama amplop.”
Keduanya terdiam. Hanya suara angin yang berbisik di antara batang-batang padi, seolah ikut bersedih.
“Lucu ya, Pak. Beras kita nggak laku, padahal kita yang menanamnya. Kita yang berkeringat di bawah matahari, tapi yang kaya mereka yang duduk nyaman di gedung tinggi, sambil menikmati amplop tebal,” Pak Darmo berseloroh. “Tapi ya mau gimana lagi? Mungkin ini takdir petani. Sengsara di tanah sendiri.”
“Tidak tahu ya, Pak. Apa kita salah, atau mereka yang salah? Tapi satu yang pasti, kita yang bayar pajak, kita yang tanam padi, kita yang disuruh makan beras mahal dari luar negeri. Ironi yang terlalu indah untuk ditertawakan.”
Pak Karman dan Pak Darmo tertawa bersama. Namun, tawa itu hambar, lebih mirip tangisan yang tak ingin keluar. Di bawah langit yang biru, di tengah sawah yang menghijau, para petani tetap bekerja. Bukan untuk kekayaan, bukan untuk kemewahan, tapi hanya untuk bertahan.
Seperti padi yang tunduk karena berat isinya, mereka tetap rendah hati, meski di atas kepala mereka, oligarki menari-nari dengan anggun, menebarkan uang dari hasil impor beras yang tak pernah mereka tanam. (*)