ilustrasi AI | WAW
ilustrasi AI | WAW

Tunjangan Perumahan DPR:
Setidaknya Biarlah Wakil Rakyat yang Merasakan Sejahtera

Cerpen
WA Wicaksono
Pagi yang cerah, Gedung Parlemen yang megah berdiri kokoh di pusat ibu kota, memantulkan kilauan mentari yang tampak bersekutu dengan kilau keanggunan bangunan. Di dalam gedung itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru dilantik tengah mengadakan rapat pleno pertama mereka. Hari itu berbeda dari biasanya—tak ada pembahasan anggaran, tak ada pula pertengkaran soal peraturan yang tak jelas asal-usulnya. Mereka berkumpul untuk merayakan sebuah keputusan yang, bagi mereka, adalah puncak pencapaian.
“Saya ingin mengumumkan, mulai periode ini, rumah dinas tidak lagi menjadi hak bagi anggota Dewan,” ucap Ketua DPR dengan suara tenang tapi mantap. Terdengar gumaman dan tatapan heran dari beberapa anggota, tapi Ketua Dewan melanjutkan dengan senyum lebar, “Sebagai gantinya, kita akan menerima tunjangan perumahan sebesar… ya, anggaplah cukup untuk membeli rumah mewah!”
Tawa riuh memenuhi ruang sidang. Tawa yang terdengar seperti kilatan petir di tengah keringat rakyat yang bercucuran di luar sana.
Di sudut ruang, Pak Wagu, anggota Dewan yang baru saja dilantik, merapikan dasinya. Dia baru beberapa bulan lalu meninggalkan kampung halamannya, sebuah desa kecil yang terletak di pinggir kota. Ketika dia duduk di sini sekarang, dengan segelas kopi mahal di tangan, dia bertanya-tanya bagaimana nasib rekan-rekannya di kampung, mereka yang masih bergulat dengan gaji yang tak pernah cukup, rumah yang bocor tiap hujan, dan harga kebutuhan pokok yang melonjak. “Mungkin mereka juga akan senang mendengar ini,” gumamnya dalam hati, sambil memikirkan tunjangan perumahannya yang berlipat-lipat dari gaji petani di desanya selama bertahun-tahun.
Namun, sejenak bayangan itu sirna. Ia merasa tertarik pada angka yang dibacakan Ketua Dewan, jumlah fantastis yang dijanjikan. Angka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ah, siapa yang tak ingin hidup layak?
Di luar gedung megah itu, berita tentang tunjangan perumahan yang luar biasa telah tersebar seperti api di tengah musim kemarau. Rakyat terhenyak, marah, tapi sebagian besar hanya bisa pasrah. “Wakil kita memang harus hidup lebih layak dari kita, bukan? Mereka mewakili kita, termasuk kebahagiaan kita yang hilang,” kata seorang pegawai negeri dengan nada getir. Dia baru saja menerima pemberitahuan bahwa gajinya akan dipotong untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), sebuah program yang katanya ditujukan untuk membantunya memiliki rumah dalam tiga puluh tahun ke depan—jika ia cukup beruntung bertahan hidup.
Rapat di gedung parlemen terus berlangsung dengan suasana yang semakin riang. “Dengan tunjangan ini, kita bisa membeli rumah di kawasan elit, tak perlu lagi tinggal di rumah dinas yang kadang tak sesuai dengan standar kita sebagai wakil rakyat,” ujar salah seorang anggota Dewan dengan tawa nyaring. “Kita kan harus fokus bekerja demi kepentingan rakyat, bukan?”
Namun, di sudut ruangan yang sama, Pak Wagu masih terdiam, senyumnya tak setulus anggota Dewan lain. Ia memikirkan jalan-jalan di kotanya yang penuh kemacetan. Para pengemudi ojek yang berjuang seharian untuk mengumpulkan uang sewa kontrakan. Anak-anak yang bermain di antara sampah di pinggiran sungai. “Bagaimana kita bisa benar-benar mewakili mereka jika kita tak pernah lagi merasakan susahnya hidup sebagai rakyat?” pikirnya, dengan sedikit perasaan bersalah yang mulai merayap.
Tapi apa daya? Sistem sudah berjalan, dan ia tak mungkin sendirian melawan arus tunjangan mewah ini.
Di luar gedung, seorang tukang becak menyeka keringatnya saat melihat gedung parlemen dari jauh. “Mungkin memang beginilah caranya. Kalau kita tak bisa bahagia, setidaknya biarkan wakil kita yang merasakannya. Bukankah begitu katanya? Mereka wakil rakyat, jadi mereka mewakili juga kebahagiaan kita yang terampas,” katanya sambil tertawa lirih, penuh ironi.
Sementara itu, Ketua Dewan menutup rapat dengan kata-kata yang terdengar seperti angin segar bagi para anggotanya, “Kita, para wakil rakyat, bertugas memastikan kesejahteraan bangsa. Dan dengan kesejahteraan kita terjamin, kita bisa bekerja dengan lebih baik lagi!”
Tawa kembali bergema di ruangan itu.
Di luar, rakyat tertunduk, berjalan melawan arus kemacetan, pulang ke rumah kontrakan yang makin sempit. Mereka mungkin tak bisa merasakan kebahagiaan hari ini, tapi setidaknya mereka punya wakil yang sudah merasakannya untuk mereka. (*)